IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Kelenturan Sosial-Ekonomi

Fenomena ekonomi dan Covid-19 adalah kelenturan struktur sosial-ekonomi di Indonesia.

Oleh IMAN SUGEMA

 

OLEH IMAN SUGEMA

Pastinya kita semua sepakat bahwa 2020 adalah tahun pandemi beserta berbagai konsekuensinya. Dari sisi ekonomi, Covid-19 telah menimbulkan resesi global, membuat jutaan manusia kehilangan pekerjaan, dan menciptakan kemiskinan di mana-mana.

Semua negara mengalami hal yang sama. Perbedaannya terletak pada seberapa parah dampak ekonomi terhadap masing-masing negara.

Di pengujung tahun ini, seperti biasa, ekonom kebanjiran pertanyaan tentang evaluasi situasi perekonomian selama setahun ini dan bagaimana proyeksi setahun mendatang. Kesimpulannya, tahun ini tidak terlalu buruk dan tahun depan akan jauh lebih baik. Bagaimana bisa?

Kalau seandainya kontraksi ekonomi Indonesia setahun terakhir ini sekitar 1 - 2,5 persen, maka kinerja perekonomian sekarang bisa disebut sebagai situasi yang tidak terlalu buruk. Kita pernah mengalami situasi lebih buruk saat krisis moneter 1997-1998 di mana kontraksi ekonomi mencapai 13 persen. Sekarang memang kita mengalami resesi, tetapi itu bukan resesi yang dalam.

Kalau kita bandingkan dengan negara-negara berpopulasi besar, Indonesia tidaklah seburuk negara lainnya walaupun lebih buruk dari Cina. Akan tetapi, negeri Tirai Bambu ini selalu menjadi pengecualian kalau sudah menyangkut kinerja ekonomi. Cina selalu terdepan di antara negara-negara besar.

 
Kalau kita bandingkan dengan negara-negara berpopulasi besar, Indonesia tidaklah seburuk negara lainnya
 
 

Kenyataan bahwa kita bisa terhindar dari bencana ekonomi yang dahsyat telah menimbulkan teka-teki tersendiri. Penanganan Covid-19 di Indonesia tidak seketat di negara-negara yang menerapkan lockdown Amerika, Italia, dan Spanyol.

Akan tetapi, tidak juga selonggar di Brasil yang cenderung melakukan pembiaran. Dari sisi jumlah kasus Covid-19 dan dampak ekonomi ternyata kita masih lebih baik dari mereka.

Sebelumnya, banyak ahli yang menyarankan agar Indonesia menerapkan total lockdown seperti yang sukses diterapkan di Cina. Negeri tersebut dengan cepat dapat mengendalikan wabah Covid-19 dan resesi yang dalam dapat dihindari. Sementara itu, negera yang mencoba langkah Cina ternyata mendapatkan hasil yang jauh berbeda.  Jumlah kasus tetap tinggi dan ekonominya terjerembab parah.

Mungkin yang paling bisa menjelaskan tentang fenomena ekonomi dan Covid-19 adalah kelenturan struktur sosial-ekonomi di Indonesia. Secara sosial, praktis kita tidak menyaksikan masalah sosial yang terlalu rumit yang menyangkut masalah Covid-19.

 
Secara sosial, praktis kita tidak menyaksikan masalah sosial yang terlalu rumit yang menyangkut masalah Covid-19.
 
 

Kerumitan hanya terjadi karena dua hal saja, yakni masalah UU Ciptaker dan Rizieq Shihab yang melibatkan massa yang tumpah ruah. Bahkan, pilkada serentak bisa relatif terkendali. Ada kerumunan, tapi relatif terkendali.

Bagaimana dengan masyarakat yang tidak patuh terhadap protokol kesehatan? Jawabannya ada di masalah bilangan besar (the problem of big number). Kita adalah negara yang berpopulasi besar, 274 juta jiwa. Dengan asumsi basic reproduction number di awal pandemi sekitar 2,5 maka kita dapat menghitung berapa jumlah orang yang taat dan tidak taat terhadap protokol kesehatan. Perkiraan saya, ada sekitar 90 sampai 100 juta orang yang tidak taat. Dengan demikian yang taat adalah sekitar 174 juta sampai 184 juta orang.

Karena itu, jangan heran kalau Anda banyak menyaksikan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan. Tetapi mengapa jumlah kasus di Indonesia tidak meledak seperti di Amerika Serikat? Jawabanya sederhana karena kita memiliki 184 juta orang yang patuh. Walaupun jumlah kasus masih terus bertambah, tapi pergerakannya cenderung landai. Selama belum ada vaksinasi, maka jumlah kasus masih akan terus meningkat. Alasannya? Kita membiarkan 90 juta orang tidak patuh.

Akan tetapi, ketidakpatuhan itu tidak selamanya buruk. Di situlah ironinya. Kita membiarkan mereka beraktivitas seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Jalan-jalan seperti biasa. Tetapi karena itulah sebetulnya ekonomi kita tidak ambruk seperti negara lain. Yang paling penting adalah aktivitas mereka tidak menimbulkan kerumunan massa.

 
Di situlah ironinya. Kita membiarkan mereka beraktivitas seperti biasa. Bekerja seperti biasa. Jalan-jalan seperti biasa.
 
 

Sebaliknya, orang yang kurang taat juga harus berterima kasih kepada mereka yang patuh. Karena jumlah yang patuh jauh lebih besar, maka penambahan jumlah kasus tidak menjadi eksponensial. Artinya, orang yang patuh telah memberikan perlindungan secara tidak langsung terhadap mereka yang kurang taat. Ini hanya masalah hitungan statistika sederhana saja.

Selain itu, kita relatif beruntung karena mayoritas aktivitas ekonomi masih didominasi oleh sektor informal. Aktivitas ekonomi banyak dilaksanakan secara outdoor.  Kalaupun protokol kesehatan tidak dipatuhi, hal ini tidak banyak mengundang masalah. Covid-19 cenderung menyebar cepat di tempat-tempat tertutup dengan sirkulasi udara yang terbatas. Sektor informal selalu menjadi penyelamat di waktu sulit. Karena merekalah, ekonomi kita memiliki daya tahan.

Mungkin paparan ini bukan sesuatu yang bisa memuaskan semua pihak. Akan tetapi, semuanya bisa dikembalikan ke perhitungan statistika sederhana.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat