Kisah Dalam Negeri
Inkonsistensi, Dari PSBB Hingga PPKM
Istilah PPKM akan dipakai pada 11 sampai 25 Januari 2021 di Pulau Jawa dan Bali.
OLEH FAUZIAH MURSID
Pemerintah mengumumkan akan kembali menerapkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat sebagai akibat terus melonjaknya angka kasus positif Covid-19. Namun, pemerintah tak lagi menggunakan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mulai lumrah. Kali ini, istilah PPKM yang keluarkan, sebagai akronim dari pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat.
Istilah baru itu akan mulai dipakai pada 11 sampai 25 Januari 2021 mendatang di Pulau Jawa dan Bali. Padahal, dalam sembilan bulan terakhir, masyarakat telah dikenalkan istilah PSBB, yang juga berbeda dengan karantina wilayah ataupun lockdown di negara lain pada umumnya.
Belum lagi, istilah PSBB sudah beranak-pinak sejak diumumkan beberapa pekan penemuan kasus Covid-19 di negeri tercinta. Ada PSBB transisi yang dikenal masyarakat DKI dan sekitarnya, lalu PSBK pada skala kecamatan. Kemudian, AKB (adaptasi kebiasaan baru), PSBL (pembatasan sosial berskala lokal), PSBM (pembatasan sosial berskala mikro), dan PSKS (pembatasan sosial kampung siaga).
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menjelaskan, istilah sederhana dan baku terkait pembatasan sosial tersebut merujuk pada UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut dia, ada empat opsi di sana, salah satunya PSBB. "Kebijakan payung yang baru adalah PPKM itu, tapi isinya ya PSBB. Namun, peraturan yang diterapkan bisa berupa peraturan kepala daerah yang merujuk pada instruksi pemerintah pusat," kata Wiku mencoba menjelaskan munculnya istilah-istilah tersebut.
Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto pada Rabu (6/1) menyebut, PPKM sifatnya bukan pelarangan seluruh kegiatan, melainkan hanya pembatasan. Karena itu, kegiatan sektor strategis masih dapat berjalan selama PPKM.
PPKM juga berbeda dengan PSBB yang didahului oleh pengajuan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Dalam PPKM Jawa-Bali, pemerintah provinsi akan menentukan wilayah-wilayah yang perlu dilakukan pembatasan berdasarkan data dengan risiko kasus tertinggi. "Pak gubernurnya akan membuatkan pergub atau kabupaten/kota dengan perkada," ujarnya.
Lantas, apakah perubahan istilah-istilah itu memiliki pengaruh besar bagi masyarakat? Pakar komunikasi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang, Anang Sujoko, menilai, sejak awal pemerintah memang tidak memiliki konsep yang jelas. Pemerintah, kata dia, gamang dalam menetapkan konsep atau istilah berkaitan pembatasan sosial. "Maka terjadilah pesan-pesan yang tidak konsisten dalam penanganannya," ujar Anang saat dihubungi, Jumat (8/1).
Padahal, kata Anang, prinsip komunikasi publik yang efektif adalah terjadinya pemahaman yang sama antara pemberi dan penerima komunikasi. Namun, Anang mengingatkan, faktor pendukung penting adalah pemberi pesan haruslah memiliki kredibilitas dan kompetensi yang baik.
Adapun yang terjadi saat ini menunjukkan ada kesalahan dalam berkomunikasi terkait penanganan pandemi. Pun halnya perubahan penamaan justru membingungkan masyarakat dan dikhawatirkan pesan pembatasan justru tidak sampai ke masyarakat.
"Hal tersebut bisa karena gagal membaca budaya khayalak, pengetahuan akan pandemi, serta tidak adanya prioritas dalam menangani antara kesehatan, ekonomi, dan politik," kata dosen ilmu komunikasi tersebut.
Dosen komunikasi Universitas Paramadina Jakarta, Hendri Satrio, juga menilai sebaiknya pemerintah konsisten dalam memberlakukan kebijakan pembatasan masyarakat. "Terserah pemerintah mau namain apa pun, yang jelas kebijakan di lapangan harus dilaksanakan dan kemudian total dilaksanakan," katanya menegaskan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.