Kabar Utama
Indeks Korupsi di Lampu Merah
Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2020 merosot tiga poin.
JAKARTA -- Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia pada 2020 mengalami kemerosotan sebesar tiga poin menjadi 37 dari skor 40 pada 2019. Catatan ini membalik tren positif kenaikan indeks sejak 2008.
Menurut Transparency International Indonesia (TII), dengan skor tersebut posisi Indonesia anjlok dari 85 ke 102 di antara negara-negara dunia. Skor dan peringkat Indonesia pada 2020 sama dengan negara Gambia. IPK Indonesia juga berada di bawah Timor Leste yang memperoleh angka 40 poin.
Selain itu, skor yang diraih Indonesia berada di bawah angka rata-rata CPI internasional pada angka 43. Capaian skor IPK Indonesia tahun ini juga merupakan titik balik yang menghentikan tren positif sejak 2008.
Mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, nilai 37 artinya Indonesia kembali ke masa lima tahun lalu pada 2016 dengan raihan poin serupa. "Ini betul bukan lagi lampu kuning, melainkan lampu merah," ujarnya dalam peluncuran CPI Indonesia 2020 yang digelar secara daring, Kamis (28/1).
Dia mengatakan, yang bertanggung jawab atas penurunan tersebut adalah pemangku kepentingan utama di Indonesia. "Pertama adalah yang paling rentan itu adalah korupsi politik, jadi diwakili yang paling atas dan korupsi di sektor penegakan hokum, yaitu polisi, KPK, kejaksaan, Mahkamah Agung, penjara, dan lainnya. Dan, tentunya adalah masyarakat kita semua," katanya.
Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengungkapkan, CPI 2020 menggunakan sembilan sumber data. Dari sembilan sumber data itu, hanya satu sumber data yang menyumbang kenaikan CPI Indonesia pada 2020, yakni World Justice Project-Rule of Law Index.
Kemudian, tiga sumber data mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum Eos, Bertelsmann Foundation Transformation Index, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings. Sementara, lima sumber data mengalami penurunan, yakni PRS International Country Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Carieties of Democracy Project.
"Tahun 2020 tahun yang kita ketahui bersama sebagai tahun pandemi, maka survei ini dilakukan sepanjang pandemi," ujar Wawan. Atas skor tahun ini, TII merekomendasikan empat hal kepada Pemerintah Indonesia. Rekomendasi pertama, pemerintah perlu memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawas.
"Otoritas antikorupsi dan lembaga pengawas harus memiliki sumber daya dan kemandirian yang memadai dalam menjalankan tugasnya agar alokasi sumber daya penanganan pandemi tidak dikorupsi dan tepat sasaran," kata Wawan.
Rekomendasi kedua, Wawan mengatakan, pemerintah harus memastikan transparansi kontrak pengadaan. Karena, saat ini pelonggaran proses pengadaan memberikan banyak peluang untuk korupsi.
Ketiga, ia menyatakan, pemerintah harus merawat demokrasi dan mempromosikan partisipasi warga pada ruang publik. Pelibatan kelompok masyarakat sipil dan media pada akses pembuatan kebijakan harus dijamin oleh pemerintah dan DPR agar akuntabel.
Terakhir, Wawan menambahkan, pemerintah harus memublikasikan dan menjamin akses data yang relevan. Pemerintah juga harus memastikan adanya akses data bagi masyarakat.
Perlu dicatat, sepanjang pandemi, Indonesia diguncang dua skandal korupsi yang melibatkan menteri aktif. Di antaranya korupsi perizinan impor benih lobster dengan tersangka Menteri Kelautan dan Perikanan Prabowo Edhy, serta kasus korupsi dana bansos pandemi yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batu Bara.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai menurunnya IPK Indonesia pada 2020 disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya pengurangan hukuman oleh Mahkamah Agung (MA) pada tingkat putusan kasasi ataupun peninjauan kembali (PK) karena banyaknya terpidana korupsi berbondong-bondong mengajukan upaya hukum PK.
"Tahun 2020 itu marak sekali korting hukuman pembebasan oleh Mahkamah Agung atau pengurangan hukuman oleh Mahkamah Agung terhadap orang-orang yang divonis oleh pengadilan di bawahnya," kata Mahfud dalam acara yang sama. Menurut dia, pengurangan-pengurangan hukuman tersebut pasti berpengaruh terhadap persepsi tentang korupsi di Indonesia.
Sepanjang 2019-2020, menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), MA mengurangi hukuman tak kurang dari 20 terpidana korupsi yang ditangani KPK serta divonis bersalah Pengadilan Tipikor. Pengurangan hukuman yang dihadiahkan MA merentang dari setahun hingga tiga tahun hukuman penjara. MA juga tercatat satu kali membatalkan hukuman ganti rugi yang diputuskan Pengadilan Tipikor.
Selain itu, menurut Mahfud, masifnya kritik terhadap revisi Undang-Undang KPK juga berdampak pada merosotnya IPK Indonesia. "Saya sudah menduga bahwa ini akan menimbulkan persepsi buruk di dunia internasional, dunia hukum mengenai pemberantasan korupsi, melemahnya pemberantasan korupsi," ujar Mahfud.
Mahfud MD mengiyakan, menurunnya IPK Indonesia pada 2020 adalah penurunan yang paling parah. "Pernah punya ambisi mudah-mudahan tahun 2019 bisa sampai 50 gitu, tapi sampai 40 kita sudah gembira. Karena rata-rata naik terus setiap tahun, tapi ini kejatuhan terparah sekarang menjadi tiga poin," kata Mahfud.
Mahfud mengakui, menurunnya skor CPI Indonesia merupakan catatan serius. "Kita tahu tadi alasan-alasannya. Oleh sebab itu, ini penting bagi saya di Kementerian Polhukam," ujar Mahfud.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut menurunnya indeks persepsi korupsi Indonesia bukan merupakan tanggung jawab KPK atau penegak hukum lain saja. "Tetapi, itu semua bagi KPK adalah cermin untuk menilai bahwa kerja-kerja kami tentang pemberantasan korupsi itu sudah mencapai hasil-hasilnya atau tidak," kata Nurul Ghufron.
Alasan itu dia kemukakan menyusul tiga klaster besar berdasarkan paparan TII yang menjadi pertimbangan indeks persepsi korupsi tersebut. Ketiga klaster itu, yakni sektor ekonomi dan investasi, penegakan hukum, serta politik dan demokrasi.
Dia mengatakan, dari tiga klaster besar itu, sektor penegakan hukum pemberantasan korupsi dinilai sudah naik. Namun, dia menambahkan, terjadi penurunan dari dua sektor sisanya.
Dia mempertanyakan kepastian hukum terkait ekonomi dan investasi. Sementara, pemangku kepentingan sektor politik dan demokrasi, mulai dari partai politik sebagai peserta, Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga publik.
Dia mencontohkan, pada saat kontestasi politik, seperti pilpres, pileg, sampai pilkada, masyarakat menerima serangan fajar, semisal pemberian sembako hingga amplop, dan menganggapnya hal yang biasa. "Itu, sekali lagi, kepada KPK menggambarkan bahwa korupsi itu bukan hanya beban KPK atau penegak hukum lainnya, melainkan sesungguhnya beban bangsa kita semua," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.