Hiwar
Sonny Zulhuda, Plus-Minus Polisi Siber
Hadirkan wajah polisi yang tidak seram, yang sifatnya mengayomi di dunia siber.
Setidaknya sejak awal bulan ini, polisi virtual yang dibentuk Kepolisian RI mulai beroperasi. Tim tersebut dibentuk untuk melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber. Akan tetapi, berbagai kalangan menyuarakan kekhawatiran tentang eksistensi patroli kepolisian di dunia maya itu.
Hal itu disampaikan pakar teknologi informasi dan keamanan siber dari The International Islamic University Malaysia (IIUM), Associate Professor Sonny Zulhuda. Dia mengatakan, pembentukan polisi virtual boleh jadi berdampak negatif jika tidak dikaji secara matang. Karena itu, Polri perlu menjalin diskusi dengan berbagai elemen publik, termasuk organisasi masyarakat Islam.
“Tidak cukup kalau cuma dari awal bilang, polisi hanya menasihati, hanya ingin melakukan pencegahan. Tapi kan ini pastinya berdampak. Misalnya, orang-orang akan mulai merasa takut,” ujar alumnus Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta ini.
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia ini menjelasan, gagasan pembentukan polisi virtual sudah bagus. Sebab, visinya untuk menciptakan dunia siber yang kondusif. Lantas, bagaimana kaidah-kaidah mengawasi dunia siber agar tidak mencederai kebebasan berpendapat dan berekspresi? Apa saja koreksi yang mesti diperhatikan aparat penegak hukum maupun masyarakat terkait tim ini?
Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan akademisi ini beberapa waktu lalu.
Bagaimana Anda melihat polisi virtual yang diaktifkan Polri?
Kapolri mencoba mengambil langkah preventif supaya tidak terjadi terlalu banyak kasus UU ITE. Ini sebenarnya sesuatu yang baik. Angin segar bahwa kita ingin punya ruang siber yang lebih damai. Apalagi, polemik di tengah masyarakat ternyata tidak berkesudahan meskipun pemilu sudah selesai.
Jadi, dengan kebijakan polisi virtual itu, kita sudah berusaha untuk menciptakan ruang siber yang lebih kondusif. Hukum ditegakkan, tetapi pada saat yang sama tindakan pidana bisa dicegah.
Bagaimana keberadaannya bila ditinjau dari aspek perundang-undangan?
Kalau polisi virtual ini sebagai langkah preventif, memang ada kaitannya dengan kewajiban pemerintah. Jadi, di UU ITE (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) Pasal 40 itu menyatakan bahwa pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.
Jadi, itu saya pikir wajar di mana pemerintah melalui kepolisian mengambil langkah preventif. Jangan tiba-tiba maunya langsung memperkarakan ke pengadilan. Kalau menurut saya, idenya itu sudah bagus sebenarnya, di mana polisi memiliki otoritas untuk melakukan pencegahan.
Penilaian Anda tentang kinerja polisi virtual sejauh ini?
Ini baru kira-kira satu bulan perjalanan. Jadi, kita masih harus sabar menunggu. Kita juga ingin lihat polisi virtual ini ke depannya untuk apa sebenarnya.
Apa saja tantangan untuk menjadikan dunia siber kondusif?
Peran polisi untuk melakukan pencegahan dengan cara mengawasi dunia siber itu tidak mudah. Sebab, itu perlu skill tersendiri, harus mengerti medsos (media sosial). Bahkan, bukan cuma harus mengerti, tetapi juga harus punya ketahanan yang berbeda. Di medsos, kalau orang terlalu sensitif, dia bisa langsung naik pitam.
Jadi, syukur-syukur kalau polisi itu memang sejak awal atau dari usia mudanya sudah biasa bermedsos. Itu akan sangat membantu. Makanya, ada yang bilang, kalau mau menangkap pencuri, berpikirlah seperti pencuri. Kalau mau mengerti dunia siber, pahami terlebih dahulu bagaimana orang berinterkasi di dunia maya sehingga tidak sensitif.
Apakah interaksi di dunia maya dianggap berbeda karena termediasi?
Di medsos itu, boleh dibilang bahwa standar komunikasinya berbeda. Kita yang biasa sopan-sopanan di luar, kalau sudah bermedsos, bisa jadi akan lebih berani. Apakah itu akan dianggap pidana?
Kalau begitu, nanti tidak akan habis-habisnya kerjaan polisi. Karena itu, saya katakan, tantangannya besar. Polisi perlu mengerti dunia medsos ini.
Adanya polisi virtual dikhawatirkan berdampak negatif pada kebebasan berpendapat di media sosial?
Nah, menurut saya ada risikonya di situ. Sekarang ini kan (polisi virtual) baru berjalan sekitar sebulan. Kita belum tahu, sejauh mana polisi virtual ini akan bergerak. Seharusnya, pihak polisi mendiskusikan terlebih dahulu. Seraplah kekhawatiran-kekhawatiran ataupun diskursus publik yang mengemuka.
Tidak cukup kalau cuma dari awal bilang, polisi hanya menasihati, hanya ingin melakukan pencegahan. Tapi kan ini pastinya berdampak. Misalnya, orang-orang akan mulai merasa takut.
Karena, nanti masyarakat bisa saling melaporkan atau saling mencuit polisi lewat Twitter, misalnya. Saya lihat, sudah banyak di Twitter yang begitu. Jadi, polisi harus sabar. Mereka (aparat kepolisian) harus mengerti psikologi medsos seperti apa, dan harus benar-benar telaten, melayani dengan baik. Sebab, sekali lagi tujuannya adalah untuk menasihati.
Artinya, fungsi pengayoman perlu dijalankan?
Kalau tujuannya hanya menasihati, boleh saja. Namun, nasihati, bukan mengancam juga. Hadirkan wajah polisi yang tidak seram, yang sifatnya mengayomi di dunia siber. Jangan alih-alih menasihati, tetapi ujung-ujungnya malah bernada menakut-nakuti dan sedikit mengancam. Kalau bisa, fokusnya pada melakukan nasihat, konsultasi, dan mediasi.
Menasihati di sini jangan sampai dikaburkan dengan tujuan untuk penyidikan dan penyelidikan. Kalau itu, mesti berdasarkan laporan. Ada laporan, barulah polisi bisa bertindak. Jangan polisi duluan yang mencari-cari.
Dalam beberapa kasus, polisi mendatangi langsung pengkritik tokoh publik di media sosial?
Itu harus dipahami dulu. Apakah itu proses memberi nasihat dan preventif atau sudah masuk pada bagian proses penyidikan dan penyelidikan. Kalau sudah bagian proses penyidikan dan penyelidikan, wajar saja orang akan dijemput.
Jadi, itu yang harus diperjelas. Mungkin polisi sudah menjalankan tugasnya seperti biasa. Hanya saja, mereka mungkin sudah mendapat datanya dari polisi virtual.
Bukankah salah satu fungsi polisi virtual adalah mengimbau publik agar bermedia sosial dengan baik?
Makanya, sejauh mana polisi virtual itu sudah dimaksimalkan. Itu supaya tidak harus berujung pada penyidukan, penyidikan, dan juga penyelidikan.
Artinya, tidak haruslah ada yang sedikit kritis, kemudian langsung dijemput. Nah, ini yang harus sedikit lebih tebal telinga dalam dunia medsos. Menurut saya, tidak usah dijemputlah. Apalagi, namanya posisi virtual. Artinya, mereka memilih untuk berinteraksi secara virtual.
Maka, enggak usah dijemput dulu. Kalau memang orangnya bisa diidentifikasi, coba kirimkan pesan atau nasihat dulu. Namun, pesannya juga jangan dikaburkan antara pesan nasihat dan yang menjurus pada memperkarakan.
Polri akan memberi lencana “Badge Awards” kepada warga yang aktif melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial. Pendapat Anda?
Kalau sekadar pelapor, masa mau dikasih award? Malah itu justru menumbuhkembangkan budaya lapor-melapor. Kalau masyarakat itu sudah baik, mereka pasti punya mekanisme sendiri dan tidak semua dilaporkan. Namun, kalau masyarakatnya sendiri masih banyak yang sensitif, semakin banyak lagi orang yang saling melapor.
Menurut saya, Badge Award itu tidak kondusif. Malah nanti setiap orang akan mengambil peran untuk mengawasi. Mengerikan juga kalau itu terjadi. Kalau memang mau ada award, berilah pada kriteria yang benar-benar spesifik. Misalnya, membantu menangkap pejahat, teroris, atau koruptor. Jadi harus ada skala prioritas.
Menurut Anda, seberapa efektif polisi virtual untuk membasmi berbagai kejahatan siber, yang tidak hanya soal penghinaan atau pencemaran nama baik?
Makanya, kita lupa bahwa sebenarnya di dalam ITE itu ada lebih dari 10 tindak pidana. Namun, yang cenderung kita ingat cuma ujaran kebencian dan pencemaran nama baik atau fitnah. Padahal, yang lain-lain masih banyak. Belum lagi yang di luar ITE. Misalnya, kasus penipuan online, kemudian kasus penistaan agama.
Saya pikir, kasus penistaan agama ini di Indonesia efeknya luar biasa dibanding sekadar penceraman nama baik yang sifatnya personal. Kalau sudah penistaan agama, efeknya itu publik sehingga harus menjadi prioritas juga.
Kalau di Malaysia, urusan-urusan ujaran kebencian itu ujung-ujungnya masuk perdata. Artinya, tidak diurus polisi. Jadi, jika merasa dihina oleh seseorang, kasusnya bisa dibawa ke pengadilan urusan perdata. Nanti, perkaranya tentang ganti rugi.
Secara umum, di berbagai negara lain, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura, pencemaran nama baik itu ujung-ujungnya perdata. Sementara, di Indonesia satu orang yang dicemarkan nama baiknya, itu masuk urusan pidana. Kalau sudah pidana, polisi terlibat.
Pemerintah sempat mewacanakan revisi UU ITE dan bahkan membentuk tim kajian. Bagaimana Anda melihat kemauan dari pemerintah dan DPR terkait ini?
Menurut saya, itu bagus sekali. Seperti mendapat angin segar ketika mendapat berita itu. Memang selama ini sudah terlalu sering dibincangkan. Tinggal kita lihat keseriusannya bagaimana. Namun, katanya sekarang juga (revisi UU ITE) sudah tidak masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2021.
Jadi, kita perlu dengar lebih lanjut lagi, sejauh mana yang dilakukan. Saya setuju memang perlu ada revisi UU ITE lagi untuk menciptakan dunia siber yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia.
Beragam Kiprah Muhammadiyah di Negeri Jiran
Pakar teknologi informasi dan keamanan siber Associate Professor Sonny Zulhuda tidak hanya menekuni dunia akademik. Dosen pada The International Islamic University Malaysia (IIUM) itu juga aktif dalam memajukan syiar Persyarikatan Muhammadiyah. Bahkan, dia didaulat menjadi Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia.
Di negeri jiran, Sonny sudah cukup lama berkerja dan menimba ilmu. Tak kurang dari 14 tahun lamanya dia berkiprah di sana. Kegiatan Muhammadiyah di Malaysia pun didukung oleh ribuan warganya. Mereka terdiri atas berbagai unsur, terutama buruh migran dan mahasiswa.
Sonny mengatakan, pihaknya terus berupaya membantu masyarakat dalam mengatasi efek pandemi Covid-19. Di Malaysia, tak sedikit orang Indonesia yang mengalami kesulitan sejak virus korona baru melanda. Di antaranya harus menerima kenyataan pahit, seperti kehilangan pekerjaan.
“Dalam rangka pandemi, ada sedikit tantangan di mana masyarakat kehilangan kerja, terutama kawan-kawan kita ini, yang buruh, yang harian. Itu sempat kehilangan kerja sebentar sekitar tiga bulan,” ujarnya kepada Republika, baru-baru ini.
PCIM Malaysia pun sempat melakukan penggalangan dana untuk membantu warga Indonesia di sana yang kesulitan. Ia mengaku bersyukur. Sebab, urunan yang berhasil terkumpul cukup banyak. Hal ini juga membuktikan, besarnya rasa solidaritas dan gotong royong orang Indonesia.
Alhamdulillah, (donasi) dari berbagai sumber masuk, dari Indonesia dan Malaysia. Lumayan, dapat setengah miliar rupiah.
“Alhamdulillah, (donasi) dari berbagai sumber masuk, dari Indonesia dan Malaysia. Lumayan, dapat setengah miliar rupiah. Jadi di sini ada gerakan untuk membantu kawan-kawan buruh migran,” tuturnya.
Tidak hanya menggalang dana, PCIM Malaysia pun berusaha menyediakan lapangan pekerjaan walaupun sederhana. Salah satunya adalah restoran yang menyajikan soto khas Lamongan di Kampung Baru, Kuala Lumpur. Para pekerjanya berasal dari warga Indonesia yang sebelumnya terdampak pemutusan hubungan kerja.
Di tengah pandemi Covid-19 ini, menurut Prof Sonny, pihaknya juga mengadakan berbagai kegiatan, seperti pelatihan daring untuk buruh migran, webinar bagi mahasiswa, dan kuliah kewirausahaan. Menurut dia, kiprah Muhammadiyah di Malaysia memang lebih banyak di bidang keagamaan, pendidikan, dan ekonomi.
“Lebih ke kegiatan spiritual, pendidikan, ekonomi juga, lalu ada pelatihan capacity building, termasuk pelatihan kepada teman-teman buruh migran asal Indonesia,” jelasnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.