Hiwar
Ustaz Dr Ahmad Kusyairi Suhail, Bedah Ilmu Tafsir Alquran
Ustaz Dr Ahmad Kusyairi Suhail menjelaskan tafsir Alquran sebagai salah satu kunci membuka khazanah keislaman.
Alquran merupakan petunjuk universal. Kaum Muslimin pun meyakini dengan sepenuh hati, kitab suci tersebut adalah sumber kebenaran. Menurut Ustaz Dr Ahmad Kusyairi Suhail MA, dalam menafsirkan ayat-ayat suci, ilmu dan kemampuan yang mumpuni mutlak diperlukan. Tidak mungkin disebut sebagai mufasir bila seseorang cenderung pada hawa nafsunya saat berupaya menjelaskan kandungan ayat suci.
Dai kelahiran Gresik, Jawa Timur, itu telah menghasilkan sejumlah karya terkait disiplin ilmu tafsir Alquran. Salah satunya adalah kitab berjudul Al-Mufassir: Syurutuhu, Aadabuhu, Mashadiruhu, Dirosah Ta'shiliyah. Buku setebal 688 halaman itu bahkan sudah menjadi salah satu rujukan di kampus-kampus terkemuka di Timur Tengah.
Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu berharap, buku karyanya dapat menjadi salah satu sumbangsih ulama Nusantara di jagat keilmuan tafsir. Seperti diketahui, banyak alim ulama dari Indonesia yang telah berkontribusi besar dalam transmisi ilmu di Tanah Suci. Sejak zaman Syekh Nawawi al-Bantani hingga sekarang, negeri kepulauan di khatulistiwa ini terus mencetak para mubaligh terkemuka.
Melalui Al-Mufassir, Ustaz Ahmad Suhail membedah pelbagai kaidah tentang ilmu tafsir Alquran. Di samping itu, penjelasannya juga mendetail tentang kriteria mufasir yang patut diikuti umat. “Sebab, pekerjaannya ini berhubungan dengan Kitab Suci, Kalam Ilahi, yang berdampak signifikan terhadap fikroh (pemikiran) dan mauqif (sikap) serta perilaku (Muslim),” katanya.
Bagaimana memahami ilmu tafsir Alquran? Berikut adalah wawancara yang dilakukan jurnalis Republika, Umar Mukhtar, dengan pimpinan Pesantren Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah (Yapidh) Bekasi itu beberapa waktu lalu.
Bagaimana kedudukan ilmu tafsir Alquran?
Pertama-tama dan yang paling utama, kedudukannya tinggi. Sebab, topiknya berhubungan langsung dengan Alquran al-Karim. Kitab ini merupakan sumber kebenaran. Nabi Muhammad SAW menyatakan, siapapun yang belajar dan mempelajari Alquran adalah manusia terbaik. Khairukum man ta’allam al-Qur’an wa ‘allamahu. Jadi, para pembelajar Alquran insya Allah akan meraih kebaikan, al-khairiyah.
Kita sebagai Muslimin meyakini, kebaikan dalam bidang apa saja dimulai dari Alquran. Imam Syafii pernah menegaskan dalam syairnya bahwa ilmu yang bersinggungan langsung dengan Alquran adalah ilmu yang terbaik dan paling mulia. “Semua ilmu selain Alquran merupakan kesibukan biasa, kecuali hadis dan fikih (memahami) agama,” katanya.
Dalam disiplin ilmu tafsir Alquran, bagaimana peranan alim ulama Nusantara?
Kita tahu, ada banyak ulama dari Indonesia yang diakui menguasai bidang ini. Pada masa-masa lalu, kita mengenal beberapa kitab tafsir karya ulama Nusantara. Misalnya, Tafsir al-Asrar karya H Habibuddin Arifuddin dari abad ke-18. Kemudian, Tafsir al-Muawwidzatain karya KH Ahmad Yaasin Asymuni, dan Tafsir Madrasi. Satu contoh lagi, Tarjuman al-Mustafid, yang merupakan kitab tafsir Alquran pertama dan bisa dikatakan terlengkap yang ditulis dalam bahasa Melayu. Ini merupakan karya seorang ulama Aceh, Syekh Abdurrauf as-Singkili. Pada abad ke-20 hingga kini pun, Indonesia terus melahirkan para mufasir. Sebut saja, Pak M Quraish Shihab dengan Tafsir al-Mishbah-nya. Intinya, peran alim ulama kita (Indonesia) terus mengemuka dalam disiplin ilmu ini.
Sebagai seorang pakar ilmu tafsir Alquran, bagaimana Anda melihat kecenderungan saat ini?
Dewasa ini, saya kira, banyak orang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan semaunya saja, padahal mereka tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas ilmu yang mumpuni. Akhirnya, makna ayat-ayat Kitab Suci menjadi melenceng dan menyeleweng. Tentu saja, ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Bahkan, bisa saja seseorang akan terjerumus dalam kesesatan. Apa yang disebutnya sebagai “tafsir” ayat-ayat suci justru membuat orang jadi sesat dan menyesatkan orang lain.
Yang jelas, hendaknya umat Islam menyerahkan urusan agama kepada mereka yang memang benar-benar ahli agama, bukan sekadar mengaku-aku. Dalam hal tafsir Alquran, tidak boleh menafsirkan berdasarkan hawa nafsu. Sebab, menafsirkan Alquran itu membutuhkan ilmu. Seorang mufasir harus memiliki perangkat-perangkat keilmuan untuk bisa melakukannya.
Sebab, pekerjaannya ini berhubungan dengan Kitab Suci, Kalam Ilahi, yang berdampak signifikan terhadap fikroh (pemikiran) dan mauqif (sikap) serta perilaku seseorang. Dan, Alquran tidak akan dapat berfungsi maksimal menjadi petunjuk atau pedoman hidup jika dipahami dan ditafsirkan secara sembarangan.
Dapatkah Anda memberikan sebuah contoh tentang penafsiran Alquran?
Menafsirkan Alquran itu bukan pekerjaan mudah. Ini berbeda dengan, umpamanya, tadabbur yang dapat dilakukan oleh setiap Muslim. Namun, ketika upaya ini sudah dinamakan 'tafsir', maka pelakunya menjadi 'mufasir.' Peran ini menuntut tanggung jawab yang besar dan berat di sisi Allah SWT. Karena itu, setiap mufasir harus memperhatikan dan memiliki perangkat-perangkat untuk bisa menafsirkan Alquran dengan baik dan benar.
Sebagai contoh, tafsir atas surah at-Taubah ayat 122. Artinya, “Tidak sepatutnya bagi Mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” Dalam menafsirkan ayat itu, Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ikrimah, yang berkata, “Bahwa ketika turun ayat ‘Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih’ (QS at-Taubah: 39), maka orang-orang munafik berkomentar, ‘Sungguh binasa orang-orang (Muslim) yang tidak turut dan berangkat perang bersama Muhammad.’
Memang beberapa sahabat Nabi SAW tetap tinggal di kampung halamannya untuk mengajari kaum tentang agama. Menjawab perkataan kaum munafik itu, Allah menurunkan ayat 122 dari surat at-Taubah itu.
Apa yang dapat dipetik dari tafsir ayat itu?
Ayat tersebut mengajarkan tentang tafaqquh fiddin. Dan, dalam Alquran istilah itu hanya disebutkan sekali, yakni dalam “liyatafaqqahu fid-diin dalam surah at-Taubah (ayat) 122 itu. Yang tidak kalah menarik, ayat tafaqquh fiddin ini berada di tengah pembahasan tentang perkara jihad perang (jihad bil qital). Memang, itu pembahasan sentral dari surah tersebut.
Ayat (dari surah at-Taubah) sebelum ayat 122 itu membicarakan tentang perang Tabuk. Bagaimana kondisi yang meliputi Muslimin pada saat perang di tahun kesembilan Hijriah itu. Adapun di ayat sesudahnya, at-Taubah ayat 123 kembali disinggung tentang masalah perang. Saya melihatnya, ada pesan keseimbangan, bahwa seorang Mukmin tidak boleh terlalu sibuk dalam sebuah ibadah sehingga melalaikannya dari ibadah yang lain. Dalam hal ini, ibadah mencari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain.
Jika di tengah kobaran semangat jihad yang menyala-nyala Allah SWT mengingatkan pentingnya tafaqquh fiddin dan tidak boleh dilalaikan, apatah lagi dalam berbagai aktivitas lainnya; tentu lebih tidak diperbolehkan lagi untuk meninggalkan mencari ilmu. Kesibukan mencari nafkah juga tidak boleh membuat seorang Mukmin tidak pernah mengalokasikan waktu guna mencari ilmu agama.
Anda telah menulis buku Al-Mufassir. Apa saja topik yang dibahas di dalamnya?
Pokok-pokok bahasan kitab ini adalah, mukadimah. Isinya tentang urgensi tema dan topik kitab ini. Kemudian, definisi tafsir, pentingnya tafsir dan kebutuhan umat terhadap ilmu penting ini. Dibahas pula, siapakah kalangan mufasir itu serta kedudukan mereka di kalangan para ulama.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufasir, baik yang berkaitan akhlak, intelektualitasnya, ilmu-ilmu yang mesti dikuasainya, pun dijelaskan. Syarat-syarat yang berkaitan dengan metode yang dipilih dalam menafsirkan Alquran. Adab-adab mufassir, baik yang berhubungan dengan Allah SWT, kitab-Nya, maupun adab mufassir dengan para ulama juga dipaparkan secara mendalam.
Alhamdulillah, buku ini sudah menjadi referensi di beberapa kampus di Timur Tengah. Di Perpustakaan Masjid Nabawi, Madinah, tersimpan buku Al-Mufassir: Syurutuhu, Aadabuhu, Mashadiruhu, Dirosah Ta'shiliyah. Kitab tersebut berdampingan dengan kitab-kitab lain, seperti Al-Itqan fii Ulum Al-Qur'an karya Imam As-Suyuti, Manahil Al-'Irfan karya Syekh Az-Zarqani, dan At-Tafsir wal Mufassirun karya Syekh Husein adz-Dzahabi.
Apakah pokok pembahasan kitab Al-Mufassir belum pernah diulas sebelumnya pada kitab-kitab lain?
Sebagian ulama terdahulu menyinggung sebagian pokok bahasan dalam kitab-kitab klasik mereka. Seperti Imam Ath-Thabari dalam kitab Tafsir Ath-Thabari, Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, dan juga Imam As-Suyuti dalam kitab Al-Itqan fii Ulum Al-Qur'an, serta yang lain.
Jadi, bahasan-bahasan mereka tersebar dan tidak lengkap, maka kitab ini menghimpun dalam satu kitab dan melengkapi ketidaklengkapan itu, yang ditulis secara sistematis mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah masa kini, dengan bahasa yang mudah dipahami. Al-Mufassir awalnya merupakan karya ilmiah tesis karya saya saat menempuh pendidikan magister di King Saud University, Riyadh, Arab Saudi.
Apa kendala yang dihadapi dalam penelitian untuk menghasilkan buku tersebut?
Alhamdulillah, secara umum tidak menghadapi kendala yang berarti. Hanya ketika menyusun dan menulis kitab ini, teknologi dan aplikasi-aplikasi belum secanggih sekarang. Di antara kendalanya adalah ketika membaca manuskrip klasik yang tidak mudah, karena termasuk menjadi rujukan dalam penulisan ini. Ada juga sedikit kendala psikologis, yaitu jauh dari keluarga ketika menyelesaikan tesis ini, karena keluarga ada di Tanah Air. Sementara saya sendiri di Riyadh, Arab Saudi. Tetapi, Alhamdulillah, semua kendala-kendala bisa dilewati karena karunia dan taufik Allah SWT.
Apa yang membuat kitab Al-Mufassir berbeda dari kitab-kitab lain sehingga menjadi rujukan di Timur Tengah?
Ada beberapa. Pertama, pokok bahasannya yang mampu menghimpun sekian banyak pembahasan yang tersebar di banyak referensi kitab-kitab klasik. Kedua, integralitas dan universalitas topik bahasannya. Ketiga, disajikan dengan metode penulisan yang sistematis dan mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah masa kini.
Keempat, bahasa dan terminologi yang mudah dipahami dibanding dengan redaksi bahasa kitab ulama terdahulu yang terkadang perlu pemahaman dan penguasaan bahasa Arab yang lebih kuat untuk memahaminya.
Sebuah Nasihat Subuh dari Abah
Ustadz Ahmad Kusyairi Suhail lahir dan dibesarkan di Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Tumbuh dalam kultur keislaman tradisional yang kuat, ia pun menjadi pribadi yang selalu haus ilmu-ilmu agama. Sesudah berhasil menyelesaikan pendidikan menengah, dirinya berkesempatan merantau ke luar negeri. Kota Riyadh di Arab Saudi menjadi tujuannya. Di sanalah studi S-1 dan S-2 ditempuhnya. Adapun pendidikan doktoralnya diselesaikan di Malaysia.
"Alhamdulillah boleh dibilang ada tiga dimensi yang membuka dan mempengaruhi wawasan corak pemikiran saya, tradisional, nasional dan internasional," tutur dia kepada Republika baru-baru ini.
Ustadz Ahmad Suhail merasa bersyukur kepada Allah SWT karena telah dianugerahkan orang tua yang sabar dan qona'ah. Keduanya mendidik para buah hati dengan ketegasan dan penuh hikmah. Kecintaan terhadap ilmu-ilmu agama pun terwariskan kepadanya.
Ustaz Ahmad menyapa ayahnya dengan sebutan Abah. Satu yang membuatnya terkesan ialah pola pendidikan bapaknya itu agar anak-anak mencintai masjid. Di antaranya dengan mengarahkan mereka agar selalu shalat lima waktu di rumah Allah. Bahkan, Abah pun didaulat warga sekitar sebagai imam tetap shalat Subuh di Masjid Jami' Kanjeng Sepuh Sidayu hingga akhir hayatnya, tanpa pernah absen.
Tak hanya itu, Abah yang kini telah almarhum, juga sangat telaten dalam menumbuhkan sikap disiplin pada diri anaknya. "Khusus waktu Subuh, sambil membangunkan kami untuk shalat Subuh, Abah selalu mengulang-ulang hadis Nabi SAW, ‘Ash-Shubhu fii dzimmatillah’ (Subuh itu dalam jaminan Allah). Inilah yang terus saya ingat sampai sekarang, dan berusaha untuk terus saya amalkan," katanya mengenang.
Pesan itulah yang selalu dipegang oleh Ustadz Kusyairi. Bila rajin dan istiqomah shalat Subuh tepat waktu dan berjamaah di masjid, maka Allah SWT pasti akan menjamin semua aspek kehidupan, seperti pekerjaan ataupun studi yang tengah ditempuh.
"Sementara ibu, istiqomah berpuasa sunnah, dan setiap kali puasa, beliau bilang, 'Ini untuk muasani anak-anak (berpuasa ini kebaikan studi dan urusan anak-anak)," ujar alumnus King Saud University itu mengenang.
Di balik kesungguhannya, Ustadz Kusyairi menemukan hikmah yang besar. Dia mengetahui perjuangan ulama yang mengenalkan ajaran Islam, sehingga ia pun terus berusaha menjadi manusia yang berguna bagi diri dan orang lain. Selalu berikhtiar menjadi lebih baik, meskipun bukan terbaik. Juga berusaha menjaga keikhlasan, sabar, bersungguh-sungguh, dan memohon pertolongan dan petunjuk Allah SWT dalam doa.
"Dan semoga seperti sabda Nabi SAW, ini bisa menjadi jalan yang memudahkan saya masuk surga. 'Barangsiapa yang menapaki jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan jalan menuju surga," paparnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.