Oase
Wendy Lofu, Dahulu Anti-Islam, Kini Dampingi Mualaf
Wendy Lofu tak pernah menyangka bahwa dirinya akan menjadi seorang Muslim.
OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI
Wendy Lofu tidak pernah menyangka sebelumnya bahwa dirinya akan menjadi seorang Muslim. Apalagi, saat ini lelaki berusia 30 tahun tersebut juga aktif dalam sebuah organisasi yang membantu dan membimbing kalangan mualaf.
Baginya, semua itu membuktikan kemahakuasaan Allah SWT. Kalau Zat Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang sudah berkehendak, tidak ada satu pun yang dapat menghalangi.
Mengenang masa lalu, ia pun sangat bersyukur kepada Allah Ta’ala karena dirinya telah dikaruniai hidayah untuk memeluk Islam. Padahal, sejak kanak-kanak Wendy begitu jauh dari ajaran tauhid. Malahan, saat berusia remaja ia sering kali mencemooh Islam dan umat pengikut Nabi Muhammad SAW.
“Banyak kenakalan di masa remaja yang saya lakukan, termasuk di antaranya membuat semacam tim untuk memfitnah Islam melalui jejaring media sosial,” ujar lelaki berdarah Tionghoa itu saat berbincang secara virtual dengan Republika, beberapa waktu lalu.
Konteksnya adalah dunia pascaserangan terorisme yang mengguncang Amerika Serikat (AS). Pada 11 September 2001, teroris membajak pesawat terbang dan menabrakkannya ke Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York, AS. Berbagai pemberitaan media massa menuding kelompok radikal Islam sebagai pelakunya.
Wendy yang saat itu masih berusia 11 tahun ikut terbawa narasi kebencian terhadap Islam atau Islamofobia. Dalam pandangannya waktu itu, agama tersebut hanya mengajarkan kekerasan terhadap kaum yang berbeda (the others). Islam dicapnya pantas sebagai momok bagi peradaban dunia modern. Karena salah kaprah itu, ia pun bersemangat untuk mengampanyekan Islamofobia melalui akun-akun media sosial.
Karena salah kaprah itu, ia pun bersemangat untuk mengampanyekan Islamofobia melalui akun-akun media sosial.
Untuk menguatkan fitnah, Wendy bahkan mencari-cari argumentasi yang menurutnya kuat demi membuktikan stigma. Mushaf Alquran terjemahan pun diperolehnya dari toko buku. Begitu pula dengan kisah-kisah islami, termasuk sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Kalau umumnya pembaca mengumpulkan buku-buku itu untuk mempelajari Islam, ia saat itu bertujuan semata-mata untuk menemukan kelemahan agama ini.
Tak disangkanya, apa yang dicarinya ternyata tidak ada. Berkali-kali Wendy membaca keseluruhan terjemahan Alquran, dari ayat pertama hingga terakhir. Setelah khatam dengan itu, dia tidak menemukan satu kesalahan pun atau ujaran kebencian yang disangkanya ada. Baginya, hal itu adalah kabar buruk karena membuyarkan niatnya untuk semakin memfitnah Islam.
Demikian pula dalam narasi sejarah tentang Nabi SAW. Salah satu topik yang disasarnya ialah poligami. Mengapa Rasulullah SAW memiliki banyak istri? Bukankah itu berarti penindasan terhadap perempuan?
"Ada satu ajaran soal poligami. Dan, saya waktu itu berusaha untuk memfitnah Nabi SAW, menuding bahwa poligami itu tidak sesuai dengan ajaran (Islam) yang katanya mengedepankan akhlak. Begitulah—maaf—saya dahulu mempertanyakan beliau yang memiliki istri lebih dari satu. Bahkan, saya menganggapnya karena nafsu belaka,” tutur Wendy mengenang.
Belakangan, ia justru menemukan dari sumber-sumber lain yang mengulas aspek kesejarahan masyarakat Arab masa Nabi SAW. Ternyata, poligami yang diterapkan Islam untuk memuliakan wanita.
Sebab, pada zaman jahiliyah tak sedikit laki-laki yang beristri banyak, bahkan mencapai puluhan orang. Allah SWT mengatur dalam Alquran, seorang lelaki Muslim dapat memiliki istri maksimal empat orang—itu pun dengan ketentuan bahwa dirinya mampu bersikap adil.
Berawal dari kecurigaan, Wendy remaja justru semakin larut mempelajari Islam. Ia melahap berbagai buku tentang agama ini. Di antaranya berbicara perihal hubungan antara Alquran dan sains modern. Tak disangkanya, kitab suci itu ternyata menyinggung berbagai fenomena yang baru ditemukan kaum ilmuwan pada masa modern. Artinya, lebih dari 1.400 tahun silam Alquran sudah mengetahuinya.
Berawal dari kecurigaan, Wendy remaja justru semakin larut mempelajari Islam. Ia melahap berbagai buku tentang agama ini.
"Saya mengakui Nabi Muhammad adalah pembawa risalah dari Tuhan, dan Alquran sungguh luar biasa. Sebab, apa yang disampaikan 1.400 tahun lalu terungkap. Salah satunya, bukti sains misalnya. Itu baru ditemukan beberapa ratus tahun kemudian sejak Alquran turun," kata dia.
Tema lain yang ditelitinya ialah kaitan antara Islam dan peperangan. Waktu itu, terminologi jihad dianggapnya sama dengan perang barbar yang mengabaikan rasa kemanusiaan. Apalagi, dalam banyak film Barat dinarasikan para jihadis sebagai musuh atau penjahat yang harus dibasmi. Namun, bagaimana sesungguhnya Islam mengajarkan tentang jihad?
Setelah membaca banyak literasi, Wendy saat itu akhirnya menyadari bahwa jihad memiliki makna 'bersungguh-sungguh'. Para ulama mengatagorikan jihad ke dalam tiga bentuk, yakni jihad memerangi musuh yang nyata, melawan setan, dan jihad terhadap diri sendiri. Dengan perkataan lain, maknanya tidak bisa disempitkan hanya untuk “konflik bersenjata”.
Jihad dalam pengertian umum seperti ini mencakup juga seluruh jenis ibadah yang bersifat lahir dan batin, sebegaimana dicontohkan dalam sejarah perjuangan Rasulullah SAW. Banyak ayat dalam Alquran juga menjelaskan makna jihad secara umum. Sebut saja, surah an-Nahl ayat 110, an-Nur ayat 53, al-Furqan ayat 52, dan al-Fatir ayat 43.
Adapun konsep jihad yang bermakna 'mengangkat senjata', itu baru diizinkan Allah SWT kepada Rasul-Nya setelah beliau bermukim di Madinah. Dalam surah al-Hajj ayat 39, Allah Ta'ala berfirman, yang artinya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.”
Motivasinya adalah membela diri, bukan menyerang terlebih dahulu. Pemahaman itu membuka mata Wendy yang sebelumnya tertutup pekat kabut Islamofobia. Ternyata, Islam tidak pernah mengajarkan perang keji. Bahkan, Rasulullah SAW mencontohkan adab tatkala perang. Misalnya, tidak menebang pohon, tidak menyasar penduduk sipil, tidak membunuh anak-anak dan wanita, serta tidak merusak tempat ibadah dan tidak pula mengganggu kaum pendeta.
Periode mengkaji Islam dari berbagai sumber itu akhirnya mengubah pendiriannya. Wendy mulai melihat Islam dari perspektif yang lebih adil. Ia tidak lagi larut dalam syak-wasangka mengenai agama ini.
View this post on Instagram
Masuk Islam
Semakin sering membaca terjemahan Alquran dan kisah-kisah Nabi SAW, dirinya semakin meyakini bahwa Islam mengajarkan kebenaran. Pada akhirnya, ia merasakan sebuah panggilan untuk menjadi seorang Muslim.
“Saya tipe orang yang meyakini sesuatu melalui belajar. Tidak suka didoktrin. Ketika mempelajari sendiri, maka saya sampai pada keyakinan. Masuk Islam itu adalah pilihan saya, bukan pengaruh orang lain,” ucap lelaki asal Singkawang, Kalimantan Barat, itu.
Saya tipe orang yang meyakini sesuatu melalui belajar. Tidak suka didoktrin.WENDY LOFU
Dengan keyakinan yang teguh, ia waktu itu memberanikan diri untuk hijrah ke Pontianak. Berdasarkan informasi beberapa kawannya yang Muslim, di kota itu terdapat seorang tokoh yang sering membina mualaf. Namanya, Letjen (Purn) Andi Maulana. Ia pun untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat di depan sosok purnawirawan tersebut.
Bagaimanapun, Wendy mengakui, komitmennya waktu itu belumlah kuat. Ia merasa, keislamannya masih sebatas di lisan dan pikiran. Adapun tingkah laku dan kesehariannya belum begitu menunjukkan identitas Muslim. Barangkali, hal itu lantaran ketidaktahuannya mengenai berbagai aspek ibadah wajib.
Barulah ketika dirinya hijrah ke Jakarta, keadaan berubah menjadi lebih baik. Wendy bergaul dengan banyak sahabat Muslim. Beberapa di antaranya terhubung dengan Yayasan Mualaf Center Indonesia. Atas saran mereka, ia pun bersilaturahim ke markas organisasi tersebut. Waktu itu, lelaki ini sudah bekerja di sebuah perusahaan percetakan.
Wendy masih mengingat dengan jelas, kesan pertamanya saat tiba di Masjid Darussalam, Cibubur. Para aktivis Mualaf Center sangat ramah. Di masjid itulah, Koh Hanny menjadi pemimpin cabang yayasan tersebut.
“Saya bersyahadat ulang di sana,” ungkap Wendy. “Syahadat ulang” yang dimaksud berarti menguatkan komitmennya untuk menjadi seorang Muslim yang baik, selalu berupaya mengingat Allah SWT dan tidak absen beribadah wajib.
Sejak itu pula, Wendy terlibat dengan berbagai kegiatan yang diadakan Mualaf Center. Dan akhirnya, kini ia menjadi salah satu aktivis di sana.
Kemudahan Sesudah Berislam
Wendy Lofu tumbuh dalam keluarga yang demokratis dan berpikiran terbuka. Kedua orang tuanya selalu mengajarkan keutamaan sikap, yakni disiplin dan bertanggung jawab. Nilai-nilai itulah yang terus dipegangnya hingga kini.
Mualaf tersebut menuturkan, orang tuanya tidak mengecam sama sekali keputusannya memeluk Islam. Sebab, mereka memahami bahwa putranya itu sudah dewasa sehingga berhak dan mampu untuk menentukan arah hidup sendiri.
Bahkan, lanjut Wendy, sang ibu menyambut gembira keislamannya. Sebab, ibundanya percaya bahwa si anak terakhir dari tujuh bersaudara itu dapat menjadi pribadi yang lebih baik dengan berkomitmen pada sebuah agama. Baginya, religiusitas itu perlu, tidak pedulu agama mana yang dipeluk.
Sementara itu, ayahnya pada mulanya bersikap acuh tak acuh. Tidak menolak, tetapi juga tidak menyatakan setuju terhadap keislaman Wendy. Beberapa waktu kemudian, sang ayah memanggilnya untuk berbicara empat mata. Pesan utamanya adalah, Wendy harus memiliki rasa tanggung jawab atas apa pun keputusan yang telah dipilihnya.
Sebagai orang Tionghoa, ayahnya mengingatkan untuk tetap menjaga harga diri. Rupanya, dalam benaknya ada kesan bahwa umumnya Muslimin berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Wendy ingat, bapaknya menasihati bahwa pantang bagi orang Tionghoa untuk meminta-minta. Sesulit apa pun kondisinya, dirinya harus tetap berusaha.
Wendy ingat, bapaknya menasihati bahwa pantang bagi orang Tionghoa untuk meminta-minta. Sesulit apa pun kondisinya, dirinya harus tetap berusaha.
Wendy meyakinkan ayahnya bahwa dirinya selalu ingat dan siap untuk melaksanakan nasihat itu. Baginya, bimbingan dan arahan orang tua sangat penting didengarkan. Tahun berganti tahun, Wendy pun berkeinginan untuk menikah.
Pihak keluarganya kerap mengingatkan Wendy agar mencari perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa. Namun, bertahun-tahun lamanya ia tak kunjung menemukan sosok Muslimah Tionghoa. Kalaupun ada, ternyata berbeda keyakinan.
Setelah beberapa tahun, ia akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang seagama. Karena merasa perempuan tersebut adalah jodohnya, maka Wendy pun memperkenalkannya kepada keluarga. Ternyata, ayah dan ibunya tidak lagi mempermasalahkan kesamaan etnis Tionghoa. Ditambah lagi, kedua orang tua sang wanita juga telah memberikan restu.
Maka pernikahan pun berlangsung beberapa waktu kemudian. Wendy sangat bersyukur karena mendapatkan istri yang menerimanya apa adanya. Bahkan, ia merasa mertuanya menyayangi dirinya, layaknya anak kandung sendiri.
Sebagai kepala keluarga, Wendy terus berjuang menjadi suami yang baik. Kini, dirinya menjadi wirausahawan. “Kami berdua baru berjualan online melalui laman instagram @wendy_lofu. Harapannya, ke depannya kami bisa membuka toko. Tujuan sejak awal kami berdagang tidak hanya untuk mata pencaharian, tetapi juga bersedekah,” kata dia.
View this post on Instagram
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.