Kabar Utama
Peta Jalan Pendidikan Jangan Abaikan Agama
Ketiadaan frasa “agama” dikhawatirkan mengabaikan pendidikan agama.
JAKARTA –- Penyusunan Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memunculkan kritikan dari sejumlah pihak. Tak ditemukannya kata “agama” dalam draf sementara peta jalan itu dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Ketua PP Muhammadiyah Prof Dadang Kahmad menyebut, peniadaan kata “agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 sebagai suatu kejanggalan. “Setelah periode ini misalnya rezim tidak simpatik terhadap agama, seperti ada alasan untuk menghapuskan pelajaran agama dari kurikulum sekolah,” ujar guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu kepada Republika, Ahad (7/3).
Hal tersebut menurutnya bertentangan dengan cita-cita negara menciptakan manusia yang taat pada agamanya. Komentarnya seiring dengan yang disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir.
Menurut Haedar, draf peta jalan yang disusun Kemendikbud bisa melanggar konstitusi dengan tiadanya frasa “agama”. Hal tersebut, menurutnya, juga menyalahi pedoman wajib di atas Peta Jalan Pendidikan Nasional yaitu ayat 5 Pasal 31 UUD 1945 poin pertama Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sikdisnas. Dalam beleid itu dijelaskan secara eksplisit agama sebagai unsur integral di dalam pendidikan nasional.
PP Muhammadiyah juga menilai proses penyusunan peta jalan sebagai tindakan “sembunyi-sembunyi” karena tidak melibatkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendikbud dan partisipasi publik.
Lebih jauh, Muhammadiyah melihat penyusunan peta jalan ini tak lepas dari kebijakan kontroversial Kemendikbud sebelumnya. Di antaranya penerbitan SKB 3 Menteri yang melarang pewajiban maupun pelarangan atribut keagamaan di seragam sekolah.
Peta jalan pendidikan mulai disusun sejak 2020 lalu. Pada Juni 2020, Presiden Joko Widodo memberikan garis besar arahan peta jalan tersebut dalam rapat terbatas kabibnet. Di antaranya soal perlunya benchmarking alias penyelarasan pendidikan nasional dengan negara lain. Kemudian perlunya target yang terukur soal angka partisipasi pendidikan, perbaikan kualitas guru serta kurikulum dan infrastruktur sekolah.
Selain itu, juga soal perlunya reformasi pendidikan. Yang tak kalah penting, perlunya pendidikan karakter dengan keluaran SDM unggul serta berakhlak mulia sesuai nilai kebudayaan Indonesia dan Pancasila.
Dalam draf sementara yang keluar tahun ini, arahan tersebut dielaborasikan dalam sasaran dan langkah-langkah terperinci. Di antaranya perlunya kolaborasi pembinaan antarsekolah, peningkatan kualitas pendidik, dan perbaikan kurikulum.
Selain itu, peningkatan kolaborasi dengan pemda, membangun sekolah masa depan yang inklusif, memberikan insentif atas kontribusi swasta, dan mendorong kepemilikan industri dan otonomi sekolah vokasi. Selanjutnya, membangun pendidikan tinggi kelas dunia dan menyederhanakan proses akreditasi serta pemberian otonomi lebih kepada lembaga pendidikan.
Dalam seantero draf sementara, memang tak ada kata agama satu pun. Perihal spiritualitas murid hanya disebut dalam sasaran keluaran SDM yang "Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia" tersebut.
Sedangkan Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) mengeklaim telah memberikan masukan kepada Kemendikbud terkait hal ini. Masukan itu disampaikan langsung pada Mendikbud Nadiem Makarim yang didampingin seluruh eselon I pada 25 Januari lalu.
"Kami memberi masukan agar perlunya penanaman ajaran dan nilai-nilai agama sesuai yang dipeluk peserta didik. Kami juga mengusulkan penggunaan frasa merdeka belajar dikembalikan ke frasa yang diintrodusir Ki Hajar Dewantara, yakni menekankan pada pengembangan karakter bukan penekanan pada literasi numerasi," kata Ketua LP Ma'arif NU, Arifin Djunaidi pada Ahad (7/3).
"Menurut informasi dari beberapa pejabat eselon I masukan dari Ma'arif banyak yang digunakan Mendikbud," ucap Arifin melanjutkan.
Menurut Arifin, visi pendidikan di masa depan seharusnya mendasarkan diri pada dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Selain itu juga perlu merujuk pengarusutamaan gender. “Karena merupakan komponen penting yang seharusnya menjadi landasan analisis kritis dalam penyusunan peta jalan pendidikan,” ujarnya.
Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri menjelaskan, sifat peta jalan pendidikan saat ini belum final. "Kemendikbud terbuka terhadap berbagai usul, aspirasi dan ide semua pihak untuk mematangkan peta jalan ini," kata Jumeri kepada Republika, Sabtu (6/3).
Panja PJP Teruskan Rekomendasi
Ketua Panitia Kerja (Panja) Peta Jalan Pendidikan (PJP) Komisi X DPR, Syaiful Huda, menanggapi kritik Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir, tentang tidak adanya frasa 'agama' dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Syaiful mengatakan, kritik Haedar senada dengan rekomendasi yang disampaikan panja PJP.
"Oleh karena itu, hasil rekomendasi panja, karena ini menjadi concern kami di panja sebagaimana kritiknya Pak Haedar, masuk dalam rekomendasi kami bahwa semua napas dari dunia pendidikan kita tidak boleh lepas dari spirit keagamaan," kata Syaiful kepada Republika, Ahad (7/3).
Syaiful mengungkapkan, dalam proses pembahasannya, Panja PJP juga melibatkan sejumlah ormas keagamaan dari seluruh agama di Indonesia. "Dari hasil masukan itu tetap intinya sama, apa yang disampaikan Pak Haedar dan kita bersyukur masukan itu sudah menjadi bagian dari rekomendasi utuh panja PJP," tuturnya.
Adanya kritikan tersebut, menurut dia, semakin relevan ke depan bagi Kemendikbud untuk terus melakukan evaluasi draf awal Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Komisi X juga akan meminta rekomendasi Panja PJP menjadi bagian utuh dari evaluasi itu.
Selain itu, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu meminta agar Kemendikbud meletakkan PJP tidak hanya pada level rencana strategis, tetapi diharapkan juga betul-betul menjadi peta jalan. "Isu terkait kesejahteraan guru harus juga menjadi prioritas dari PJP ini, yang kami melihat itu belum secara eksplisit, belum ada di dalam draf Kemendikbud," katanya.
Syaiful menambahkan, Panja PJP telah merampungkan kerjanya sebelum masa sidang III 2020-2021 berakhir pada 10 Februari 2021 lalu. Rencananya, Panja PJP akan menyerahkan rekomendasi hasil kerja panja ke Kemendikbud pada Kamis (11/3) mendatang. "Saya rasa sudah komprehensif hasilnya, tinggal di follow up oleh Kemendikbud," ucap ketua Komisi X DPR itu.
Terkejut
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan keterkejutannya soal ketiadaan frasa ‘agama’ tersebut. "Tokoh agama, termasuk ormas, MUI, sangat terkejut dengan konsep ini. Sementara, kami di satu sisi, menginginkan dan senantiasa menyosialisasikan umat agar menjadi umat yang taat beragama," kata Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH Abdullah Jaidi, saat dihubungi Republika, Ahad (7/3).
Kiai Abdullah Jaidi menyebut agama merupakan tiang bangsa. Tanpa adanya agama, bangunan atau pendidikan yang sudah berjalan akan jatuh dan roboh.
Menurut dia, konsep yang diusung Kemendikbud hanya menyebutkan permasalahan, yang berkenaan dengan akhlak dan budaya di Indonesia. Muatan agama, yang sejatinya sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945, tidak lagi menjadi patokan dasar.
Pun, dalam Pancasila sebagai dasar negara, Kiai Abdullah mengungkap, disebutkan perihal adanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, agama adalah sesuatu yang penting dan mendasar bagi bangsa Indonesia. "Unsur agama itu adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar. Kenapa ini tidak disebutkan?" kata dia.
Jika Kemendikbud beralasan frasa ‘agama’ telah diwakilkan dengan frasa ‘akhlak’ dan ‘budaya’, Kiai Abdullah menilai hal tersebut tidak cukup. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang didasarkan pada agama dan menjalankan syariatnya menurut agama masing-masing.
Muatan agama tidak hanya berfokus pada akhlak serta budaya. Agama juga tentang bagaimana umat bisa melaksanakan ajarannya di segala lini sehingga menjadi umat yang ber-Ketuhanan yang Maha Esa.
"Yang dicanangkan oleh Presiden Jokowi, character building yang berkenaan dengan akhlak, merupakan hal penting. Hal ini termuat dalam ajaran agama," katanya. Setiap agama disebut mengajarkan, bagaimana seseorang memiliki kepribadian yang baik dan berakhlak mulia, serta beriman kepada Yang Mahakuasa.
Sekretaris Fraksi PPP MPR, Muhammad Iqbal mengatakan, padahal Peta Jalan Pendidikan merupakan pengejawantahan tujuan nasional dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945. Karena itu, tidak adanya frasa ‘agama’ ini sama artinya bertentangan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"UU Sisdiknas ini menyebutkan bahwa agama menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan nasional kita. Secara eksplisit, frasa ‘agama’ banyak ditemukan dalam UU Sisdiknas," kata Iqbal, Ahad (7/3).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.