Laporan Utama
Polemik SKB dan Kekhawatiran Guru Pendidikan Agama Islam
Guru pendidikan agama Islam khawatir SKB Tiga Menteri karena mengimbau berjilbab rentan menjadi delik.
Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri menuai kekhawatiran para guru pendidikan agama Islam (PAI). Adanya larangan mewajibkan, bahkan mengimbau, siswa untuk berseragam dengan atribut agama tertentu rentan menjadi delik yang bisa mengancam mereka. Padahal, guru-guru PAI harus menyampaikan materi menjaga aurat sesuai yang ada dalam kurikulum. Seruan untuk merevisi kebijakan tersebut pun bergulir. Jangan sampai kebijakan ini menjadi bentuk kriminalisasi baru kepada umat Islam.
Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam beratribut agama tertentu di sekolah negeri mendapat kekhawatiran dari komunitas guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Ketua Umum DPP Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam (AGPAI) Mahnan Marbawi menjelaskan, SKB tertanggal 3 Februari 2021 itu menuai polemik.
Terutama di dalam pasal 3 SKB yang menyebutkan pihak sekolah dilarang mewajibkan, memerintahkan, mensya ratkan, mengimbau, atau melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.
Mahnan menjelaskan, SKB yang diteken menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), menteri agama (menag), dan menteri dalam negeri (mendagri) itu bertentangan dengan ketentuan struktur kurikulum pendidikan agama Islam (PAI) kelas X. Di kurikulum tersebut terdapat ketentuan yang mewajibkan guru memberi pemahaman mengenai busana yang baik sesuai syariat.
Dia menjelaskan, bunyi dari struktur kurikulum PAI tersebut, berbusana Muslim dan Muslimah adalah cermin kepribadian dan keindahan, yakni berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Guru diharuskan memberikan pemahaman mengenai aurat dan batasan-batasannya, memberikan pemahaman dalil Alquran dan hadis.
Mahnan mengungkapkan, perintah menutup aurat merupakan isi dari kurikulum tersebut. Karena itu, guru diharuskan memberikan pemahaman mengenai aurat dan batasan-batasannya, memberikan pemahaman dalil Alquran dan hadis, menjadi teladan dalam berbusana, serta membiasakan perilaku berbusana Muslim/Muslimah dalam kehidupan sehari-hari.
"Mungkin maksud pemerintah mengeluarkan SKB itu adalah untuk tidak mewajibkan siswa berpakaian atau tidak berpakaian dengan atribut agama secara paksa. Tapi mengapa guru justru tidak boleh mendorong siswanya sebagaimana ketentuan kurikulum dan juga pandangan agama yang ada?" kata dia kepada Republika, belum lama ini.
Dia mengingatkan pemerintah bahwa sekolah seharusnya menjadi fasilitator keanekaragaman budaya dan agama. Hal yang harus diperdengarkan kepada peserta didik dan insan-insan pendidikan adalah semangat dan penguatan moderasi, khususnya di dalam pendidikan agama. "Jadi, pemerintah dengan mengeluarkan SKB tiga menteri ini offside ya," ujar dia.
Hal yang harus diperdengarkan kepada peserta didik dan insan-insan pendidikan adalah semangat dan penguatan moderasi, khususnya di dalam pendidikan agama.
Untuk itu, Mahnan meminta agar SKB itu direvisi. Apabila penekanan penguatan moderasi beragama di Indonesia hendak dilakukan, kata dia, pemerintah justru harus membuat kul tur yang terpadu di bidang pendidikan secara komprehensif. Bukan justru mengeluarkan surat keputusan yang sifatnya hanya responsif terhadap suatu isu dan menjadi kontraproduktif.
Identitas keagamaan dalam lingkup pendidikan menjadi hal yang harus dipahami secara moderat oleh banyak pihak. Di sisi lain, pemerintah melalui sektor pendidikan pun dinilai belum dapat menghadirkan pembangunan identitas nasional.
Dia menegaskan, sekolah harusnya menjadi ruang pertemuan antara agama dan budaya yang dikenali oleh peserta didik. "Harusnya pemerintah justru membangun identitas nasional bahwa sekolah menjadi ruang mempertemukan beragam agama dan kultur dalam penguatan moderasi, ujar dia.
Harusnya pemerintah justru membangun identitas nasional bahwa sekolah menjadi ruang mempertemukan beragam agama dan kultur dalam penguatan moderasi.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo pun menjelaskan, seharusnya SKB tiga menteri berisi penguatan atas UU/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Peraturan turunannya terdapat di dalam Permendikbud No 45/2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Heru menjelaskan, penerapan SKB tiga menteri pada masa pembelajaran jarak jauh (PJJ) belum tepat. Sebab, sistem kontrol akan semakin tidak efektif. Terlebih, apabila sanksi yang diberikan pun menyasar kepada sekolah dengan diberhentikannya sekolah dari program bantuan operasional sekolah (BOS).
Dia menjelaskan, kasus yang terjadi di SMKN 2 Sumatra Barat diawali dengan munculnya Perwali Nomor 451.442 Tahun 2005 yang mewajibkan jilbab bagi seluruh peserta didik sebagai bagian dari kearifan lokal.
Maka, dalam konteks ini (SKB tiga menteri), guru-guru PAI menjadi khawatir. Karena kan mengimbau (berjilbab) saja nanti tidak boleh.
Selain itu, Perwali tersebut dihadirkan guna merespons isu kesehatan agar melindungi siswa dari nyamuk de mam berdarah. Artinya, dia menjelaskan, apabila terjadi protes akibat penggunaan jilbab terhadap siswi non-Muslimah, sanksi tidak bisa mengenai sekolah.
Menurut dia, keputusan pemerintah menekankan bahwa memakai dan tidak memakai atribut agama tertentu agar tidak ada paksaan bagi siswa dalam menggunakan atribut keagamaan. Namun demikian dalam sekolah-sekolah negeri berbasis Islam, salah satu pembahasan pendidikan agama yang disampaikan oleh guru adalah tentang menutup aurat sesuai amanah Alquran dan hadis.
"Intinya sederhana sekali. Kalau ditanya siapa yang mewajibkan siswi berjilbab? Adalah wali murid yang menghendaki, kedua adalah kesadaran siswa itu sendiri untuk berjilbab, bukan gurunya," ujar dia.
Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Martha Tanjung menambahkan, terdapat kompetensi yang harus dikuasai siswa sesuai dengan syariat Islam sebagaimana yang diamanatkan dalam kurikulum. Ada kompetensi dasar yang mengharuskan mereka berpakaian sesuai syariat Islam, itu kompetensi sikap. "Maka, dalam konteks ini (SKB tiga menteri), guru-guru PAI menjadi khawatir. Karena kan mengimbau (berjilbab) saja nanti tidak boleh," kata dia.
Guru Diperbolehkan Motivasi Siswi Berjilbab
Kepala Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Maman Faturohman mengatakan, terbitnya surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah tak menyalahi kurikulum yang ada. Dia pun menegaskan, dalam konteks pembelajaran, SKB tersebut tidak bertentangan.
Menurut dia, guru masih diperkenankan memberi motivasi maupun dorongan kepada peserta didik untuk berbusana sesuai dengan syariat agama yang diyakini masing-masing, termasuk jilbab. "Dalam konteks pembelajaran dan tidak bertentangan dengan SKB tiga menteri, tidak ada paksaan dalam beragama, insya Allah tidak masalah (mendorong dan memotivasi siswa berbusana sesuai syariat agama masing-masing)," kata Maman saat dihubungi Republika, Rabu (17/2).
Hadirnya SKB tiga menteri dimaksudkan agar peserta didik diperbolehkan memilih atribut dengan kekhususan agama. Namun, pemerintah daerah tidak dapat melarang ataupun mewajibkan peserta didik menggunakan atribut keagamaan.
Mengenai bagaimana guru-guru agama dapat menyampaikan pendidikan mengenai ajaran menutup aurat terhadap peserta didik, pihaknya menyebut bahwa dibutuhkan penjelasan dan diskusi yang matang tentang kewajiban tersebut. Dengan cara dan diskusi yang baik, dia yakin guru akan mampu menyampaikan poin-poin kewajiban dalam ajaran agama.
Di sisi lain, pihaknya menambahkan, terdapat banyak cara yang bisa dilakukan agar kompetensi kurikulum bisa tercapai dengan cara-cara yang baik. Dalam hal dikeluarkannya SKB tiga menteri, dia menjelaskan, perubahan kurikulum bersifat dinamis.
Kurikulum, ujar dia, tidak berkaitan langsung dengan isu atau hal tersebut. "Kurikulum kan bersifat dinamis dan perubahan kurikulum adalah hal lain yang tidak berkaitan dengan isu seragam sekolah ini, kata Maman.
Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Direktorat Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama Rohmat Mulyana menyampaikan, SKB tiga menteri yang diterbitkan hanyalah imbauan yang menekankan pentingnya etika berseragam dengan pakaian ciri khas agama. Namun, yang tidak diperbolehkan, kata dia, adalah penyeragaman seragam sekolah pada lingkungan sekolah yang heterogen.
"Menyeragamkan pada lingkungan yang heterogen, nah, inilah yang tidak boleh. Apalagi menyeragamkan agama yang berbeda, itu yang tidak boleh," kata Rohmat.
Pemerintah tidak akan melarang guru untuk memotivasi peserta didik menggunakan seragam dengan atribut keagamaan yang diyakini masing-masing.
Dia pun menyinggung mengenai adanya kompetensi di dalam kurikulum yang memerintahkan guru untuk menyampaikan nilai-nilai agama. Kompetensi itu, menurut dia, tetap harus disampaikan.
Guru agama dinilai memiliki wewenang untuk menyampaikan kepada peserta didik untuk menutup aurat. Apabila peserta didik tersebut memiliki kesadaran mengenai nilai-nilai agama tentang berbusana, kesadaran itu diharapkan akan menjadi kebiasaan positif sesuai dengan semangat moderasi.
Rohmat menekankan kembali bahwa pemerintah tidak akan melarang guru untuk memotivasi peserta didik menggunakan seragam sekolah dengan atribut keagamaan yang diyakini masing-masing. "Kalau karena SKB tiga menteri ini dianggap menghilangkan kewajiban guru untuk memotivasi siswa dengan nilai-nilai agama, ya, tidak begitu. Kita bukan negara yang menganut paham-paham sekuler, hanya ya itu tadi, menyeragamkan busana di lingkup yang heterogen inilah yang tidak dibenarkan," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.