Internasional
Asia Cemas Menanti Biden
Cina masih menahan diri dari memberikan ucapan selamat kepada Biden.
TOKYO — Setelah Joe Biden meraih suara mayoritas dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS), Asia ikut menanti masa depan kerja sama dengan AS. Mereka khawatir akan diabaikan AS.
Selama empat tahun menjabat, Presiden Donald Trump mengguncang fondasi tradisional AS dan negara-negara dunia. Kini, saat Biden bakal disibukkan isu-isu domestik, ada kekhawatiran bahwa Asia bakal ditinggalkan. Hal ini membuka peluang bagi kekuatan besar berkuasa di kawasan tanpa tandingan.
Di Jepang hal ini ditandai dengan mundurnya salah satu orang yang akrab dengan Trump, yaitu Shinzo Abe, dari kursi perdana menteri. AS dan Jepang kini sama-sama memiliki pemimpin baru.
Setelah pekan lalu mencicitkan ucapan selamat kepada Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga menyatakan siap bekerja sama dengan pemerintahan AS yang baru. Namun, tak ada rencana kunjungan Suga ke AS atau hubungan telepon antara kedua pemimpin.
“Jepang dan AS merupakan sekutu yang saling berbagi nilai universal yang sama seperti kebebasan dan demokrasi,” ujar Suga dikutip Japan Times, Senin (9/11). “Kami ingin bekerja sama dengan AS untuk memperteguh aliansi dan menciptakan keamanan dan kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik.”
Cina masih menahan diri dari memberikan ucapan selamat kepada Biden. Hal ini berbeda ketika tahun 2016 Presiden Cina Xi Jinping memberikan ucapan selamat kepada Trump pada 9 November.
“Kami mengetahui Mr Biden telah mendeklarasikan kemenangan pilpres,” ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin dalam taklimat media, Senin. “Kami memahami bahwa hasil pemilihan AS akan ditentukan sesuai hukum dan prosedur AS.”
Cina dan AS telah dililit sejumlah isu belakangan ini, mulai dari perdagangan hingga politik. Di bawah Trump, kedua rival ini terlibat perang dagang dan kerap berperang kata-kata pedas.
Biden bisa saja melunakkan ketegangan tersebut. Hal ini diungkap Profesor Alexander Huang yang membidangi studi strategis di Tamkang University.
“Saya memperkirakan Bidan akan kembali moderat dan mengambil pendekatan yang tak terlalu konfrontatif mirip era Obama (Barack Obama—Red) dalam hubungan Cina dan AS,” ujarnya.
AS bahkan diperkirakan akan mengurangi kedekatannya dengan Taiwan yang selama ini tetap diklaim Cina sebagai salah satu provinsinya. Namun, menurut Huang, AS tak akan mengurangi kemampuan Taiwan untuk melindungi diri dari ancaman Cina.
Untuk isu Korea, Trump tanpa diduga-duga bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un hingga tiga kali. Meski dinilai berada di luar garis yang biasa diambil AS, pertemuan-pertemuan itu ternyata tidak menyingkirkan ancaman pengembangan senjata nuklir jarak jauh milik Korut.
Kim kini harus menyesuaikan diri dengan Biden yang pernah disebutnya “anjing fanatik”. Sementara itu, Biden kini harus berhadapan dengan Kim yang pernah disebutnya “penjagal” dan “penjahat”.
Biden bahkan pernah menyebut Trump telah memberikan legitimasi kepada Kim dengan melakukan konferensi tingkat tinggi (KTT) demi pencitraan di televisi. Biden diperkirakan akan mengambil jalur lambat untuk berurusan dengan Korut.
Bagi Korea Selatan, Biden mungkin akan lebih menghargai keberadaannya sebagai sekutu dekat AS. Trump mengurangi komitmen latihan gabungan dengan Korsel. Ia juga kerap mengeluh biaya yang ditanggung karena ada 28.500 personel militer AS di pangkalan Korsel untuk menangkis ancaman Korut.
Adapun Perdana Menteri konservatif Australia, Scott Morrison, mencicitkan selamat di Twitter, “Sungguh melegakan Anda menang.” Ada isyarat bahwa muncul harapan Biden bisa berbuat lebih baik daripada Trump.
Selandia Baru mungkin berharap AS akan membuka pintu lebih lebar untuk pasar susu dan daging negaranya. Selandia Baru dan negara Pasifik lainnya juga berharap AS bisa menurunkan ketegangan dengan Cina. Selandia Baru terperangkap di antara dua kekuatan besar, yaitu mengandalkan Cina untuk mitra dagang terbesar dan memelihara ikatan pertahanan serta intelijen dengan AS.
Sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Malaysia lebih cenderung kepada Cina karena mereka banyak berinvestasi. Investasi amat penting bagi negara yang sedang memulihkan ekonominya.
“Perlu waktu bagi AS untuk membangun kepercayaan kembali,” ujar Bridget Welsh, University of Nottingham, yang berada di Malaysia. “AS tak pernah seperti dahulu lagi.”
Biden juga kelihatan akan berhati-hati berurusan dengan pemimpin kuat seperti Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, dan Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Hal ini diungkap pengamat Filipina, Richard Heydarian.
“Biden yang penuh kehati-hatian berarti tingkat hubungan yang stabil dengan sekutu-sekutu yang ‘sulit’ di Asia Tenggara dan kawasan,” ujarnya. “Kita akan melihat kepemimpinan Amerika, tetapi lebih terkait dengan pemain dan kekuatan kawasan seperti Jepang, Australia, India, dan Eropa.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.