Kabar Utama
Investasi Miras Tuai Penolakan
Majelis Rakyat Papua menilai investasi miras akan membunuh generasi muda Papua.
JAKARTA — Pemerintah didesak mencabut aturan yang melegalkan investasi industri minuman keras (miras) di empat provinsi. Berbagai kalangan menyebut, membuka lebar keran investasi miras sama saja dengan merusak generasi bangsa.
Industri minuman keras sebelumnya masuk ke dalam daftar negatif investasi. Namun, sektor tersebut kini diubah ke dalam klasifikasi sebagai bidang usaha dengan persyaratan tertentu melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Dalam lampiran III perpres tersebut, pada poin nomor 31, 32, dan 33 ditetapkan bahwa bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.
Dalam aturan tersebut juga diatur bahwa investasi di luar daerah-daerah tersebut diperbolehkan dengan izin kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal melalui usulan gubernur setempat.
Beleid yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini telah diteken Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku per 2 Februari 2021. Selain soal penanaman modal, perdagangan eceran minuman keras juga diperbolehkan dengan syarat jaringan distribusi dan tempatnya harus disediakan secara khusus.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua KH Saiful Islam Al Payage mengatakan, legalitas dan investasi miras akan menghancurkan masa depan orang Papua. Untuk itu, MUI Papua tegas menolak perpres yang menetapkan Papua sebagai salah satu wilayah tempat miras alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka.
Menurut dia, ada banyak orang di Papua yang meninggal karena HIV-AIDS, penyakit lain, dan miras. "Jadi, saya sangat kecewa dengan kebijakan yang melegalkan (miras) sesuatu yang memang dilarang oleh norma-norma agama ini ditaruh di Indonesia timur, khususnya di Papua," kata Kiai Payage kepada Republika, Ahad (28/2).
Kiai Payage menegaskan, dia sebagai tokoh agama dan mewakili masyarakat Papua dengan tegas menolak legalitas, investasi, dan produksi miras di Papua. Menurut dia, tokoh-tokoh agama di Papua juga sangat menolak kebijakan tersebut.
"Karena (miras) akan menghancurkan pikiran orang Papua, menghancurkan karakter orang Papua, akan menghancurkan pola pikir, pola hidup, dan untuk membangun generasi Papua ke depan akan berat kalau model kebijakannya begini," ujarnya.
Menurut dia, bahaya miras yang banyak membunuh orang Papua sudah diketahui umum. Karena banyak sekali peredaran miras yang ilegal dan legal. Artinya, tidak perlu ada kebijakan miras boleh diproduksi secara terbuka di Papua.
"Dengan kebijakan ini, (terjadi) pembunuhan massal, karakter dan masa depan orang Papua. Oleh karena itu, saya minta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini," ujarnya.
Gubernur Papua Lukas Enembe pada 2017 pernah mengeluarkan pernyataan. Menurut dia, sebanyak 22 persen kematian di Tanah Papua disebabkan konsumsi miras. Hal itu membuat miras jadi salah satu penyebab terkikisnya populasi penduduk asli Papua selain penyakit-penyakit di daerah tersebut.
Laporan Polda Papua membenarkan asumsi tersebut. Data yang dilansir pada 2019 menyimpulkan bahwa 1.485 kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan 277 warga meninggal sebagian besar terjadi didahului konsumsi miras. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BPPA) Papua juga melansir bahwa minuman keras menjadi pemicu utama kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di berbagai daerah di Papua.
Sementara, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilansir Kementerian Kesehatan menunjukkan rerata konsumsi alkohol di Papua memang paling tinggi se-Indonesia. Angkanya 9,9 poin per bulan dibandingkan rerata nasional, yakni 5,4 poin per bulan.
Penolakan terhadap investasi miras juga telah disampaikan Majelis Rakyat Papua (MRP). "Kami menolak dengan tegas. Jika mau investasi di Papua silakan, tapi bawa yang baik-baik. Jangan bawa yang membunuh generasi muda Papua," kata anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Dorius Mehue, kepada Republika, akhir pekan lalu.
MRP adalah majelis yang diamanatkan UU Otonomi Khusus Papua dan harus dimintai persetujuannya terkait kebijakan-kebijakan di Papua. Namun, menurut tokoh perempuan Papua itu, pihaknya sama sekali belum diajak bicara soal perpres tersebut.
Kami menolak dengan tegas. Jika mau investasi di Papua silakan, tapi bawa yang baik-baik. Jangan bawa yang membunuh generasi muda Papua.
Dorius yang juga ketua Persekutuan Wanita Gereja Kristen Indonesia (PW GKI) Papua menekankan, dampak minuman keras di Papua selama ini sangat merugikan warga. "Pertama, warga minum-minum, kemudian mabuk, dan dari situasi itu muncul banyak kekerasan," ujarnya.
Sejauh ini, dia menekankan, pihak-pihak di Papua telah berupaya mengikis persoalan miras ini. MRP juga telah membentuk Koalisi Antimiras guna menanggulangi persoalan yang dipandang serius di Papua tersebut. Karena itu, ia tak menginginkan upaya-upaya tersebut dikandaskan lagi dengan regulasi yang lebih permisif soal miras di Papua.
Dia menambahkan, Pemprov Papua juga telah memiliki Perda Provinsi Papua Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol. Pada Pasal 6 regulasi itu diatur, "Setiap orang atau badan hukum perdata dilarang memproduksi minuman beralkohol golongan A, golongan B, dan golongan C."
Sikap Ormas
Penolakan turut disuarakan organisasi massa Islam. Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), KH Mahbub Maafi Ramdhan menegaskan bahwa PBNU sudah lama menolak investasi minuman keras. Menurut dia, Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil sudah menolak investasi miras tersebut sejak 2013 lalu, karena lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
“PBNU, Kiai Said sudah pernah bilang itu tahun 2013 bahwa nggak boleh itu miras-miras itu, termasuk soal produksinya. Itu sudah ngomong 2013 sejak lama, makanya kok baru sekarang yang geger, wong kita udah ngomong lama itu,” ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (28/2).
Karena itu, Kiai Mahbub pun heran kepada pemerintah pusat yang tiba-tiba menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang menetapkan Papua sebagai salah satu wilayah tempat miras alias minuman beralkohol boleh diproduksi secara terbuka.
Menurut dia, beberapa pengurus LBM PBNU juga ada yang menawarkan untuk membahas Perpres tersebut berdasarkan kajian fikih Islam. Namun, kata dia, pihaknya sementara itu belum mengetahui seperti apa isi dari Perpres yang baru tersebut.
“Ada beberapa tawaran dari teman-teman untuk melihat persoalan ini, tapi kita juga belum tahu aturan ini seperti apa sebenarnya perpresnya. Tapi yang jelas ketum PBNU sudah ngomong sejak 2013. Ini kan sudah lama wacananya, tahun 2013 itu sudah menolak itu PBNU,” ucap Kiai Mahbub.
Ia juga menyoroti penolakan dari Papua. “Itu menarik Papua, kok bisa mereka yang paling keras melakukan penolakan. Mungkin karena sudah banyak yang konsumsi, sehingga pusing gubernurnya itu,” kata Kiai Mahbub.
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis Ustaz Jeje Zaenudin mengatakan, dampak kerusakan moral anak bangsa akan jauh lebih besar dibanding harapan keuntungan materi dari investasi miras.
"Sebagai bangsa dan masyarakat religius, kita harus berpedoman kepada norma dasar agama yang menyatakan bahwa al khamru, ummul khabaaits, minuman keras adalah induk segala kejahatan," kata Ustaz Jeje, kemarin,
Menurut dia, pemerintah seperti mengabaikan tanggung jawab moralnya atas masa depan akhlak bangsa. Semestinya, kata Ustaz Jejen, segala peluang yang bisa menimbulkan dampak kerusakan akhlak dicegah melalui peraturan. Bukan sebaliknya malah diberi legalitas hanya karena mengharapkan keuntungan materi dengan masuknya investasi asing.
"Menurut hemat saya, bagaimanapun peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh mengabaikan norma agama dan budaya bangsa yang religius," ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) KH Ahmad Sadeli Karim meminta pemerintah agar tidak hanya memperhitungkan aspek investasi dalam menerbitkan Perpres Nomor 10 Tahun 2021, tetapi juga keselamatan moral dan akhlak bangsa.
"Kami berharap pemerintah mengevaluasi pandangan bahwa dunia usaha sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi keuntungan semata. Namun, juga mempertimbangkan kemaslahatan rakyat dan norma agama," kata dia.
Miras merupakan induk kejahatan, pintu kemaksiatan yang selalu menimbulkan ketidaktenteraman dan mengganggu keharmonisan.
Menurut dia, tidak ada satu pun agama yang melegalkan miras. Semua kitab suci mengharamkan miras. Larangan itu, kata dia, ada di dalam Alquran surah al-Baqarah: 219, Injil dalam Efesus 5:18, ajaran Hindu dalam Bhagavata Purana (I. 17. 38-39), dan ajaran Budha ke-5 Sura Meraya Masjja Pamada Tikana Veramani.
"Miras merupakan induk kejahatan, pintu kemaksiatan yang selalu menimbulkan ketidaktenteraman dan mengganggu keharmonisan," katanya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis mengatakan, investasi miras akan lebih banyak mendatangkan mudharat dibandingkan manfaat. Ia kemudian menyinggung data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014 yang menyebutkan bahwa ada lebih dari 3 juta orang meninggal akibat miras. "Bahkan, itu (korban) Covid-19 sekarang tidak sampai segitu jumlahnya," kata Kiai Cholil kepada Republika.
Dia mengatakan, angka kriminal juga lebih banyak terjadi karena mengonsumsi miras. Dengan demikian, kata dia, hasil yang didapatkan dari menjual miras oleh negara itu tidak cukup untuk memulihkan dampak buruk miras. Dia menegaskan, miras bukan hanya menjadi persoalan bagi Muslim, melainkan juga menjadi persoalan kebangsaan dan masa depan bangsa.
"Memang banyak potensi di negeri ini, banyak kekayaan di negeri ini, tetapi kita harus bijak, marilah cari potensi yang lebih baik, baik dalam pandangan kebangsaan dan keagamaan," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.