Ekonomi
Mengintip Progres Pemulihan Ekonomi ASEAN
Pemulihan ekonomi Asia Tenggara masih tertatih dibayangi ketidakpastian dan risiko biaya pinjaman meningkat.
OLEH AGUNG P VAZZA
Asia Tenggara (ASEAN), sebelum pandemi merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan paling pesat di dunia, dengan ekspansi ekonomi sekitar lima persen per tahun. Namun, saat pandemi merebak, memaksa diberlakukannya pembatasan aktivitas sosial dan ekonomi.
Tak pelak tiga motor penting perekonomian kawasan macet. Konsumsi rumah tangga anjlok, begitu pula investasi dan sektor pariwisata. Perekonomian kawasan pun terkontraksi sangat dalam.
Produk domestik bruto (PDB) Malaysia merosot sampai 17,1 persen. Filipina turun sampai 16,5 persen. Singapura dan Thailand masing-masing merosot sampai 13,2 persen dan 12,2 persen, kinerja terburuk sejak sekitar 20 tahun terakhir. Bagaimana dengan Indonesia?
Pertumbuhan PDB Indonesia sepanjang kuartal I 2020 masih tumbuh positif pada posisi 2,97 persen. Sedangkan pertumbuhan kuartal II mengalami kontraksi ke zona negatif, di kisaran 5,3 persen.
Jika pada kuartal III kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia secara teknis memasuki masa resesi. Hanya Vietnam tetap tumbuh di zona positif, 0,4 persen. Begitupun, angka tersebut merupakan penurunan sangat tajam dibanding sebelum pandemi di kisaran tujuh persen.
Meski pandemi belum benar-benar tertangani, plus kontraksi ekonomi, sejumlah negara di Asia Tenggara mulai kembali menghimpun serpihan-serpihan ekonomi demi menyeimbangkan langkah menghindari keruntuhan total perekonomian sembari terus meredam pandemi. Ini jelas bukan perkara sederhana.
Penentu kebijakan sudah mengeluarkan beragam stimulus dan jaring pengaman sosial. Selain itu, juga mulai secara seksama memperhatikan mesin-mesin ekonomi yang mungkin bisa dihidupkan sehingga roda perekonomian bertahap kembali bergulir.
Negara di Asia Tenggara perlahan kembali memutar roda ekonomi demi menghindari keruntuhan total perekonomian sembari meredam pandemi.
Pendek kata, negara di Asia Tenggara perlahan kembali memutar roda ekonomi demi menghindari keruntuhan total perekonomian sembari meredam pandemi. Tidak mudah, pasti. Berisiko, jelas. Tapi sejumlah indikator memperlihatkan tanda-tanda menjanjikan.
Pemulihan ekonomi, kalaupun terus berlangsung masih akan tertatih. Roland Rajah, Direktur Program Ekonomi Internasional Lowy Institute dalam paparannya di web resmi Brooking Institution menyebutkan, pemulihan cepat sekalipun kemungkinan tetap menyisakan goresan cukup dalam. Rajah mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF) terkait pendapatan per kapita ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) pada 2024 yang diperkirakan enam persen lebih rendah dari perkiraan sebelum pandemi.
Khusus Filipina bahkan lebih dalam, sampai sekitar 12 persen. Progres upaya pengentasan kemiskinan, ketenagakerjaan, dan pengembangan sumber daya manusia juga terhambat. Intinya, semakin lama perekonomian mengalami depresi, maka goresan yang ditinggalkan pun semakin dalam. Belum lagi memperhitungkan risiko perubahan politik.
Pemulihan yang mulai terlihat pada kuartal III 2020 masih harus berjibaku dengan pembatasan kegiatan terkait upaya meredam pandemi. Dalam jangka pendek pembatasan ini tetap akan membebani perekonomian, meski imbasnya sedikit menurun dibanding periode Maret-April tahun lalu.
Kondisi itu pula yang menyebabkan output perekonomian yang sedang berkembang di kawasan Asia belum akan kembali ke level sebelum pandemi pada tahun ini. Setidaknya begitu pandangan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam publikasinya "Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2021: Reallocating Resources for Digitalisation".
OECD Development Centre dalam publikasi tersebut memproyeksikan pertumbuhan rata-rata PDB riil negara-negara Asia Tenggara berada di kisaran 5,1 persen, setelah terkontraksi cukup dalam 3,4 persen sepanjang 2020. Secara keseluruhan, sepuluh negara Asia Tenggara, Cina, dan India diperkirakan mencatat pertumbuhan rata-rata PDB riil di kisaran 7,1 persen, setelah merosot ke posisi 1,7 persen pada 2020.
"Prakiraan dan proyeksi tersebut masih dibayangi dengan besarnya ketidakpastian," ungkap Kensuke Tanaka, kepala Bidang Asia OECD Development Centre, dikutip Business Times.
Vietnam termasuk negara yang diperkirakan mengalami pemulihan ekonomi lebih cepat.
Lebih detail, publikasi yang sama menguraikan di Asia Tenggara, Vietnam termasuk negara yang diperkirakan mengalami pemulihan ekonomi lebih cepat. Pertumbuhan selama tahun lalu diperkirakan di kisaran 2,6 persen dan tumbuh cukup tinggi ke posisi tujuh persen sepanjang tahun ini.
Salah satu faktor utama pertumbuhan itu tak lain lantaran Vietnam mampu lebih cepat mengakhir fase pembatasan aktivitas untuk mengerem pandemi. Selain itu, terjadi pula peningkatan permintaan luar negeri.
Masih di Asia Tenggara, Filipina diproyeksikan menjadi perekonomian yang mengalami kontraksi paling dalam, sekitar sembilan persen pada 2020. Begitupun tetap mampu tumbuh tinggi pada tahun ini ke posisi 5,9 persen.
Namun, bersamaan dengan itu, Filipina juga mengalami kenaikan biaya utang serta berkurangnya kapasitas pemerintah terkait pembayaran utang. Kedua faktor ini merupakan risiko yang harus dihadapi Filipina.
Sedangkan Singapura, meski diprediksi mengalami penulihan ekonomi tahun ini ke level lima persen, tapi tetap dibayangi ketidakpastian tinggi plus masih pula bergantung pada permintaan eksternal.
Faktor Kunci
Paparan tersebut cukup menjelaskan pemulihan yang tertatih, masih pula dibayangi ketidakpastian dalam prakiraan dan prediksi perekonomian, dan sangat bergantung pada kemampuan masing-masing perekonomian menghentikan perluasan pandemi, sekaligus melanjutkan kebijakan pendukung perekonomian.
Dalam kondisi ini, Rajah melihat sedikitnya ada tiga faktor kunci yang perlu mendapat perhatian serius, yang bisa diharapkan saat mendorong percepatan pemulihan maupun dalam pertumbuhan ekonomi selanjutnya.
Faktor kunci utama tak lain meredam pandemi dan membatasi dampaknya terhadap kehancuran perekonomian. Soal ini Rajah melihat pengalaman berbeda di tiga negara sebagai gambaran beragamnya upaya pengendalian pandemi.
Vietnam dinilainya sukses memberi respons saat pandemi merebak dan menjadi satu dari sedikit negara yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi positif selama 2020.
Sedangkan Indonesia, tidak mengambil langkah pembatasan tegas yang berdampak pada perekonomian jangka pendek, masih harus menghadapi penyebaran virus sehingga pemulihan dinilainya masih lemah.
Sementara Filipina, merespons pandemi dengan menerapkan lockdown secara keras, dan tetap belum berhasil meredam pandemi. Perekonomiannya pun terperosok sangat dalam sampai ke posisi 14 persen dibanding posisi sebelum pandemi, dan menjadi satu dari sekian banyak perekonomian yang terkontraksi sangat dalam.
Faktor kunci kedua, perdagangan internasional. Peran perdagangan internasional bagi negara-negara di Asia Tenggara dinilainya sangat besar. Pertumbuhan perdagangan internasional yang terus membaik memberi manfaat bagi negara-negara di kawasan yang sangat bergantung pada perdagangan (ekspor).
Perdagangan, menurut Rajah, memang menjadi salah satu faktor melemahnya perekonomian global sejak pandemi. Namun, faktor ini pula yang menjadi kunci pemulihan, terutama setelah pembatasan aktivitas dilonggarkan di banyak negara serta besarnya stimulus fiskal negara-negara maju di Barat.
Permintaan terhadap perangkat personal seperti elektronik untuk memudahkan work from home sangat membantu ekspor Asia Tenggara. Sejak Oktober tahun lalu, ekspor kawasan mulai beranjak ke atas posisi sebelum pandemi.
Faktor kunci ketiga, kebijakan makroekonomi. Banyak pemerintahan di kawasan seperti diprediksi sulit menyamai stimulus fiskal seperti di negara-negara maju. Singapura dan Thailand, misalnya, rata-rata respons fiskal terhadap pandemi mencapai tiga persen PDB, dibanding 13,5 persen di negara-negara maju di Barat.
Begitupun, kebijakan fiskal Asia Tenggara sudah jauh lebih ekspansif dibanding krisis-krisis sebelumnya, dan ini memainkan peran kunci dalam menahan keruntuhan total perekonomian akibat pandemi.
Lazimnya saat krisis, jelas Rajah, kebijakan fiskal memang memainkan peran kunci, tapi langkah dan kebijakan bank sentral di kawasan juga tak kalah penting, terutama di Indonesia dan Filipina.
Bank sentral di dua negara itu mengambil langkah maju, tak hanya membeli obligasi domestik pemerintah di pasar sekunder, tapi juga membiayai defisit anggaran. Langkah ini disebut Rajah sebagai 'game-changer' dengan menstabilkan pasar obligasi domestik saat menghadapi risiko arus modal keluar sekaligus memastikan pembiayaan defisit anggaran dengan sedikit bantuan internasional.
Respons pasar ternyata stabil, mencerminkan tingginya kredibilitas bank sentral serta meredam tekanan arus modal keluar.
Meski langkah ini dikhawatirkan justru menyebabkan arus modal keluar meningkat, tapi tidak kali ini. Respons pasar ternyata stabil, mencerminkan tingginya kredibilitas bank sentral serta meredam tekanan arus modal keluar akibat bank sentral negara maju membanjiri likuiditas global.
Progres pemulihan masing-masing negara di Asia Tenggara boleh jadi masih lemah selama penyebaran virus belum benar-benar bisa dikendalikan. Vaksinasi sudah digencarkan tapi itu tidak lantas mengembali aktivitas seperti sebelum pandemi.
Pembatasan lokal masih diberlakukan. Semakin sempitnya ruang fiskal boleh jadi bukan pertanda baik bagi pemulihan kuat. Apalagi, suku bunga global mulai meninggi serta pengetatan lebih awal kebijakan moneter negara maju.
Bagi negara dan perekonomian berkembang Asia Tenggara keadaan tersebut berisiko meningkatnya biaya pinjaman dan tekanan terhadap nilai tukar. Dalam kondisi ini, menjaga bauran kebijakan makroekonomi menjadi sangat penting.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.