Nasional
Otopsi Laskar FPI Dinilai Berpotensi tak Netral
Kepolisian membuka serta memaparkan barang bukti yang sudah disita oleh penyidik.
JAKARTA— Otopsi enam jenazah laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan oleh tim dokter forensik di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, dianggap tak netral. Selain karena tak ada izin dari pihak keluarga, pemeriksaan jasad korban penembakan polisi di tol Japek Km 50 tersebut berpotensi menghasilkan kesimpulan yang bias dan melanggar prinsip-prinsip etika forensik.
Ketua Perhimpunan Dokter Forensik (PDFI) Jawa Barat, Dr Chevi Sayusman menerangkan, otopsi atau pemeriksaan jasad mati adalah sarana ilmiah dalam sistem investigasi kematian. Menurut dia, otopsi dalam investigasi kematian tak sama dengan proses penegakan hukum.
Bahkan, kata dia, otopsi dalam investigasi kematian diharuskan terpisah dengan proses penegakan hukum.
Meksipun, dalam proses penegakan hukum suatu kematian membutuhkan kesimpulan dari hasil otopsi yang menguak ilmiah penyebab pasti tubuh hilang nyawa. “Dalam textbook atau kitab suci forensik itu dikatakan bahwa tujuan adanya sistem investigasi kematian untuk memisahkan investigasi kematian dari penegak hukum. Dalam hal ini polisi,” kata Chevi, dalam diskusi daring 'Kupas Tuntas Otopsi Forensik', Rabu (23/12).
Chevi merupakan dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Dalam diskusi tersebut, ia menilai otopsi yang dilakukan terhadap enam jenazah laskar FPI korban penembakan polisi di tol Japek Km 50 berpotensi tak netral. Bukan karena hanya tak adanya izin dari pihak keluarga korban. Otopsi tersebut pun dilakukan oleh tim forensik rumah sakit yang berada di bawah institusi Polri sebagai pihak yang terlibat penembakan.
“Dalam kasus ini, kan ada kaitannya dengan institusi kepolisian. Konflik kepentingannya, tentu ada di kepolisian,” kata dia.
Menurut Chevi, semestinya kepolisian dapat meminta izin dari keluarga untuk tetap dapat dilakukan otopsi. Akan tetapi dengan menawarkan otopsi dilakukan oleh tim forensik yang disetujui oleh pihak keluarga.
“Seharusnya, investigator untuk melakukan otopsi ini seharusnya dari pihak yang netral. Dalam hal ini mungkin otoritas yang disetujui oleh keluarga. Seharusnya seperti itu. Dari sisi prinsip, sisi etika, dari sisi aturan seharusnya itu yang dikedepankan,” kata Chevi.
Karena menurut dia, selain melanggar prinsip profesionalitas forensik, otopsi yang dilakukan otoritas terlibat kematian tersebut akan menghasilkan kesimpulan yang berpotensi bias. “Karena, yang paling dirugikan dalam kasus ini tentu saja polisi sendiri. Artinya, akan ada kecurigaan dan ada dugaan,” ujar dia.
Chevi mencontohkan, penegakan hukum atas kematian dari malapraktik rumah sakit. Menurutnya, etika dan prinsip forensik memastikan otopsi dilakukan oleh tim di luar otoritas rumah sakit yang diduga melakukan malapraktik tersebut. “Kalau yang memeriksanya (otopsi) adalah pihak rumah sakit itu sendiri, bagaimana bisa dipercaya oleh pihak lainnya,” kata Chevi.
Sebab itu, ia menyarankan agar dalam penegakan hukum atas satu kematian yang membutuhkan kesimpulan ahli otopsi seharusnya dengan mengandalkan investigator penyebab kematian yang tak ada kaitannya dengan otoritas penegakan hukum.
Enam anggota laskar FPI ditembak mati oleh anggota kepolisian di tol Japek Km 50 saat menghalau upaya pengintaian Habib Rizieq Shihab, Senin (7/12) dini hari. Sekretaris Umum DPP FPI Munarman pernah mengatakan, dari hasil observasi jenazah langsung saat dimandikan, terdapat 19 luka lubang yang diduga bekas peluru tajam pada semua jenazah.
“Luka tembaknya ini, semua mengarah ke bagian jantung korban. Dan lebih dari satu tembakan. Satu orang minimal dua tembakan. Ada yang tiga, ada yang empat tembakan. Dan semua tembakan itu, setelah kita lihat secara fisiknya, kita melihat di bagian dada, di jantung,” kata Munarman.
Tak cuma bekas lubang peluru. Munarman juga mengatakan, kondisi enam jenazah yang tampak mengalami lebam-lebam yang diduga bekas penyiksaan. Seperti terkelupasnya lapisan kulit dan pembengkakan di bagian kemaluan dan wajah beberapa jenazah.
Keenam jenazah korban penembakan tersebut setelah insiden sempat dibawa ke RS Polri, Kramat Jati. Pihak keluarga tak diizinkan mengambil langsung enam jenazah itu lantaran kepolisian menghendaki otopsi.
Akan tetapi, keluarga tak memberikan izin. Namun kepolisian, tetap meminta tim forensik RS Polri melakukan otopsi. Setelah tim dokter forensik kepolisian melakukan otopsi, pada Selasa (8/12) malam, pihak keluarga baru dibolehkan membawa pulang jenazah untuk dimakamkan pada Rabu (9/12).
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian, Rabu (9/12) pernah menjelaskan, otopsi enam jenazah laskar FPI di RS Polri tetap dilakukan meskipun tanpa izin keluarga. Karena menurut dia, otopsi tersebut dilakukan untuk proses penyelidikan dan penyidikan insiden penembakan tersebut.
Andi Rian meyakinkan, penyidikan diperlukan karena penembakan yang dilakukan anggota kepolisian atas respons serangan yang dilakukan laskar FPI.
Menurut dia, para laskar pengawal Habib Rizieq sebelum aksi mematikan itu melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api terhadap anggota kepolisian. Dugaan serangan terhadap anggota kepolisian tersebut yang menurut Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dikuatkan dengan hasil otopsi RS Polri atas temuan jelaga bubuk mesiu yang beserak di tangan beberapa jenazah.
“Ditemukan penggunaan senjata api dengan didapat jelaga di tangan pelaku (jenazah laskar FPI),” kata Listyo Sigit, Kamis (10/12).
Keterangan
Sementara, Komnas HAM meminta keterangan Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri terkait peristiwa meninggalnya enam Laskar Front Pembela Islam (FPI), pada Rabu (23/12). Tim Penyelidikan Komnas HAM memeriksa barang bukti yang diamankan kepolisian dalam kasus yang terjadi di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek itu.
Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM, Choirul Anam menuturkan dalam pemeriksaan kali ini, pihaknya mengecek semua barang bukti yang dibawa kepolisian. Barang bukti diperiksa dengan detil selama sekitar enam jam.
"Kami mengecek semua barang bukti, handphone, senjata api, dan senjata tajam. Kami lihat detil, bahkan dengan berbagai cara tanpa menghilangkan bentuk dan sebagainya. Soal barang bukti itu kami bisa melihatnya dengan sangat-sangat detil," kata Anam di Gedung Komnas HAM, Rabu (23/12).
Tim Komnas HAM juga memeriksa senjata yang digunakan baik oleh petugas kepolisian ataupun senjata yang disebut digunakan anggota laskar FPI. Tak hanya senjata api dan senjata tajam, Tim juga mengecek telepon genggam yang menjadi barang bukti saat kejadian. Salah satu yang diperiksa adalah pesan suara di dalam handphone tersebut.
"Kalau di masyarakat, ada voice note yang beredar, kami cek lebih detil, lebih banyak, lebih komprehensif. Dan itu dibuka semua oleh teman-teman kepolisian," ujar Anam.
Anam mengatakan, informasi dari pesan suara tersebut memiliki kontribusi yang sangat besar dan membantu Komnas HAM menyusun teka-teki untuk membuat jelas peristiwa. "Kontribusinya sangat besar untuk membuka terangnya peristiwa dan di titik 0 sampai titik akhir yang terekam dalam voice note yang itu oleh Komnas HAM diolah dengan berbagai data yang sebelumnya kami peroleh," tutur Anam.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi mengaku, dalam pemeriksaan oleh Komnas HAM, pihaknya membuka serta memaparkan barang bukti yang sudah disita oleh penyidik. "Ada senjata api petugas ataupun senjata api laskar. Kemudian barang bukti senjata tajam, kemudian juga beberapa barang bukti petunjuk dari forensik. Termasuk dengan voice note yang sebelumnya sudah beredar ke publik juga. Tapi kami lebih detail," tutur Andi.
Adapun, total barang bukti yang ditunjukkan yakni 4 senjata api pabrikan milik petugas, serta dua senjata api non-pabrikan berbentuk Revolver. "Untuk senjata tajam itu ada samurai, katana kemudian ada celurit dan ada tongkat yang ujungnya runcing. Sementara untuk handphone totalnya ada tujuh," ujarnya.
Ihwal penetapan tersangka dalam peristiwa ini, Andi mengatakan saat ini penyidik Polri masih mengumpulkan keterangan dari para saksi. "Kami masih terus bergulir karena saksi-saksi kan terus berkembang. Kami tetap melengkapi semua, kami belum mau menyimpulkan dulu," tegas Andi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.