Khazanah
Tolak SKB, Tokoh Adat Surati Presiden
Tokoh adat berharap memakai busana Muslim di sekolah menjadi kearifan yang dihargai pemerintah.
PADANG – Publik di sejumlah daerah terus menyuarakan penolakan terhadap surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah. Di Sumatra Barat, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) menyatakan, SKB tersebut telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat setempat.
Ketua LKAAM Sayuti Datuak Rajo Panghulu mengatakan, pihaknya akan menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Mahkamah Agung (MA). Surat tersebut berisi aspirasi bahwa adanya SKB tiga menteri ini sudah meresahkan warga Sumatra Barat dan Indonesia umumnya.
“Kita akan buat surat kepada Presiden dan MA. Kepada MA, kita meminta agar meninjau kembali SKB tiga menteri ini,” ujar Sayuti saat ditemui Republika, Selasa (16/2).
Ia menegaskan, beleid tersebut tidak sesuai dengan kearifan lokal Minangkabau. Sebagai contoh, budaya setempat mengajarkan kaum perempuan dan laki-laki untuk selalu menutup aurat. Wanita dibiasakan memakai kerudung dan kain panjang, sedangkan pria mengenakan kopiah. Sementara, lanjut Sayuti, SKB tiga menteri ini terkesan menghalangi pelestarian kearifan lokal tersebut.
“Mohon dipahami, kearifan lokal kami bahwa orang-orang tua ingin mengajarkan anak-anak mereka memakai pakaian yang menutup aurat,” ujarnya.
Mantan wali kota Padang Fauzi Bahar menyerukan seluruh kepala daerah di Tanah Air agar berani menolak beleid pemerintah pusat terkait penerapan aturan berpakaian di sekolah. “Saya ingin bupati, wali kota berani menolak SKB ini dengan segala risiko. Karena, (SKB) ini tidak sesuai dengan keberagaman yang ada di Indonesia. Jangan sampai kita diukur dengan ancaman bantuan dana BOS yang disebutkan mendikbud itu,” kata Fauzi di Padang, kemarin.
Sebelumnya, beberapa kepala daerah dengan tegas menolak SKB yang melarang pewajiban ataupun pelarangan atribut keagamaan pada seragam sekolah itu. Dua di antaranya, Plt Bupati Indramayu Taufik Hidayat dan Wali Kota Pariaman Genius Umar. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah meminta SKB tiga menteri ini direvisi.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Buya Amirsyah Tambunan mengatakan, MUI menilai, larangan pewajiban semestinya dibatasi pada pihak yang berbeda agama. “Implikasi ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama sehingga terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain,” ujarnya dalam pesan tertulis, Sabtu (13/2).
Ancaman sanksi
SKB itu ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Berdasarkan beleid tersebut, para murid, orang tua, guru, serta tenaga kependidikan berhak memilih penggunaan seragam di sekolah.
Mereka dapat menentukan, apakah memakai seragam dan atribut tanpa atau dengan kekhususan agama. Pihak selain individu tersebut tidak diperkenankan membuat peraturan yang memaksakan penggunaan atau pelarangan terhadap atribut keagamaan.
Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hendarman mengatakan, jika sampai 30 hari sejak SKB tiga menteri itu diluncurkan pemerintah daerah tidak menaatinya, maka akan ada sanksi.
“Kalau bupati/wali kota menolak, ya gubernurnya yang mengambil tindakan dan sanksi,” ucap Hendarman saat dihubungi Republika dari Jakarta, kemarin.
Ia menjelaskan, salah satu klausul menyebutkan, bila terjadi pelanggaran, pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, atau tenaga kependidikan. Sementara, pada level yang lebih tinggi, gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota yang terbukti melanggar.
Menurutnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memberikan sanksi jika ada pemerintah provinsi yang melanggar. Terakhir, Kemendikbud bisa menjatuhkan sanksi kepada sekolah terkait bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah pusat lainnya.
Kementerian Agama (Kemenag) bertugas melakukan pendampingan kepada sekolah dan pemerintah daerah. Kemenag juga dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.