Kitab
Buku Menjadi Sahabat Nabi: Cara Mendekati Rasulullah
Dengan membaca Buku Menjadi Sahabat Nabi, Muslim diajak menyegarkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW.
OLEH MUHYIDDIN
Seseorang yang beriman belum tentu dapat merasakan manisnya iman. Perasaan tersebut hanya bisa diperoleh bila ia mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada apa pun atau siapapun jua.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Ada tiga perkara yang jika ketiganya dimiliki seseorang maka dia merasakan manisnya iman. Yaitu, orang yang hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya, orang yang hanya mencintai atau tidak mencintai sesuatu karena Allah, dan orang yang enggan kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana dia enggan dilemparkan ke dalam api neraka.”
Anas bin Malik meriwayatkan, “Ada seorang lelaki datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, kapan Hari Kiamat tiba?’ Beliau bertanya kembali kepadanya, ‘Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapi Hari Kiamat?’ Lelaki tersebut menjawab, ‘Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya engkau akan bersama-sama orang yang kaucintai’” (Muttafaq ‘alaih).
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya, Raudhah al-Muhibbin, menjelaskan bahwa mencintai Rasulullah SAW pada hakikatnya adalah mencintai Allah Ta’ala. Sebab, beliau merupakan utusan Allah yang menyampaikan risalah kebenaran dari-Nya. Sebagai umat Islam, tentunya kita harus menunjukkan bukti kecintaan terhadap al-Musthafa. Kalangan ulama mengimbau Muslimin agar dalam mendidik jiwa didasarkan pada hati. Sebab, itulah bagian dari tubuh yang begitu penting. Sabda Nabi SAW, “Jika ia (hati) baik, maka baiklah seluruh jasad. Jika ia jelek, maka seluruh jasad pun akan jelek.”
Buku Menjadi Sahabat Nabi Muhammad di Abad 21 dapat menjadi pilihan untuk pembaca yang ingin menyelami makna cinta kepada Nabi SAW. Buku yang ditulis oleh Muhammad al-Khaimi ini menyajikan berbagai kisah dan hikmah yang diberikan oleh para pecinta Rasulullah SAW terdahulu.
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, umat Islam tentu harus mencintai Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dilakukan para sahabat terdahulu. Jumhur ulama mendefinisikan, sahabat adalah mereka yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, beriman kepada beliau, dan meninggal dalam keadaan Muslim. Rasul SAW memuji kalangan sahabat, “Generasi terbaik adalah mereka yang hidup semasa denganku.”
Memang, masa sahabat telah habis. Seluruhnya sudah wafat beberapa puluh tahun sesudah berpulangnya Rasulullah SAW ke rahmatullah. Generasi selanjutnya, yang juga menuai pujian dari beliau, adalah tabiin dan tabiit tabiin. Sesudah mereka adalah umat Islam “biasa”, yakni mereka yang beriman tanpa pernah menjumpai Nabi SAW dan Muslimin generasi awal.
Bagaimanapun, al-Khaimi menggunakan istilah sahabat dalam pengertiannya yang luas. Jadi, menurut penulis buku tersebut, makna as-shuhbah adalah melihat dan menemani Nabi Muhammad SAW secara mutlak dan kiasan (majazi). Baik melihatnya dengan mata kepala sendiri maupun mata hati. Baik menemaninya dengan jasad maupun dengan ruhnya. Dalam hal ini, penulis merujuk kepada beberapa ulama dan wali yang memang memiliki hubungan cinta yang begitu kuat kepada Nabi SAW. Di antara mereka adalah Syekh Abdul Qadir Jailani, Sayyid Ahmad Rifa’i, Syekh Nur ad-Din asy Syauni, dan lain-lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang merasa tidak mau “kehilangan” Rasulullah SAW walaupun hanya sekejap mata. Al-Khaimi mengatakan, dengan kuatnya rasa cinta itu kelompok orang-orang saleh demikian sesungguhnya layak menyandang predikat “sahabat” Nabi SAW. Begitulah kiranya yang dimaksud sebagai sahabat oleh sang penulis buku ini. Intinya, mereka adalah orang-orang yang telah membuktikan diri sangat mencintai sang khatamul anbiya.
Konteks kekinian
Lantas, mungkinkah kaum Muslimin “biasa” yang hidup pada abad ini menggapai predikat sahabat Nabi SAW, sebagaimana dipahami al-Khaimi? Jawabannya, mungkin saja. Asalkan, rasa cinta kepada Rasulullah SAW dibuktikan melalui hati, lisan dan tindakan. Dengan demikian, penulis buku ini berharap, sekalian umat Islam pada zaman modern sekarang dapat terpaut hatinya, melabuhkan harapan agar bisa segolongan dengan para ulama dan waliyullah. Untuk mencapai keadaan itu, maka buku ini menyarankan beberapa cara yang dipandang dapat menguatkan rasa cinta kepada Nabi SAW.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Pertama, bagian yang membahas tentang makna cinta. Al-Khaimi menjelaskan, kata cinta disebutkan di dalam Alquran berikut dengan derivasinya sejumlah 84 kali. Sementara itu, tentunya ada banyak hadis Nabi SAW yang membicarakan perkara cinta, termasuk dalam kaitannya dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut al-Khaimi, cinta meskipun dilambangkan dengan dua huruf Arab saja—ha dan ba (hubb)—ternyata menyimpan berjuta rahasia. Karena cinta, misalnya, seseorang sanggup menjauhi tempat tidurnya untuk bermunat kepada Allah Ta’ala. Lantaran cinta pula, perut rela manahan dahaga dan lapar demi meraih ridha-Nya tatkala sedang berpuasa.
Kemudian pada bab kedua, buku ini membahas tentang cara mencintai Rasulullah SAW. Al-Khaimi menjelaskan, sesungguhnya orang yang ingin mengetahui hikmah cerita-cerita tentang para pecinta Nabi, ia akan menemukan cara untuk mencintai beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam pandangannya, setidaknya ada empat cara untuk mencintai Rasulullah SAW. Pertama, seorang Muslim dianjurkan untuk terus berdoa agar bisa selalu mencintai Nabi SAW. Kedua, berusaha mengenal kehidupan beliau. Dengan demikian, orang tersebut akan tergugah untuk mengikuti semua teladannya. Ketiga, berzikir dengan cara membaca shalawat sebanyak-banyaknya. Keempat, berziarah ke makam beliau. Al-Khaimi pun mengajak para pembaca karyanya untuk melaksanakan cara-cara tersebut. Dengan memohon pertolongan Allah SWT, umat Islam diajaknya untuk membuka pintu cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Pada bab ketiga buku ini, tersajikan kisah-kisah para pengagum Nabi SAW. Besarnya cinta mereka kepada Rasulullah SAW dapat diteladani oleh para pembaca. Di antaranya adalah Sykeh Abu al-Abbas al-Mursi, Sykeh Badr ad-Din al-Husni, Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Ahmad Rifa’i, Imam al-Ghazali, dan lain-lain. Setidaknya, ada 24 biografi tokoh yang dibahas di akhir buku ini.
Muhammad al-Khaimi bisa menyuguhkan karyanya ini dengan bahasa yang mudah dimengerti dan penuh hikmah. Meskipun ia memberikan pandangan pribadinya, tapi itu tetap mengacu kepada Alquran dan hadits. Sebab, langkah awal untuk merasakan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah dengan beriman kepada sumber agama Islam itu.
Akhirnya, karya yang terbit dalam bahasa Arab dengan judul Falnata 'llam Hubba Rasulillah ini dapat menjadi sebuah cara untuk memperbarui cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Tentunya, mencintai Nabi SAW dapat diungkapkan dengan berbagai hal, seperti menyebut nama beliau dalam doa dan shalawat. Bahkan, keduanya termasuk amalan yang sangat mulia. Namun, itu saja belumlah cukup. Lisan dan perasaan mesti diiringi tindakan-tindakan, yakni meneladan sifat sosok yang dicintai itu.
Cinta yang “berhenti” di hati dan lisan saja masih memerlukan pembuktian dengan amal atau perbuatan yang selaras. Bila kita mencintai Nabi SAW, maka mesti juga meneladani beliau. Jangan sampai kita menjadi pribadi yang besar di mulut atau omongan saja. Pribadi yang banyak capak, minim berbuat. Mukmin sejati adalah orang yang selaras antara kata dan perbuatan. Itu pula yang membuat kita pantas menjadi “sahabat” Nabi SAW meski—mungkin—belum pernah berjumpa dengannya.
DATA BUKU
Judul: Menjadi Sahabat Nabi Muhammad di Abad 21 (terjemahan atas Falnata 'llam Hubba Rasulillah)
Penulis: Muhammad al-Khaimi
Penerjemah: Misbakhul Khaer
Penerbit: Nakhlah Pustaka
Tebal: 220 halaman
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.