Opini
Makna Simbolis Terowongan Istiqlal-Katedral
Toleransi itu butuh simbol, dan simbolnya adalah terowongan Istiqlal-Katedral
MASTUKI HS, Dosen Pascasarjana Universitas NU Indonesia, Jakarta dan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH
Masjid Istiqlal Jakarta berubah wajah dan penampilan. Pascarenovasi selama 300 hari kalender, masjid ini tampak seperti baru dan berubah total. Makin anggun dan eksotik. Jika memasuki area ini, dijamin pangling.
Lanskap ditata ulang menjadi indah dan semakin memesona. Lantai marmernya dipoles sehingga lebih berkilau. Tata cahayanya diganti sangat modern. Fasad dan tamannya tertata rapi dan menawan. Sungai yang membelah Istiqlal juga semakin bersih dan jernih.
Presiden Joko Widodo meresmikan rampungnya renovasi masjid terbesar di Asia Tenggara ini pekan pertama Januari 2021. Masjid yang pemancangan tiang pertamanya dilakukan pada 1961 oleh Presiden Sukarno itu kini makin megah.
Lokasinya yang di sekitar Monumen Nasional (Monas), keinginan Presiden Sukarno. Dahulu, dikenal sebagai Taman Wilhelmina, sebagai alun-alun Jakarta pada masa itu. Sukarno ingin masjid dibangun dekat Gereja Katedral untuk melambangkan toleransi beragama.
Sukarno ingin masjid dibangun dekat Gereja Katedral untuk melambangkan toleransi beragama.
Di tangan Jokowi, lambang toleransi yang dicitakan pendahulunya itu dikonkretkan melalui pembangunan terowongan Istiqlal-Katedral, yang pekerjaannya hari-hari ini sedang berlangsung dan diperkirakan selesai 31 Maret 2021.
Presiden Jokowi menarasikan simbol itu sebagai “terowongan silaturahim”. Narasi yang memberikan makna terhadap sesuatu yang sebenarnya fungsional saja awalnya, yakni mobilisasi jamaah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya bisa lancar.
Tidak terhambat karena jalan raya yang menghubungkan dua lokasi ini terbilang padat dan sering macet.
Melalui pemaknaan simbolis, terowongan yang awalnya “sebuah tembusan di bawah permukaan tanah yang umumnya tertutup di seluruh sisi kecuali di kedua ujungnya terbuka sebagai jalan atau menuju keluar”, kini diberi bobot religius.
Sebagai “tembusan penghubung bawah tanah”, terowongan diciptakan untuk memberi kemudahan akses bagi pejalan kaki atau transportasi, pengaliran air, pembangkit listrik, ataupun manfaat lain.
Terowongan juga didesain sebagai solusi konstruksi mengatasi gangguan pada infrastruktur di permukaan, yang menjadi kunci percepatan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien. Di titik inilah bobot kata silaturahim menemukan relevansinya.
Masjid dan Katedral adalah simbol sekaligus simpul yang menyatukan (titik temu) umat/jemaat dalam peribadatan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa. Rumah ibadah bisa berbeda fungsi dan terpisah lokasinya, tetapi bertemu dalam satu tujuan, yakni penyembahan.
Namun, tak bisa dimungkiri, rumah ibadah kerap menjadi tempat berlabuhnya fanatisme, intoleransi, titik tengkar, perasaan ‘berbeda dari yang lain’, dan sikap introver dari jamaahnya. Wong satu umat saja, bisa bertengkar gegara perbedaan mazhab atau sekte.
Masjid dan Katedral adalah simbol sekaligus simpul yang menyatukan (titik temu) umat/jemaat dalam peribadatan kepada Tuhan, Allah Yang Maha Esa.
Warga kampung A mendirikan masjid di lokasi baru karena masjid eksisting tak mengakomodasi paham yang dianutnya. Orang NU tak mau berjamaah di masjid Muhammadiyah karena tak ada qunutnya. Ahlusunah waljamaah menolak shalat Jumat di masjid (milik kelompok) Ahmadiyah atau Syiah dan sebaliknya.
Berapa banyak gereja berdiri di Tanah Air, bukan semata karena tak menampung jemaat atau jarak antarrumah ibadah yang jauh, melainkan karena sekte atau denominasinya berbeda akibat perbedaan ritual dan pengakuan iman.
Sekte atau denominasi ini dalam satu dan lain hal mengakibatkan perpecahan, persekutuan, dan perseteruan kronis. Nasib yang tak jauh berbeda dari sejarah friksi umat Islam.
Bahkan, seperti disinyalir Pendeta Richard Daulay, di dalam dan dari gereja bisa tumbuh sikap-sikap ekstremisme, fundamentalisme, dan radikalisme.
Dia menerangkan, gejala itu lahir karena sikap yang menganggap dirinya (agamanya) benar dan (agama) orang lain salah. Hal ini kerap berujung pada sikap intoleransi dan tindak kekerasan seperti penindasan sekte satu kepada sekte lain (Republika Online, 6/6/2017).
Sebab, toleransi bukan sekadar kata. Ia butuh narasi. Toleransi itu butuh simbol, dan simbolnya adalah terowongan.
Kembali ke terowongan Istiqlal-Katedral. Pembangunan terowongan ini melambangkan pertemuan dua entitas umat dan representasi dua rumah ibadah, yang secara sosiologis sering berada pada area ketegangan dan titik tengkar laten.
Melalui terowongan yang terhubung “di bawah tanah”, perbedaan simbol-simbol keagamaan itu bukan saja ingin didekatkan secara fisik, melainkan juga merekatkan hati, pikiran, sikap, dan spiritualitas.
Harapannya, muncul tindakan konkret, shilatul amal kedua belah pihak dalam kerja sama menjaga dan membangun kebersamaan. Jadi, ‘monumen’ terowongan Istiqlal-Katedral adalah representasi nilai kerukunan, toleransi, dan kebersamaan antarumat beragama.
Antarumat beragama bisa berhubungan melalui terowongan, terikat tali silaturahimnya. Sebab, toleransi bukan sekadar kata. Ia butuh narasi. Toleransi itu butuh simbol, dan simbolnya adalah terowongan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.