Hikmah
Esensi Diri
Masih banyak di antara kita yang menjadikan agama (hanya) sebagai simbol, bukan esensi diri.
Oleh H IDAT MUSTARI
OLEH H IDAT MUSTARI
"Maka hadapkanlah wajahmu untuk agama ini (Islam) sesuai dengan kecenderungan alami menurut fitrah Allah yang Dia telah ciptakan manusia atasnya (agama). Itulah Agama yang lurus, namun sebagian besar manusia tidak mengetahui." (QS al-Ruum [30]: 30).
Kadang kita tidak sadar bahwa nilai-nilai keagamaan begitu penting dalam hidup ini. Keseimbangan dan kesentosaan hidup akan tercipta tatkala setiap manusia menjalankan nilai-nilai keagamaan dalam kesehariannya secara konsisten.
Akan tetapi, realitas hidup membuktikan masih banyak di antara kita yang menjadikan agama (hanya) sebagai simbol, bukan esensi diri. Alhasil, kerap kita temui fenomena kekerasan, keserakahan, diri egoistik, ketidakpedulian, disintegritas diri, dan disorientasi hidup di tengah bebalnya kehidupan era modernitas ini.
Intinya, banyak manusia kehilangan esensi diri sehingga dengan mudah menggadaikan kehidupannya kepada nafsu keserakahan. Hubungan dengan sesama manusia pun ketika berinteraksi dan bersosialisasi tidak dipedulikan. Filosofi hidup "asal gue senang" begitu diagungkan dan menjadi sumber konflik yang tak berujung dengan siapa pun.
Entah itu dengan tetangga kita, para karyawan, bos, kolega bisnis, atau dengan sahabat kita sekalipun. Dalam bahasa lain, kita, sedemikian menjauh dan malas menerapkan nilai-nilai agama dalam wujud praktikal keseharian.
Apabila setiap manusia berpegang teguh pada suara hatinya yang bersih (nurani), dia akan menyuarakan kebenaran dan kesucian, karena hal itu merupakan fitrah Allah. Agama -- dalam konteks etika dan moral -- posisinya sama dengan asal muasal suara kebenaran dan kesucian.
Ketika seseorang tetap memegang teguhnya, maka dia akan mengejawantahkan perilaku yang baik, mulia, agung, dan luhung. Dalam Islam, inilah yang disebut dengan akhlak karimah.
Prof Nurcholis Madjid dalam "Masyarakat Religius" (2010: 90), mengatakan, agama bukanlah sekadar tindakan ritual seperti shalat dan berdoa semata. Lebih jauh dari itu, agama merupakan keseluruhan perilaku umat manusia yang dilakukan demi memperoleh ridha Tuhan, di mana perilaku tersebut membentuk keutuhan dirinya sebagai makhluk berbudi luhur (akhlak karimah).
Agama yang menghasilkan nilai, etika, dan moralitas, sangat berperan dalam membentuk karakter diri seseorang. Karena itu, di tengah karut-marut kondisi yang menimpa bangsa ini, sesungguhnya kita sangat memerlukan kehadiran pemimpin yang berkarakter alias berbudi luhur.
Kita juga memerlukan cerdik cendikia, pengusaha, legislator, birokrat, aparat, dan tokoh masyarakat yang berbudi luhur. Mereka menjadikan nilai Agama sebagai sumber suara kebenaran yang diimplementasikan secara praksis ke dalam wujud integritas diri, kejujuran, keberanian, kesadaran moral dan konsistensi memperjuangkan keadilan.
Dalam bahasa psikologi, perilaku baik erat kaitannya dengan "empati", yakni merasakan apa yang dirasakan orang lain. Empati tentu harus kita tampilkan dengan ketulusan.
Wallahu a'lam bishshawwab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.