Internasional
Indonesia Serukan Myanmar Tahan Diri
Unjuk rasa yang makin memanas terus berlangsung di Myanmar.
JAKARTA — Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyampaikan keprihatinannya atas situasi kekerasan yang terus tereskalasi di Myanmar. Pada Ahad (28/1), dalam akun Twitter resmi Kemlu RI, Pemerintah Indonesia menyerukan agar aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan dan menahan diri.
Hal ini perlu dilakukan guna menghindari lebih banyak lagi korban jatuh serta menghindari agar situasi tidak semakin buruk. Pada Ahad (28/2), polisi Myanmar melemparkan granat setrum dan melakukan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan demonstran yang menentang junta militer.
Tindakan untuk membubarkan aksi protes tersebut dilakukan setelah televisi pemerintah mengumumkan utusan Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, telah dipecat. Polisi pun turun ke jalan dan membubarkan aksi protes yang berlangsung di Yangon.
3. Indonesia urges the security forces to refrain from the use of force and exercise utmost restraint to avoid further casualties and prevent the situation from deteriorating. — MoFA Indonesia (@Kemlu_RI) February 28, 2021
Seorang saksi mata mengatakan, ratusan pengunjuk rasa yang mengenakan alat pelindung mulai berkumpul di jalan-jalan utama Kota Yangon.
Polisi kemudian bergerak cepat untuk membubarkan mereka. "Polisi melemparkan granat setrum ke arah kami. Kami harus lari dan bersembunyi. Tapi, saya keluar lagi dari persembunyian karena hari ini sangat penting. Jika kita semua keluar, mereka tidak bisa menang," ujar seorang pengunjuk rasa, Myint Myat (29 tahun).
Polisi dan juru bicara dewan militer yang berkuasa tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar terkait pembubaran demonstran tersebut. Sebelumnya, pada Sabtu (27/2), kerusuhan terjadi di kota-kota di seluruh Myanmar ketika polisi bergerak untuk membubarkan demonstran.
Polisi menembakkan gas air mata, meledakkan granat kejut, dan melakukan tembakan peringatan ke udara. Seorang saksi mata mengatakan, polisi berseragam dan petugas keamanan berpakaian preman menyerang beberapa orang dengan pentungan. 7Day News melaporkan, seorang wanita terkena tembakan dan terluka di pusat Kota Monwya.
Setidaknya empat orang terbunuh dan beberapa lainnya terluka di hari kedua aksi demonstrasi nasional di Myanmar. Satu orang terbunuh di Yangon terkena granat setrum yang diledakkan polisi. Ia meninggal setelah dibawa ke rumah sakit dengan luka tembak di dada. Sementara tiga pengunjuk rasa lainnya terbunuh di Kota Selatan Dawei setelah polisi melepaskan tembakan.
Informasi meninggalnya para pengunjuk rasa itu dikonfirmasi langsung oleh seorang dokter yang enggan disebutkan namanya, juga politisi bernama Kyaw Min Htike kepada Reuters.
Seorang wanita juga dilaporkan tewas setelah polisi membubarkan aksi protes guru dengan granat setrum di kota utama Yangon. Namun penyebab kematiannya tidak diketahui, demikian kata putri dan seorang rekannya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan sebagian besar kepemimpinan partainya pada 1 Februari. Kudeta terjadi setelah militer mengklaim adanya kecurangan dalam pemilihan umum yang dimenangkan partai Suu Kyi secara telak.
Kudeta oleh militer itu telah menarik ratusan ribu orang turun ke jalan juga memicu kecaman dari negara-negara Barat. “Myanmar seperti medan perang,” kata Kardinal Katolik pertama Myanmar, Charles Maung Bo seperti dilansir dari Channel News Asia pada Ahad (28/2).
Volunteer medics in Yangon's Sanchaung Township gave oxygen to a man who fell unconscious after inhaling what seemed to be teargas.
A Frontier reporter on the scene said she struggled to breathe and went momentarily blind because of the gas. #WhatsHappeningInMyanmar pic.twitter.com/QiF3RaMibR — Frontier Myanmar (@FrontierMM) February 28, 2021
Pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan, pihak berwenang telah menggunakan kekuatan minimal untuk membubarkan para pengunjuk rasa. Namun, setidaknya tiga pengunjuk rasa telah tewas selama aksi protes berlangsung. Sementara, tentara mengatakan seorang polisi tewas dalam kerusuhan itu.
Televisi MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan, ada lebih dari 470 orang telah ditangkap. Menurut pihk kepolisian, pihanya selalu memberikan peringatan sebelum menggunakan granat setrum untuk membubarkan kerumunan.
Aktivis pemuda Eshter Ze New mengatakan, para demonstran sedang berjuang untuk mengatasi ketakutan terhadap militer. Menurut dia, jika masyarakat tidak melakukan perlawanan untuk menciptakan demokrasi, ketakutan itu akan terus mengakar.
Myanmar's U.N. ambassador Kyaw Moe Tun was fired a day after he urged the United Nations to use ‘any means necessary’ to reverse the Feb. 1 military coup https://t.co/H7o8CPP954 pic.twitter.com/9mUl21hjws — Reuters (@Reuters) February 28, 2021
“Ketakutan ini hanya akan tumbuh jika kita terus menjalaninya dan orang-orang yang menciptakan ketakutan mengetahui hal itu. Jelas mereka mencoba menanamkan rasa takut pada kita dengan membuat kita lari dan bersembunyi," ujar Esther.
Kekacauan di Myanmar terjadi ketika militer melakukan kudeta dan menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan beberapa tokoh politik berpengaruh lainnya. Militer menuding ada kecurangan dalam pemilihan umum pada November lalu yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi.
Kudeta ini menimbulkan aksi protes besar-besaran di seluruh wilayah Myanmar. Kudeta juga mendapatkan kecaman dari negara-negara Barat dan beberapa dari mereka menjatuhkan sanksi terbatas terhadap militer Myanmar.
Melawan
Sementara, Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun berjanji akan melakukan perlawanan, setelah dia dipecat karena mendesak PBB menghentikan kudeta militer di negaranya. Sementara PBB tidak mengakui junta militer sebagai pemerintahan baru Myanmar. "Saya memutuskan untuk melawan selama saya bisa," ujar Kyaw Moe Tun.
Pemecatan Kyaw Moe Tun diumumkan stasiun televisi pemerintah Myanmar MRTV, pada Sabtu (27/2). Dalam laporannya, MRTV menyebut Kyaw sebagai pengkhianat. "(Dia) berbicara untuk organisasi tidak resmi yang tidak mewakili negara dan telah menyalahgunakan kekuasaan serta tanggung jawab seorang duta besar," katanya.
Saat berbicara di Majelis Umum PBB, Kyaw mendesak badan internasional itu untuk menghentikan kudeta militer di Myanmar dengan menggunakan segala cara yang diperlukan. Kyaw menyebut dirinya berbicara atas nama pemerintahan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
"Pemerintah Myanmar yang sah dan terpilih dengan semestinya harus diakui oleh komunitas internasional," ujar Kyaw.
Pada Jumat (26/2), Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, memperingatkan 193 anggota Majelis Umum PBB bahwa, mereka tidak harus mengakui atau melegitimasi junta Myanmar.
Jika junta Myanmar mencoba mendapatkan pengakuan internasional dengan menunjuk utusan PBB yang baru, maka hal ini dapat memicu pertarungan di badan dunia tersebut dan akhirnya berujung dengan pemungutan suara di Majelis Umum.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.