Narasi
Konsultasikan Kecanduan Gawai
Orang tua bisa mengajak anak ke jasa layanan konseling gratis terkait kecanduan gawai.
OLEH ADYSHA CITRA RAMADANI, RR LAENY SULISTYAWATI
Setahun lebih pandemi Covid-19 mulai menampakkan dampak-dampak sampingan terhadap anak-anak dan remaja. Di sela-sela ancaman kesehatan yang belum juga mereda, gejala-gejala dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan membuat orang tua dan guru kewalahan. Republik/ coba menyoroti fenomena tersebut. Berikut tulisan bagian terakhir.
Seturut wawancara Republika dengan sejumlah guru dan orang tua murid, terlampau lamanya screen time pada masa pandemi benar-benar telah memicu defiasi pada perilaku anak. Apa yang harus dilakukan bila terjadi kondisi tersebut?
Menurut psikolog anak dan remaja dari Klinik Kancil dan RS Mitra Keluarga Depok Ratih Zulhaqqi, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki pola pengasuhan. Bila usia anak masih kecil, Ratih mengatakan, orang tua mungkin bisa langsung membatasi penggunaan gawai. "Kalau anaknya sudah remaja, orang tua harus lebih banyak ngobrol sama anaknya," ujar Ratih saat dihubungi Republika, pekan lalu.
Dalam hal ini, orang tua bisa mencoba untuk mengajak anak bicara mengenai dampak positif dan negatif dari bermain gawai. Orang tua mungkin dapat menyisihkan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain bersama anak. "Jadi, ngobrol sih sebenarnya. Itu yang pertama," kata Ratih.
Sebagian orang tua mungkin mendapati anak sudah mengalami kecanduan gawai yang cukup berat. Hal ini dapat dilihat dari reaksi anak ketika gawai mereka diambil. Anak dengan kecanduan yang cukup berat biasanya akan menunjukkan reaksi, seperti menangis, marah, bahkan memukul.
Pada kondisi tersebut, orang tua perlu melakukan ‘detoks’ gawai. Untuk melakukan detoks gawai, orang tua perlu mengambil akses anak terhadap gawai dan gim. Detoks gawai dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk membentuk ulang perilaku mereka. "Hak untuk bermain gawainya diambil, kecuali untuk belajar," ujar Ratih.
Sebagian anak mungkin anak menunjukkan sikap marah atau memusuhi orang tua bila akses terhadap gawai dan gim mereka diambil. Hal yang bisa dilakukan, tidak mengambil paksa gawai anak sambil menggunakan nada bicara yang tinggi.
"Jangan dalam keadaan marah, tapi tunjukkan perilaku (bahwa orang tua sedang) menolong anak," ujar Ratih. "Untuk berapa lama, minimal tiga pekan. Nanti kita lihat kalau tiga minggu belum oke, berarti ditambah lagi waktunya," kata Ratih menambahkan.
Ada beberapa indikator yang dapat menunjukkan bahwa anak sudah dapat dikatakan "oke" setelah detoks gawai. Misalnya, anak sudah tidak lagi kesal ketika gawainya diambil atau anak sudah tidak mencari-cari kesempatan untuk bermain gim.
Konsultasi
Akan tetapi, ada kalanya orang tua memerlukan bantuan tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater untuk menghadapi kecanduan gim pada anak. Misalnya, ketika kecanduan gim sampai memengaruhi kualitas hidup anak seperti anak mogok sekolah atau tidak mau bertanggung jawab atas hal-hal yang seharusnya dia lakukan.
"Jadi, fungsi hidup kesehariannya sudah benar-benar berkurang. Nah, itu perlu datang ke expert untuk dibantu manajemen perilakunya," ujar Ratih.
Untuk terapi, Ratih mencontohkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh psikolog. Salah satunya, psikolog akan melatih kemampuan anak dalam menempatkan diri pada situasi tertentu. Anak akan diajak untuk membingkai ulang perilaku yang sebenarnya merugikan atau perilaku yang menguntungkan mereka.
"Sampai akhirnya dia memutuskan bahwa oke ternyata boleh bermain gim, tapi yang penting harus tahu waktu," ujar Ratih. Psikolog juga akan membantu anak mengasah kembali kemampuan mereka untuk menentukan prioritas melalui terapi.
Sejauh ini jasa konsultasi tersebut sudah tersedia secara gratis di sejumlah klinik dan rumah sakit. Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Bogor, Sumedi, misalnya, di wilayahnya ada layanan gratis konsultasi tersebut.
Layanan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau ke KPAID Kota Bogor disediakan untuk melakukan terapi terhadap anak yang kecanduan gawai, termasuk game online, bahkan pornografi.
“Kota Bogor melalui P2TP2A atau KPAID bisa melakukan terapi. Di P2TP2A bisa ditangani berdasarkan sampai mana tingkat kecanduannya,” katanya. Dia menekankan, tak ada biaya yang dikenakan untuk konsultasi tersebut. Meski begitu, terlepas keresahan di kalangan orang tua, masih sedikit yang secara spesifik mengonsultasikan anak atau siswa yang kecanduan gawai selama pandemi Covid-19.
Psikolog anak dan keluarga, Samantha Ananta, juga mengatakan, anak bisa diajak ke jasa layanan konseling gratis, baik yang disediakan oleh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) maupun lembaga himpunan psikologi. "Kalau untuk konseling gratis. Untuk itu sudah ada di puskesmas (yang bekerja sama dengan) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan," ujar Samantha Ananta saat dihubungi Republika, Ahad (21/2).
Bahkan, dia melanjutkan, setiap puskesmas yang ada di Jakarta harus memiliki psikolog. Namun, Samantha mengaku kurang paham apakah layanan ini hanya tersedia di Jakarta atau sudah tersedia di seluruh Indonesia.
Tak hanya disediakan pihak pemerintah, Samantha mengingatkan, lembaga himpunan psikologi dan ikatan psikolog klinis juga sering memberikan pelayanan jasa konseling gratis. Untuk mendapatkan pelayanan gratis ini, dia menambahkan, masyarakat bisa membuka akun media sosial Instagram, yaitu Himpunan Psikologi Indonesia dan Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia.
Masyarakat bisa membuka dua akun ini yang telah mencantumkan alamat e-mail dan laman masing-masing asosiasi. Kemudian, dia melanjutkan, masyarakat bisa berkonsultasi secara virtual karena sekarang dalam situasi pandemi Covid-19. Namun, dia menambahkan, tidak menutup kemungkinan konsultasi dilakukan secara tatap muka.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.