Nasional
67 Persen Depresi Selama Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat banyak masyarakat depresi.
BANDUNG -- Pandemi Covid-19 yang sudah melanda Indonesia hampir selama satu tahun membuat banyak masyarakat depresi. Berdasarkan survei yang dilakukan pada Oktober 2020 terhadap 4.010 responden, sebanyak 65 persen mengalami kecemasan, 67 persen depresi, dan 75 persen trauma.
Psikiater dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Soeharto Heerdjan Jakarta dan RSI Cempaka Putih, Agung Frijanto, mengatakan, hasil survei itu menunjukkan masalah psikologis terbanyak pada usia 17 sampai 29 tahun. “Memang usia produktif yang terbanyak,” ujar Agung di acara online talkshow "Anti Depresi di Kala Pandemi" yang digelar Republika bekerja sama dengan Satgas Penanganan Covid-19, Kamis (24/12).
Agung menjelaskan, analisis survei yang dilakukan menunjukkan adanya fakta yang cukup mencengangkan. Satu dari lima orang, kata Agung, memiliki pikiran lebih baik mati.
Pikiran kematian terbanyak itu menghinggapi usia 18 sampai 29 tahun atau usia yang masih produktif. “Sebanyak 15 persen bahkan memikirkan lebih baik mati setiap hari. Sementara 20 persen memikirkan beberapa hari dalam sepekan,” katanya.
Menurut Agung, fenomena bunuh diri saat ini pun terjadi di dunia. Berdasarkan data yang ada, setiap 40 detik ada yang bunuh diri di dunia. Dengan demikian, setiap tahun ada 800 ribu orang yang meninggal karena bunuh diri.
Masih berdasarkan survei, Agung melanjutkan, stres pada masa pandemi bisa dipicu salah satunya karena banyak membaca informasi. Jadi, Agung menyarankan sebaiknya tidak terlalu berlebihan mengonsumsi berita. Karena banyak orang yang kecenderungannya membaca berita negatif. “Apalagi kan sekarang hoaks berseliweran di mana-mana. Ini memicu stres,” ujar dia.
Stres adalah kondisi seseorang yang membuatnya merasa tertekan. Reaksinya tak selalu negatif, bergantung pada bagaimana orang tersebut mengelolanya. Penyebab depresi, menurut Agung, dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni biologis, psikologis, dan spiritual.
Secara psikologis, faktor sosial akan memengaruhi terutama terkait pola asuh. Begitu juga faktor spiritual berpengaruh terutama pada pemahaman nilai-nilai religi. “Reaksi tubuh terhadap stres, ada reaksi fisik dan psikologis, psikosomatik juga. Kayak baper, gampang marah, susah tidur, hati-hati gejala depresi,” kata Agung.
Agung mengatakan, ada 10 gejala psikosomatik tersering pada pasien depresi dan cemas. Yakni, jantung berdebar-debar, perasaan tidak nyaman atau nyeri lambung, kelelahan atau merasa kurang tenaga, nyeri dan rasa tegang di leher dan bahu, sering merasa pusing, kelelahan walaupun tidak sedang bekerja, kembung dan merasa banyak gas di lambung, rasa nyeri di dada atau sekitar jantung, rasa gemetar, dan ada suara berdengung di telinga atau kepala.
“Gangguan kecemasan, ketakutan berlebihan, susah tidur atau insomnia itu juga salah satu gejalanya,” ujar dia.
Untuk menghadapi stres saat pandemi, kata dia, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah membatasi informasi, relaksasi, manajemen aktivitas dengan membuat jadwal, terhubung dengan sekitar, dan berbicara tentang perasaan kita pada orang yang dipercaya. “Hubungi layanan kesehatan kalau mulai merasakan stres dan gunakan aplikasi,” katanya.
Untuk Muslim, kata dia, agar terhindar dari stres bisa melakukan berbagai kegiatan ibadah. Misalnya, mengikuti pengajian, membaca Alquran, shalat, dan lain-lain. Selain itu, seseorang bisa melakukan yoga di rumah, kegiatan-kegiatan bersifat alami, menerapkan time management, dan mendengarkan musik.
Menjaga kesehatan jiwa di tengah pandemi, kata dia, sangat penting dilakukan. Karena stres memengaruhi kesehatan dan imunitas tubuh. “Kalau stres akan menyebabkan imun abnormal. Ini membuat daya tahan tubuh turun,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.