Nasional
Edhy Akui Perintah Loloskan Ekspor Benur
Edhy sebut kebijakan melarang ekspor benih lobster merugikan masyarakat.
JAKARTA -- Mantan menteri kelautan dan perikanan (KP) Edhy Prabowo mengakui pernah memerintahkan mantan direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, M Zulficar Mochtar, mengurus benih lobster (benur) yang tertahan di Bandara Soekarno-Hatta.
Hal ini mengonfirmasi kesaksian Zulficar yang mengaku pernah mau dicopot dari jabatannya karena tidak meloloskan ekspor benur pada Juli 2020.
"Betul saya dilaporkan Saudara Andreau, ada beberapa perusahaan yang sudah sampai bandara, tapi tidak bisa dikirim, biasanya kalau sudah di bandara tidak ada masalah, jadi saya minta Zulficar untuk meluruskan ini, karena biaya yang keluar sudah besar, kalau tidak jadi ekspor kan rugi," ujar Edhy menjawab pertanyaan Jaksa KPK, Siswandhono, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/3).
Edhy menyampaikan hal tersebut saat menjadi saksi untuk terdakwa Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito yang didakwa menyuap Edhy senilai total Rp 2,146 miliar. Edhy bersaksi secara daring dari rutan Gedung Merah Putih KPK.
"Saya intinya minta agar tidak disebut satu-satu perusahaan, karena saya tidak kenal perusahaannya," ujar Edhy. Menurut dia, Zulficar pun menuruti perintahnya itu.
"Zulficar hanya mengatakan 'baik pak, baik pak', hanya saya minta tindak lanjuti masalah, kan sudah di bandara, kok bisa tidak jadi ekspor. Artinya rekomendasi sudah beres," kata Edhy.
Dalam sidang pada Rabu (3/3), Zulficar mengaku pernah ditelepon staf khusus Edhy bernama Andreau Misanta dan menyebut dirinya akan dicopot karena tidak menandatangani rekomendasi perusahaan pengekspor benur.
"Saat diminta untuk tanda tangan rekomendasi pengekspor pada 9 Juli, saya tolak meski dari Dirjen Budi Daya sudah lolos, lalu Andreau lapor ke menteri, kemudian Pak Menteri telepon saya, kemudian Andreau bilang 'Ficar ini akan dicopot oleh Menteri'," kata Zulficar.
Saat itu, kata dia, Edhy mengatakan agar diloloskan saja perusahaan tersebut karena barangnya sudah di bandara. "Kalau gagal ekspor karena suratnya tidak keluar bisa-bisa barangnya rugi, kita yang bermasalah. Saya katakan, ‘baik saya cek lagi, secara administratif memang sudah lengkap semua’," ujar Zulficar.
Akhirnya, Zulficar menandatangani dokumen persyaratan untuk PT Aquatic SSLautan Rejeki, PT Tania Asia Marina, UD Samudera Jaya, PT Grahafoods Indo Pasifik, dan PT Indotama Putra Wahana. Zulficar lalu memutuskan mundur dari KKP pada 14 Juli 2020 karena merasa tidak cocok dengan kebijakan Edhy.
Dalam sidang itu, Edhy juga menjelaskan awal mula dirinya membuka keran ekspor benih bening lobster. Ekspor tersebut sebelumnya sempat dilarang saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai menteri KP.
Menurut Edhy, kebijakan Susi tersebut justru merugikan rakyat. Menurut Edhy, Permen No 56/2016 yang mengatur larangan ekspor benih lobster seharusnya diimbangi dengan sosilalisasi kepada masyarakat. Sehingga, kebijakan itu tidak serta merta menghilangkan pekerjaan rakyat.
"Ini (benih lobster) selama ini menjadi tempat kehidupan masyarakat persisir yang disana banyak tergantung untuk menghidupkan anaknya, menyekolahkan anaknya," kata Edhy. "Kalaupun ingin dilarang karena alasan lingkungan, harus ada kajian," katanya.
Jaksa KPK Siswhandono menanyakan tindak lanjut kebijakan Edhy tersebut. Edhy mengatakan, ekspor benur bernilai ekonomi tinggi untuk masyarakat, terutama yang di daerah pesisir. "Lobster itu kalau hidup di alam, itu jumlahnya yang akan hidup hanya 0,01 persen saja. Jadi itu sangat kecil. Makanya setiap 1 juta lobster di alam, kalau kita biarkan di alam maka yang akan hidup hanya 1.000," katanya.
Sementara, lanjut Edhy, banyak masyarakat secara tradisional membesarkan sendiri di keramba atau tambak sehingga bisa hidup hingga 30 persen. "Sekarang perbandingannya, kalau dilakukan di alam hanya 0,01 persen. Bukankah ada gap sangat besar yang bisa dimanfaatkan?" kata dia.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, sidang Suharjito pada Rabu menghadirkan delapan orang saksi. Selain Edhy, ada Iis Rosita Dewi (istri Edhy); Sekretaris Pribadi Edhy Prabowo, Anggia Tesalonika Kloer; Kabag Humas KKP Desri Yanti; PNS di Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Andhika Anjaresta; Direktur PT Grahafoods Indo Pasifik Chandra Astan; seta staf Menteri KKP, Ahmad Syaihul Anam dan Dwi Kusuma Wijaya. N ed: ilham tirta
Saksi Bongkar Kode Paus
Pegawai negeri sipil (PNS) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Andika Anjaresta, membongkar sandi komunikasi korupsi dirinya dengan sekertaris pribadi (sespri) mantan menteri KP Edhy Prabowo, Amiril Mukminin. Kode “paus” dan “daun untuk si kuning” digunakan ketika Andhika dan Amiril membahas pembelian jam mewah merek Rolex. Andika menjelaskan, penggunaan dua kode dimulai saat Amiril itu mengirimkan pesan suara kepadanya.
"Saya dapat voice note dari Amiril pas dibuka isinya 'bang tolong carikan Rolex'. Terus saya tanya Rolex itu apa, (dijawab) jam katanya," kata Andika.
Tak hanya mengirimkan pesan suara, Amiril juga mengirimkan beberapa foto jam yang dinginkan. Sehingga, Andika yang belum mengerti sepenuhnya mempertanyakan perihal peruntukan jam tersebut. "Saya tanya buat siapa," ujar Andika. "Terus (dijawab) buat paus."
Andika lantas mempertanyakan arti dari kode “paus” tersebut. Dia memastikan “paus” yang dimaksud merupakan Edhy Prabowo yang saat itu menjabat menteri kelautan dan perikanan.
"Paus (itu) pak menteri?" tanya Andika saat itu ke Amiril. "Iya buat pak menteri," jawab Amiril ditirukan Andika.
Ketua majelis hakim, Albertus Usada, kembali menanyakan ke Andika siapa “paus” tersebut. "Ini paus ikan, atau paus? " tanya hakim. "Kodenya ‘paus’ Pak," jawab Andika.
Sementara itu, kode 'daun si kuning' berarti uang untuk bayar Rolex yang sudah ada. Nominalnya sekitar Rp 700 juta. Amiril, kata dia, kembali menghubunginya. "Amiril bilang 'daun sudah ada untuk si kuning'," kata Andika.
Jam Rolex ini merupakan salah satu bukti dalam perkara dugaan menerima suap izin ekspor benur. Tak hanya itu, beberapa barang bukti lainnya, antara lain tas Tumi dan LV, sepeda roadbike, dan baju Old Navy.
Edhy mengakui memerintahkan Amiril mencari jam tangan, bisa Rolex atau Jacob & Co. "Saya minta salah satu, tapi saya tidak perintahkan dua jam," ujar Edhy. "Uangnya dari mana?" tanya jaksa. "Uang yang saya miliki yang dikelola Amiril," jawab Edhy.
Edhy membantah pembelian sejumlah barang mewah maupun pengiriman uang ke orang tuanya berasal dari suap terkait ekspor benih lobster. "Saya tidak pernah memerintahkan Amiril untuk terima uang," kata Edhy.
Namun, saat di Amerika, Edi mengaku menerima kartu debit Emerald atas nama Ainul Faqih dari Amiril. "Pernah saya terima waktu itu, karena saya minta Amiril untuk mencarikan kartu kredit apa saja supaya bisa belanja di Amerika Serikat, tapi karena waktunya tidak ada maka Amiril meminjamkan kartu itu. Saya tanya ini uang siapa, dijawab 'uang bapak'. Ya sudah saya pakai," ungkap Edhy.
Menurut Edhy, Amiril mengatakan isi kartu tersebut adalah hingga Rp 1 miliar. Dalam dakwaan disebutkan pada November 2020, Amiril meminta Ainul Faqih mengubah jenis kartu debit Platinum ke kartu debit Emerald personal yang akan digunakan memenuhi kebutuhan Edhy dan istrinya, Iis Rosita Dewi, di Amerika Serikat pada 17-24 November 2020.
Uang tersebut berasal dari keuntungan PT Aero Citra Kargo (ACK) sebagai perusahaan jasa pengiriman kargo (freight forwarding) yang digunakan untuk ekspor benih lobster.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.