Olahraga
Lawan Rasialisme dengan Berlutut, Masihkah Relevan?
Rasialisme masih ada di sepak bola, termasuk di Inggris yang diklaim sebagai tanah kelahiran olahraga tersebut.
Sudah tujuh bulan berturut-turut pemain sepak bola di Inggris melakukan gestur berlutut sebagai simbol perlawanan terhadap diskriminasi ras.
Aksi itu diprakarsai oleh seorang atlet American Football asal Amerika Serikat (AS), Colin Kaepernick, pada 2016 lalu sebagai bentuk protes atas rasialisme. Kaepernick terinspirasi oleh aktivis hak asasi manusia AS, Martin Luther King Jr, yang pernah berlutut dalam sebuah demonstrasi, 1965 silam.
Setelah terbunuhnya seorang warga kulit hitam AS George Floyd oleh polisi berkulit putih tahun lalu, gestur berlutut kembali mendunia. Slogan 'Black Lives Matter' yang bertransformasi sebagai sebuah gerakan menggema di mana-mana, kemudian berdetak pula di jantung sepak bola Inggris.
Aksi tersebut mengindikasikan bahwa rasialisme masih ada di sepak bola, termasuk di Negeri Ratu Elizabeth yang diklaim sebagai tanah kelahiran olahraga tersebut. Sebelum berlaga, seluruh pemain dari kedua tim kompak berlutut selama beberapa detik sebagai lambang perlawanan terhadap diskriminasi ras.
Namun, simbol tanpa aksi yang lebih nyata dianggap sebagai slogan belaka. Alih-alih menghadirkan perbaikan, bibit-bibit rasialisme dipercaya masih terasa dalam kontestasi sepak bola Inggris.
Pekan lalu, jagat media sosial kembali memanas karena meningkatnya ujaran kebencian bernada rasialisme terhadap pesepak bola di Liga Primer Inggris. Tiga pemain Manchester United (MU), di antaranya Marcus Rashford, Anthony Martial, dan Axel Tuanzebe menjadi objek penghinaan karena timnya dikalahkan 1-2 oleh Sheffield United.
Pemain Chelsea, Reece James, dan penggawa West Bromwich Albion, Romaine Sawyers, dikabarkan mengalami hal serupa. Media sosial yang dibentuk untuk "bersosial", berubah menjadi neraka bagi beberapa pemain sepak bola tersohor.
"Kemanusiaan dan media sosial sedang krisis. Ya, saya adalah pria kulit hitam dan hidup seperti ini dengan bangga dengan diri sendiri. Tidak ada komentar dari siapa pun yang akan membuat saya merasa berbeda. Maaf jika Anda berharap saya memberi respons yang berlebihan, saya tidak akan melakukannya," tulis Rahsford dalam akun Twitter pribadinya.
Penghinaan di media sosial menjadi salah satu indikasi bahwa gestur berlutut tidak dihiraukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Direktur Queen's Park Rangers, Les Ferdinand, menyebut makna berlutut sebelum pertandingan sudah tergerus. Meski dilakukan selama berbulan-bulan, ia menganggap hal tersebut sudah tidak berarti lagi dan berharap ada implementasi yang sungguh-sungguh.
"Berlutut (sebelum laga) hanya dilakukan sebagai pertunjukan untuk kehumasan, tapi pesannya hilang. Ini ibarat logo kampanye yang disematkan pada sebuah pin kecil," kata Ferdinand seperti dikutip Goal International, Senin (1/2).
Berlutut (sebelum laga) hanya dilakukan sebagai pertunjukan untuk kehumasan, tapi pesannya hilang.
Atas hal ini, Ferdinand meminta seluruh pemain untuk tidak berlutut sebelum pertandingan. Bukan tidak mau menghargai perlawanan terhadap rasialisme, melainkan, kata dia, ini sebagai bentuk protes terhadap slogan kosong tanpa aksi nyata. "Berlutut tidak akan membawa perubahan apa pun, tapi aksi," ujarnya.
Di sisi lain, Federasi Sepak Bola Inggris (FA) menyatakan sudah bekerja sama dengan pemerintah setempat dan perusahaan media sosial untuk melawan rasialisme. "Kami bersatu dalam sepak bola untuk menentang diskriminasi ras. (Rasialisme) ini adalah hal yang tidak bisa diterima di lapisan sosial mana pun. Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah dan perusahaan media sosial untuk menghapus segala bentuk diskriminasi di dalam sepak bola," demikian bunyi pernyataan resmi FA.
Seorang Juru Bicara Facebook yang juga mewakili Instagram kepada Sky Sports, Ahad (31/1), mengatakan bahwa pihaknya akan mencari dan menghapus segala bentuk penghinaan rasialis terhadap siapa pun. "Kami sudah mengambil tindakan dengan menghapus akun dan komentar (bernada rasialisme). Kemudian, kami akan menginvestigasinya," ujarnya.
Pihak Facebook dan Instagram sadar bahwa aksi dari kubu perusahaan sulit dilakukan sendiri. Oleh karena itu, mereka bekerja sama dengan klub-klub sepak bola untuk ikut membantu penghapusan dan pencegahan rasialisme di jagat maya. "Kami akan bekerjas ama lebih dekat dengan klub, pemain, dan otoritas sepak bola untuk melakukan pemeriksaan dan mencegah hal serupa terjadi," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.