Opini
Menghadirkan Guru Inspiratif
Guru merupakan ujung tombak sekaligus jantung pendidikan.
BIYANTO, Guru Besar UIN Sunan Ampel, Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal
Pada 25 November 2020, pemerintah bersama pegiat dan praktisi pendidikan memperingati Hari Guru Nasional (HGN). Perayaan HGN merujuk pendirian organisasi profesi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada 25 November 1945.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, pemerintah juga menetapkan 25 November sebagai HGN. Perayaan HGN tahun ini bertema ‘Bangkitkan Semangat Mewujudkan Merdeka Belajar’ sejalan dengan //tagline// Kemendikbud, yaitu merdeka belajar.
Selain berspirit ‘merdeka belajar’, HGN penting dijadikan momentum mewujudkan guru inspiratif. Term guru inspiratif pernah dipopulerkan Guru Besar Fakultas Ekonomi UI, Rhenald Kasali. Guru inspiratif merupakan antitesis dari guru kurikulum.
Guru inspiratif diilustrasikan sebagai pendidik yang selalu mengajak muridnya berpikir kreatif dan inovatif, dengan cara memaksimalkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan. Sementara itu, guru kurikulum adalah pendidik yang mengajarkan sesuatu yang standar pada siswa.
Guru inspiratif diilustrasikan sebagai pendidik yang selalu mengajak muridnya berpikir kreatif dan inovatif, dengan cara memaksimalkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan.
Dalam perspektif teori pendidikan, guru kurikulum dan guru inspiratif sama-sama dibutuhkan bagi kesuksesan anak pada masa mendatang. Guru kurikulum pada saatnya akan melahirkan manajer-manajer andal.
Sementara itu, guru inspiratif melahirkan pemimpin dan pembaru yang berani mendobrak tradisi. Yang menjadi keprihatinan kita, ternyata jumlah guru inspiratif jauh lebih sedikit dibandingkan guru kurikulum.
Dominasi guru kurikulum dapat diamati lewat metode pembelajarannya. Mereka, biasanya terpaku pada silabus, rencana praktik pembelajaran, dan buku teks. Hampir tak ada ikhtiar melihat keluar dan membayangkan pembelajaran tak memakai buku teks.
Dalam alam pemikiran guru kurikulum, kewajiban mereka mematuhi kurikulum. Mereka merasa sangat berdosa jika tak dapat menuntaskan materi yang ada dalam kurikulum. Hasil akhirnya adalah siswa sukses mengikuti ujian.
Sementara itu, guru inspiratif bersikap tak terlalu kaku dalam memahami kurikulum. Bagi mereka, kurikulum bukan kitab suci sehingga harus selalu diikuti. Kurikum harus dipahami sebagai sarana mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan.
Karena itu, model pembelajaran yang dikembangkan pun beraneka. Buku teks bagi guru inspiratif bukan segala-galanya. Buku teks hanya salah satu sumber belajar. Masih banyak media yang dapat dijadikan sumber belajar.
Jika kita mencermati ketimpangan mutu pendidikan yang terjadi antardaerah, kehadiran guru inspiratif jelas sangat dibutuhkan.
Dengan keyakinan kuat, menjadi pantangan bagi guru inspiratif menangisi keadaan jika di sekolahnya tak tersedia buku teks dan perangkat informasi teknologi. Bagi mereka, alam dan barang bekas sekalipun bisa jadi laboratorium untuk menunjang pembelajaran.
Jika kita mencermati ketimpangan mutu pendidikan yang terjadi antardaerah, kehadiran guru inspiratif jelas sangat dibutuhkan. Melalui guru inspiratif, kita berharap ada percepatan pemerataan mutu pendidikan.
Anak-anak cerdas yang ada di pedesaan dan pedalaman, akan mampu menunjukkan talentanya bila dibimbing guru inspiratif. Hal itu berarti, posisi guru inspiratif sebagai ujung tombak pembelajaran mutlak diperlukan.
Seorang guru akan menginspirasi siswanya jika mampu keluar dari pakem pembelajaran yang dibebankan kurikulum. Itu berarti, untuk menjadi guru inspiratif harus dimulai dengan melakukan perubahan metode pembelajaran, yakni yang harus menarik hati anak.
Karena itu, tepat jika dikatakan proses pendidikan adalah memberikan sebagian hati kepada anak. Sebaliknya, pendidikan dianggap kurang berhasil jika melahirkan tekanan pada anak.
Dampaknya, anak tidak memiliki keberanian dan rasa percaya diri untuk mengembangkan daya imajinasinya. Penting disadari, salah satu tugas guru adalah membantu anak mengembangkan kemampuan yang telah dianugerahkan Tuhan.
Pendidik yang terlalu mengekang pasti akan mengakibatkan perasaan rendah diri pada anak.
Ini sejalan dengan hasil penelitian yang menyatakan, perasaan rendah diri yang dialami orang dewasa berkaitan dengan pola pembelajaran yang dialami orang itu tatkala belajar pada masa anak-anak. Bahkan, pengaruhnya bisa mencapai 90 persen.
Pendidik yang terlalu mengekang pasti akan mengakibatkan perasaan rendah diri pada anak.
Hal itu menunjukkan, pola pembelajaran yang dikembangkan guru akan berpengaruh pada karakter anak. Untuk itu, keberadaan guru inspiratif sangat dibutuhkan di tengah miskinnya prestasi pendidikan kita di level internasional.
Rasanya kita bersepakat jika dikatakan ujung tombak pendidikan adalah guru. Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education (2006) juga mengatakan, ‘’Recovery begins with teachers’’.
Sallis mengingatkan, keinginan memperbaiki mutu pendidikan dijadikan “gerakan” semua elemen. Pada konteks itu, seluruh pemangku kepentingan pendidikan, harus memfasilitasi agar jumlah guru inspiratif semakin banyak.
Karena itu, jika kita ingin mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, kata kuncinya adalah guru. Guru merupakan ujung tombak sekaligus jantung pendidikan.
Dengan demikian, kebijakan mengganti kurikulum pun akan kurang bermakna jika tidak diikuti ikhtiar memperbaiki mutu guru.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.