Kabar Utama
Pengungsi Rohingya Mulai Direlokasi
Rencana relokasi pengungsi Rohingya dinilai berpandangan pendek dan tidak manusiawi.
DHAKA -- Bangladesh memulai proses relokasi pengungsi Rohingya ke sebuah pulau terpencil bernama Bhashan Char yang berlokasi di Teluk Benggala, Kamis (3/12). Sejumlah organisasi hak asasi manusia (HAM) sebelumnya telah menyerukan Bangladesh membatalkan rencana tersebut.
Sebanyak 400 pengungsi dilaporkan telah dibawa dari kamp Ukhiya di Cox's Bazar ke Pelabuhan Chittagong dengan menggunakan 10 bus. Iring-iringan kendaraan dikawal oleh polisi. Mereka dijadwalkan diangkut ke Bhashan Char pada Kamis malam waktu setempat.
Menurut otoritas Bangladesh, para pengungsi Rohingya yang termasuk dalam rombongan itu telah setuju untuk direlokasi. "Mereka pergi ke sana dengan senang hati. Tidak ada yang dipaksa. Pemerintah telah mengambil semua langkah untuk menangani bencana, termasuk kenyamanan hidup dan mata pencaharian mereka,” ujar Mohammed Shamsud Douza, wakil pejabat pemerintah Bangladesh yang bertanggung jawab atas pengungsi Rohingya.
Pada gelombang pertama, Bangladesh berencana merelokasi sebanyak 2.500 pengungsi. Hal itu turut bergantung pada air pasang. Sebab, perjalanan dari Pelabuhan Chittagong ke Bhashan Char memakan waktu beberapa jam.
Lebih dari 300 pengungsi telah dibawa ke pulau itu awal tahun ini setelah berupaya melarikan diri dari Bangladesh ke Malaysia dengan perahu gagal dan mereka terdampar di laut selama berbulan-bulan. Mereka ditahan di luar keinginan mereka dan diadukan pelanggaran hak asasi manusia. Menurut kelompok HAM, beberapa melakukan aksi mogok makan.
Beberapa anggota etnis Rohingya yang tidak ingin disebutkan namanya menjelaskan kepada Aljazirah pada Oktober bahwa pria, wanita, dan bahkan anak-anak dipukuli dengan tongkat oleh perwira angkatan laut Bangladesh setelah mereka melakukan mogok makan selama empat hari bulan lalu.
Pada September, lima organisasi hak asasi mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Bangladesh, Masud Bin Momen, untuk meminta akses ke pulau yang rawan banjir itu. “Rohingya di kamp-kamp di Cox's Bazar menghadapi banyak masalah dan masalah. Kamp-kamp itu penuh sesak, tetapi memindahkan orang ke pulau terpencil di mana mereka tidak memiliki perlindungan atau dukungan dari badan-badan kemanusiaan internasional bukanlah jawabannya,” kata Wolff.
Saat ini terdapat sekira 1,2 juta pengungsi Rohingya di Cox's Bazar. Mereka mulai mendatangi wilayah tersebut pada Agustus 2017. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Kini Myanmar tengah disidang di Mahkamah Internasional (ICJ) dengan dakwaan genosida terhadap etnis Rohingya. Sementara menunggu putusan, mahkamah memutuskan Myanmar menghentikan persekusi terhadap etnis Myanmar dan mencegah upaya-upaya genosida serta melayangkan laporan per enam bulan.
Tindakan keras militer Myanmar pada 2017 diperkirakan telah menewaskan ribuan orang dan memaksa 750 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Sekira 600 ribu lebih warga Rohingya tetap berada di Myanmar, tetapi mereka dicabut dari kewarganegaraan dan hidup dalam kondisi yang digambarkan aktivis HAM sebagai apartheid.
Sorotan
Organisasi HAM Amnesty International segera menyoroti dimulai proses relokasi para pengungsi Rohingya. Mereka masih menyangsikan keamanan di Bhasan Char. "Pihak berwenang harus segera menghentikan relokasi lebih banyak pengungsi ke Bhashan Char," kata Juru Kampanye Amnesty International untuk Asia Selatan Saad Hammadi dalam sebuah pernyataan.
Kelompok advokasi Refugees International yang berbasis di Amerika Serikat (AS) mengatakan, rencana relokasi "berpandangan pendek dan tidak manusiawi". Sementara, Fortify Rights Group mengatakan relokasi mungkin "dipaksakan dan tidak disengaja". Mereka pun memiinta proses itu segera dihentikan.
Pekan lalu, Bangladesh mengumumkan akan melanjutkan rencananya merelokasi pengungsi Rohingya. “Target kami adalah merelokasi sekitar 100 ribu pengungsi secara bertahap. Kami ingin memindahkan beberapa dari mereka (pengungsi Rohingya) sedini mungkin, dan kami ingin memanfaatkan mendekatnya musim dingin untuk efek ini," kata kepala urusan Myanmar di Kementerian Luar Negeri Bangladesh Md. Delwar Hossain, dikutip laman Anadolu Agency pada 29 November lalu.
Salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, Ro Nay San Lwin, mengkritik kebijakan relokasi pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char. Dia menyebut, meskipun Bangladesh telah membangun tempat tinggal dan fasilitas lain di pulau tersebut, para pengungsi enggan dipindahkan. "Mereka takut akan diisolasi setelah dipindahkan ke Bhasan Char," ujarnya.
Menurut dia, pengungsi yang trauma tidak boleh dipaksa untuk pindah. "Kami memahami situasi kamp Cox's Bazar, tetapi permohonan pengungsi harus dihormati. Menekan Myanmar untuk menerima mereka kembali dengan kewarganegaraan penuh dan perlindungan adalah satu-satunya solusi," ujar Lwin.
Kepala Amnesty International untuk Asia Selatan Omar Waraich mengungkapkan, Bhashan Char belum dianggap aman untuk tempat tinggal manusia. Selain itu, masih ada pertanyaan serius mengenai prosedur relokasi pengungsi. “Berdasarkan pengalaman mereka yang telah berbicara dengan Amnesty International, banyak orang Rohingya yang telah mendaftar untuk pindah ke Bhashan Char melakukannya karena paksaan dan bukan pilihan,” kata Waraich.
Dia mengatakan, setiap keputusan terkait relokasi pengungsi harus transparan dan melibatkan partisipasi penuh masyarakat Rohingya. "Sementara itu, rencana untuk relokasi lebih lanjut harus ditinggalkan," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.