Mujadid
KH Ahmad Hanafiah, Penggerak Laskar dari Lampung
KH Ahmad Hanafiah yang pernah menuntut ilmu di Tanah Suci ini gugur saat berjuang pada masa revolusi.
OLEH MUHYIDDIN
Pada zaman penjajahan, berbagai pergerakan muncul di tengah masyarakat Indonesia. Mereka bertujuan sama, yakni kemerdekaan negeri tercinta. Pada masa pendudukan Jepang, salah satu organisasi yang terbentuk adalah Laskar Hizbullah.
Berdiri sejak 1944, laskar ini menjadi medium pendidikan paramiliter bagi pemuda santri. Di dalam dada mereka, tertanam semangat mempertahankan Tanah Air. Bahkan, hal itu diyakini sebagai sebuah jihad di jalan Allah (fii sabilillah).
Para pejuang Muslim lantas mendirikan cabang-cabang organisasi ini di berbagai daerah, termasuk Karesidenan Lampung. Di sana, Laskar Hizbullah pun menyebar ke berbagai kawasan, seperti Teluk Betung, Tanjung Karang, Pringsewu, Metro, dan Sukadana. Di tempat yang terakhir disebut, inisiatornya adalah seorang dai bernama KH Ahmad Hanafiah.
Ia memiliki latar belakang santri. Orang tuanya merupakan pendiri pesantren pertama di seluruh Karesidenan Lampung. Sepanjang hayatnya, ia pun menempuh pendidikan dari satu pesantren ke pesantren lainnya, tidak hanya di Indonesia, melainkan juga luar negeri.
Begitu kembali dari rihlahnya mencari ilmu, Kiai Ahmad Hanafiah kembali ke kampung halamannya di Sukadana, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Selanjutnya, ia menekuni profesi sebagai guru agama Islam.
Sesudah itu, ia terjun dalam dunia perpolitikan di Lampung. Beberapa kali, dia menduduki jabatan yang cukup strategis. Semasa hidupnya, anak ulama itu telah berjuang mempertahankan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Semasa hidupnya, anak ulama itu telah berjuang mempertahankan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Tokoh ini lahir pada 1905 di Kecamatan Sukadana, Kabupaten Lampung Tengah. Wilayah tersebut sekarang sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Lampung Timur. Kiah Ahmad Hanafiah adalah putra sulung KH Muhammad Nur, pimpinan Pondok Pesantren Istishodiyah Sukadana. Inilah pondok pesantren pertama di Provinsi Lampung.
Pada tahun-tahun awal sesudah proklamasi Republik Indonesia, Lampung masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Selatan. Dengan demikian, levelnya setingkat karesidenan. Barulah pada tahun 1964, wilayah tersebut disetujui menjadi setingkat provinsi.
Semasa kecil, Ahmad Hanafiah menempuh pendidikan di sekolah formal maupun nonformal. Bagaimanapun, ia lebih suka menimba ilmu-ilmu agama Islam di pondok-pondok pesantren. Saat usianya baru lima tahun, putra daerah Lampung ini sudah khatam membaca Alquran.
Saat masih berusia anak-anak, ia pernah mengenyam pendidikan di sekolah Guverment di Sukadana. Pendidikannya terus berlangsung hingga lulus pada 1916. Di samping itu, Ahmad juga belajar mengaji Alquran kepada orang tuanya sendiri, yaitu KH Muhammad Nur. Setelah itu, ia mencari ilmu ke sejumlah pondok pesantren.
Ayahandanya adalah sosok ulama besar yang cukup lama menimba ilmu di Tanah Suci. Seperti sang bapak, ia pun gemar melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu. Di dalam negeri, ia tercatat pernah nyantri di Pondok Pesantren Jamiatul Chair di Jakarta antara tahun 1916 dan 1919.
Setelah sempat mengabdi menjadi guru di sana periode 1920-1925, Kiai Ahmad kemudian melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Dengan begitu, dia dapat memiliki semakin banyak pengalaman berharga. Selain itu, pemikirannya pun akan lebih maju. Kontribusinya diharapkan dapat ikut mendorong terusirnya penjajahan dari Bumi Pertiwi.
Setelah sempat mengabdi menjadi guru pada 1920-1925, Kiai Ahmad kemudian melanjutkan pendidikan ke luar negeri.
Di luar negeri, Kiai Ahmad tercatat pernah belajar di Pesantren Kelantan Malaysia pada 1925-1930. Masih haus akan ilmu pengetahuan, ia kemudian melanjutkan perjalanan menuntut ilmu ke Makkah al-Mukarramah. Namun, ia tidak langsung mencapai kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu.
Dalam perjalanan menuju Tanah Suci, dia singgah sebentar di India dan mendalami ilmu tarekat. Barulah pada 1930, ia baru sampai di Tanah Suci. Sang alim pun mengaku belajar kepada para ulama di Masjidil Haram hingga 1936.
Kiai Ahmad Hanafiah telah menunjukkan mental kepemimpinannya sejak belia. Jiwa itu terus ada dan berkembang dalam dirinya. Hal itu dibuktikan dengan kemampuannya selama dua tahun menjadi ketua Himpunan Pelajar Islam (HMI) Lampung di kota Makkah. Saat di Tanah Suci, ia juga sempat mengajar di Masjidil Haram pada 1934-1936.
Sekembalinya ke Indonesia, Kiai Ahmad Hanafiah kemudian aktif sebagai dai di Lampung. Pada 1937-1942, ia ditunjuk menjadi ketua Serikat Dagang Islam (SDI) di wilayah Kawedanan Sukadana. Kepiawaiannya dalam mengatur organisasi bukan hanya pada tataran konsep, melainkan juga manajemen yang rapi hingga ke akar rumput.
Kiai Ahmad Hanafiah adalah seorang ulama yang bukan hanya sibuk di bidang keillmuan. Malahan, berbagai ilmunya diterapkan dalam praktik-praktik untuk mendampingi masyarakat sekitar ekonomi. Berbagai upaya membuat teknologi pertanian pun pernah dilakukannya.
Berbagai ilmunya diterapkan dalam praktik-praktik untuk mendampingi masyarakat sekitar ekonomi.
Sebagai ketua Serikat Dagang Islam (SDI), Kiai Ahmad Hanafiah ikut berjuang di ranah bisnis. Di Lampung, ia membuka usaha mebel, pembuatan sabun, dan rokok kretek. Dalam berbagai lini bisnis itu, ia turut membantu masyarakat dan para santrinya yang hendak melamar pekerjaan. Selain itu, ia juga mengelola lembaga pendidikan pesantren yang meneruskan ayahnya.
Ia mampu membuktikan bahwa dirinya merupakan seorang pencerdas bangsa. Murid-murid diajari dan dibimbingnya sepenuh hati. Para santri Pondok Pesantren al-Ikhlas Sukadana diajarkan ilmu-ilmu agama pada 1942-1945. Lantaran aktivitasnya di SDI, dirinya pun kerap menjadi sasaran penguasa. Apalagi, pemerintah kolonial sudah mengecap SDI sebagai organisasi yang membahayakan rezim saat itu.
Saat terjadinya Perang Dunia II, Belanda tidak dapat mempertahankan Indonesia. Nusantara pun jatuh ke tangan Jepang. Pada masa pendudukan Dai Nippon di Tanah Air, Kiai Ahmad Hanafiah diangkat menjadi anggota Sa-ingkai atau semacam anggota dewan daerah di Karesidenan Lampung. Dari sinilah bermula kiprahnya dalam dunia perpolitikan. Pada akhirnya, semangat jihad terus mendorongnya untuk berjuang dalam membebaskan Indonesia.
Dai yang pejuang
Dalam sosok KH Ahmad Hanafiah tersimpan sifat pemimpin yang alim. Ia memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai agama. Semasa hidupnya, telah berlalu masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Itu membuat dirinya selalu menentang setiap bentuk penjajahan.
Dalam masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945, panglima Laskar Hizbullah ini sempat menjabat beberapa kali posisi penting di bidang politik. Kala itu, seluruh elemen bangsa berupaya menjaga kedaulatan negeri. Mereka sangat tidak ingin Belanda yang mau menjajah lagi Indonesia.
Di Sukadana, Karesidenan Lampung, Kiai Ahmad sudah mempersiapkan diri dan para pengikutnya. Semuanya langsung terjun ke lapangan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sewaktu Agresi Militer I terjadi pada 1947, kaum penjajah melancarkan serangan serentak di sejumlah titik strategis. Provinsi Sumatera Selatan pun tak luput dari serbuan musuh. Saat itu, Belanda juga mulai menyerang Lampung, yang menjadi bagian inti Karesidenan Sumatera Selatan melalui jalur darat dari Palembang.
Agresi militer Belanda memicu perlawanan laskar rakyat. Mereka bersama dengan TNI menggempur kekuatan Belanda dalam pertempuran di Kemarung. Itu adalah suatu tempat di area hutan belukar yang terletak dekat Baturaja ke arah Martapura, Sumatera Selatan.
Di sinilah terjadi pertempuran hebat antara laskar rakyat melawan Belanda. Perlawanan laskar rakyat tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah yang bersenjatakan golok. Namun, informasi TNI dan Laskar Hizbullah yang berencana menyerang Baturaja telah dibocorkan mata-mata. Para tentara Indonesia pun mundur ke Martapura.
Kiai Ahmad Hanafiah sendiri ditangkap hidup-hidup. Ia lantas dimasukkan dalam karung dan ditenggelamkan di sungai Ogan.
Sementara, pasukan Laskar Hizbullah yang tengah beristirahat di Kemarung disergap Belanda dan terjadilah pertempuran hebat. Anggota laskar itu banyak yang gugur dan tertawan. Kiai Ahmad Hanafiah sendiri ditangkap hidup-hidup. Ia lantas dimasukkan dalam karung dan ditenggelamkan di sungai Ogan. Akibat penyiksaan ini, dia meninggal dunia. Hingga sekarang, jenazah ataupun kuburan sang pahlawan tidak diketahui dengan pasti.
KH Ahmad Hanafiah meninggal dunia saat berjuang melawan penjajahan Belanda, tepatnya saat terjadinya Agresi Militer Belanda I yang terjadi di front Kamerung, Baturaja Sumatera Selatan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia wafat pada 17 Agustus 1947, bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Tokoh ini dikenal sebagai sosok pejuang yang pemberani, ditakuti, dan disegani lawan. Kendati demikian, ia mempunyai sifat-sifat rendah hati dan tidak mau menonjolkan diri. Ia selalu berjuang tanpa pamrih.
Selama hidupnya, ia memiliki banyak pengalaman. Di antaranya adalah, pernah menjadi ketua Partai Masyumi dan pimpinan Laskar Hizbullah Kewedanan Sukadana. Selain itu, ia pernah menjadi anggota DPR Karesidenan Lampung pada 1946-1947. Jabatan lainnya adalah wakil kepala merangkap kepala bagian Islam pada kantor Jawatan Agama Karesidenan Lampung sejak awal 1947.
Mengenang Sang Pahlawan
KH Ahmad Hanafiah merupakan seorang pejuang dari Lampung. Ia turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, sang alim saat ini tengah diperjuangkan berbagai kalangan. Tujuannya agar negara RI segera menetapkannya sebagai pahlawan nasional.
Seminar usulan pahlawan nasional bagi KH Ahmad Hanafiah telah digelar sejak 2015 lalu. Pada akhir 2018 lalu, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur bersama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung juga telah meluncurkan buku biografi tentang KH Ahmad Hanafiah.
Buku kepahlawanan KH Ahmad Hanafiah itu diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada generasi muda penerus bangsa. Sebab, sang mubaligh adalah pejuang kemerdekaan sekaligus ulama intelektual dari Kota Sukadana, Kabupaten Lampung Timur.
Sosok KH Ahmad Hanafiah dianggap memiliki jasa besar bagi Bumi Ruwa Jurai. Ia turut serta dalam menghadapi Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan gugur di medan perang. Tidak mengherankan jika masyarakat Lampung mengusulkannya sebagai pahlawan nasional.
Sosok KH Ahmad Hanafiah dianggap memiliki jasa besar bagi Bumi Ruwa Jurai.
Selain ikut berjuang dalam menghadapi agresi Belanda di perbatasan Lampung-Palembang, KH Ahmad juga dianggap telah berjasa dalam dunia pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Ia merupakan seroang ulama yang sangat menekuni bidang pendidikan dengan memimpin Pesantren Al Ikhlas Sukadana dari tahun 1942-1945.
KH Ahmad Hanafiah juga dikenal sebagai sosok ulama yang produktif dalam berkarya. Salah satu karyanya yang masih terjaga sampai saat ini adalah kitab Al-Hujjah dan kitab tafsir Ad-Dohri. Kedua kitab ini adalah bukti intelektualitas sang dai yang diwariskan untuk generasi selanjutnya. Saat ini pun, karya-karyanya pun kerap menjadi rujukan.
Untuk mengenang jasa-jasanya, Pemkab Lampung Timur telah membangun monumen patung KH Ahmad Hanafiah pada 2015 dan berdiri di ruas jalan utama Sukadana. Piagam penghargaan dari Gubernur Lampung pun telah diberikan kepada kepada KH Ahmad Hanafiah dengan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/520/III.04/HK/2015, tanggal 2 November 2015.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.