Opini
Impor Beras dan Kemandirian Pangan
Langkah dan cita-cita kemandirian pangan sering terganjal perilaku kerja pemerintah itu sendiri.
MARENDRA ISHAK S, Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras tahun ini merupakan langkah mengejutkan, bahkan dapat dikatakan blunder atau absurd.
Blunder karena alasan bukan semata panen raya yang segera dapat mampu mensuplai gudang Bulog tetapi tetapi juga karena langkah ini semakin menguji kemandirian pangan sekaligus masalah perberasan nasional.
Pada posisi subjekkah petani saat ini atau sebaliknya menjadi pelengkap dalam sandiwara kepentingan? Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan seolah tak mampu menempatkan petani sebagai subjek pertanian itu sendiri.
Bahkan, langkah dan cita-cita kemandirian pangan yang hendak dituju, sering terganjal perilaku kerja pemerintah itu sendiri. Di sinilah letak urgensi beras terhadap kemandirian pangan penting untuk kita bahas.
Bahkan, langkah dan cita-cita kemandirian pangan yang hendak dituju, sering terganjal perilaku kerja pemerintah itu sendiri.
Kondisi perberasan
Melihat posisi perberasan saat ini, kita bisa menilai langkah impor pemerintah. Sudah tepatkah dan apakah ini memperkuat ketahananan pangan atau sebaliknya? Ini menandakan industri perberasan dikelola sangat pragmatis, bahkan memihak pasar bebas.
Terlepas kondisi data perberasan yang masih merujuk pada beberapa data, terutama data BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog, perberasan nasional per akhir Februari sebenarnya dalam posisi sangat aman.
Kondisi ini tergambar dari data BPS, di mana produksi beras pada Januari-April 2021 berada pada kurang lebih 14 juta ton. Bahkan, ini mengalami kenaikan lebih dari 26 persen dari produksi beras pada tahun 2020.
Selain itu, posisi panen raya yang akan berlangsung pada Januari-April mendatang berpotensi surplus 4,8 juta ton beras. Di sisi lain, sisa stok gudang Bulog pada 2020 berada pada masih cukup memadai.
Di balik rencana impor pemerintah, harga gabah berada pada kondisi tertekan. Pada beberapa daerah bahkan kurang dari Rp 3.500 per kilogram.
Ha ini karena pada 2020 pergerakan produksi beras mencapai 54,65 juta ton. Sedangkan total kebutuhan beras tahunan umumnya berada pada 29,6 juta ton. Dengan keadaan seperti ini, hampir dapat dipastikan masih bisa surplus.
Karena itu, impor beras hampir dapat dikatakan belum layak dilakukan sekarang. Di balik rencana impor pemerintah, harga gabah berada pada kondisi tertekan. Pada beberapa daerah bahkan kurang dari Rp 3.500 per kilogram.
Dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp 4.200 saja petani masih sulit membayar ongkos produksi, apalagi kalau ada impor beras. Pastinya petani semakin tertekan bahkan hampir dapat dikatakan kesejahteraan petani mustahil tercapai.
Seharusnya pemerintah berpikir kembali soal rencana impor dan lebih mengutamakan menyerap hasil panen petani, menimbang belum semua gabah hasil panen diserap Bulog. Apalagi, saat ini petani penopang bagi sektor lain yang terdampak pandemi Covid-19.
Kemandiran pangan
Beberapa dekade silam, Indonesia sempat menjadi salah satu negara yang berhasil swasembada beras. Ini momentum serta kebangaan masyarakat tani. Seiring hal tersebut, swasembada pangan kian diuji. Terutama saat produksi yang semakin menurun.
Infrastruktur pertanian kian tergerus, pupuk sering langka, bahkan asuransi bagi tani juga tak kunjung hadir.
Produksi yang menurun, bukan saja diakibatkan kurangnya input tekonologi tetapi juga karena kesejahteraan dari hasil pertanian kian sulit menafkahi kebutuhan hidup sehari-hari. Pertanian pun telah berubah drastis.
Infrastruktur pertanian kian tergerus, pupuk sering langka, bahkan asuransi bagi tani juga tak kunjung hadir. Infrastruktur pertanian adalah hal yang sangat vital.
Sebagai contoh, jaringan irigasi menjadi sarana mutlak agar panen dapat dilakukan tiga kali setahun atau bahkan lebih (IP 300), saat ini berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Banyak dari jaringan irigasi berubah fungsi sehingga lahan pertanian semakin terancam.
Belum termasuk masalah kelompok tani yang kurang mendapat pendampingan atau kalaupun ada, program-program yang dilakukan pemerintah sering tak sesuai kebutuhan petani. Dengan demikian, kemandirian pangan adalah hal sukar di negeri ini.
Sayangnya, kita gagal mengelola potensi ini. Bahkan, kita terjebak pada kondisi pangan dan perberasan seperti saat ini.
Kemandirian pangan sudah seharusnya ditempatkan pada program utama pada negeri agraris ini.
Bagaimana tidak, hamparan lahan yang terbentang cukup luas, kesuburan alami yang terbilang cukup baik, bahkan kondisi curah hujan terbilang tinggi adalah potensi kemandirian pangan yang seharusnya dapat tercapai.
Sayangnya, kita gagal mengelola potensi ini. Bahkan, kita terjebak pada kondisi pangan dan perberasan seperti saat ini. Situasi ini seharusnya segera disikapi.
Menerjemahkan langkah kemandirian pangan, menyelaraskan kerja kementerian dan lembaga pemerintah pada tujuan bersama, hingga menyusun data pangan yang terintergrasi adalah hal yang mendesak untuk dilakukan sesegera mungkin.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.