Nasional
KPK Sita Rp 52 Miliar Diduga Terkait Suap Benur
KPK menduga garansi bank itu sebenarnya merupakan komitmen fee dari eksportir benur.
JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita aset berupa uang tunai sekitar Rp 52,3 miliar dari salah satu bank BUMN dalam penyidikan kasus dugaan suap terkait perizinan ekspor benih lobster (benur) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Uang tersebut diduga berasal dari para eksportir yang mendapat izin ekspor benur di KKP Tahun Anggaran 2020.
"Hari (Senin) ini, tim penyidik KPK melakukan penyitaan aset berupa uang tunai sekitar Rp 52,3 miliar yang diduga berasal dari para eksportir benih bening lobster," ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Senin (15/3).
Terkait uang itu, Ali menjelaskan, mantan menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekretaris Jenderal KKP, Antam Novambar agar membuat surat perintah tertulis terkait penarikan jaminan bank (Bank Garansi) dari para eksportir kepada Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
Selanjutnya, Kepala BKIPM memerintahkan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta untuk menerima Bank Garansi tersebut. Padahal, menurut Ali, aturan penyerahan jaminan bank tersebut tak pernah ada.
KPK menduga garansi bank itu sebenarnya merupakan komitmen fee dari para eksportir. "Aturan penyerahan jaminan bank dari para eksportir sebagai bentuk komitmen dari pelaksanaan ekspor benih bening lobster tersebut diduga tidak pernah ada," kata Ali.
Sejauh ini, lanjut Ali, peran dari Sekjen KKP adalah menandatangani surat perintah tersebut. KPK masih akan mendalami apabila ditemukan dugaan peran yang lebih signifikan oleh Antam.
"Apakah kemudian nanti ada peran yang signifikan terkait perbuatan tersangka EP, tentunya nanti akan kami konfirmasi lebih lanjut kepda para saksi apakah kemudian ada unsur kesengajaan misalnya dalam konstruksi secara keseluruhan proses di dalam dugaan korupsi seluruh peristiwa yang ada di perkara ini," kata Ali.
Namun, Ali belum bisa memastikan apakah KPK akan memeriksa Antam dalam perkara ini. Menurut dia, yang terpenting uang tersebut telah disita sehingga pasti akan dikonfirmasi kepada para saksi. "Saksinya siapa yang nanti akan dipanggil," kata dia.
KPK telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Edhy Prabowo, staf khusus Edhy bernama Safri, Andreau Misanta Pribadi, Amiril Mukminin selaku sekretaris pribadi Edhy, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi, dan Ainul Faqih selaku staf istri Edhy. Satu tersangka lagi adalah terduga pemberi suap, yaitu Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
Saat ini, Suharjito tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Suharjito didakwa memberikan suap senilai total Rp 2,146 miliar kepada Edhy. Suap diberikan melalui perantaraan lima tersangka lainnya.
Edhy Prabowo hingga saat ini belum mengakui perbuatannya. Usai menjalani pemeriksaan pada Senin (22/2) lalu, Edhy menantang KPK membuktikan status tersangka yang ditetapkan padanya. Ia juga mengaku siap dihukum mati dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itu pun saya siap, yang penting demi masyarakat saya," kata Edhy.
Dia mengklaim tidak bersalah sehingga siap menjalani persidangan. Dia bahkan berseloroh, jika berniat korupsi, maka sudah dilakukan melalui pengeluaran izin kapal ikan. Dia telah menerbitkan 4.000 izin. "Banyak peluang korupsi, Anda lihat izin kapal yang saya keluarkan ada 4.000 izin dalam waktu 1 tahun saya menjabat," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.