Kabar Utama
Pilpres AS Ketat
Masing-masing kandidat mengeklaim kemenangan meski perhitungan pilpres AS masih berjalan.
WASHINGTON – Pemilihan Presiden Amerika Serikat (Pilpres AS) 2020 yang semula diprediksi akan dimenangkan dengan mudah oleh kandidat Partai Demokrat Joe Biden ternyata berlangsung ketat. Masing-masing kandidat mengeklaim kemenangan dengan kepastian yang masih bergantung pada perhitungan suara yang dikirim melalui pos.
“Kita akan memenangkan (pilpres) ini dan sejauh yang saya perhatikan, kita sudah memenangkannya," kata pejawat dari Partai Republik, Donald Trump, dalam pidato kemenangannya pada Selasa (3/11). Dia pun menuding lawannya melakukan penipuan dengan mencoba memanipulasi hasil pemilihan.
Trump tak menyebut secara gamblang bentuk penipuan yang dimaksud dan siapa pelakunya. Meski begitu, ia berulang kali menolak penghitungan suara pascapemilihan. Dalam Pilpres AS pada masa pandemi ini, suara dengan jumlah signifikan disalurkan melalui pos di samping pencoblosan langsung di tempat pemungutan suara.
Di pihak lain, Joe Biden juga optimistis dapat memenangkan pilpres. Dia mengatakan terus memantau hasil penghitungan suara. "Saya di sini untuk memberi tahu Anda malam ini bahwa kami yakin kami berada di jalur yang tepat untuk memenangkan pemilihan ini. Saya optimistis tentang hasil ini," kata Biden kepada para pendukungnya di luar Chase Center di Wilmington, Delaware.
Dia menyampaikan terima kasih kepada para pendukungnya karena telah memberikan suara. "Jaga keyakinan kalian. Kita akan memenangkan ini," ujarnya. Meski demikian, ia juga mewanti-wanti pendukungnya agar bersabar menunggu hasil penghitungan suara.
Pilpres AS kali ini dinilai bersejarah karena mempertentangkan dua kubu yang terpolarisasi makin jauh di AS. Trump mewakili kaum konservatif garis kanan, sedangkan Biden di kubu progresif liberal dan etnis minoritas.
Hubungan kedua golongan ini mencapai titik didih menjelang pemilihan kali ini. Kelompok-kelompok sipil bersenjata pada kedua kubu bahkan menampakkan diri sepanjang aksi-aksi “Black Lives Matter” yang mengecam brutalitas polisi beberapa bulan belakangan.
Kampanye kedua kandidat menjelang pilpres juga lebih cenderung saling menyerang. Program-program yang diusung masing-masing kandidat hanya menjadi semacam latar belakangan permusuhan tersebut.
Secara total perolehan suara hingga semalam alias dini hari waktu AS, Joe Biden unggul dari Donald Trump dengan perolehan sekitar 68 juta suara (50 persen), berbanding perolehan Trump sebanyak 66 juta suara (48 persen). Namun, hasil Pilpres AS tak ditentukan total jumlah suara yang diperoleh masing-masing kandidat.
Pemilih sedianya hanya menentukan kemenangan di negara bagian, yang masing-masing memiliki jumlah perwakilan suara elektoral atau electoral college (EC) berbeda-beda. Para perwakilan itu yang nantinya akan memilih presiden secara nasional. Biasanya sudah disepakati bahwa dukungan EC di masing-masing negara bagian akan sepenuhnya diberikan kepada kandidat yang menang di wilayah tersebut.
Hingga Rabu (4/11) petang WIB, merujuk hitung cepat Associated Press (AP), Biden telah meraih 238 suara elektoral, sementara Trump menghimpun 213. Untuk menuju Gedung Putih, setiap kandidat harus mengumpulkan 270 dari 538 suara elektoral.
Pada awal-awal perhitungan, sebelum hasil negara bagian mengambang (swing state) dihitung, Biden terus memimpin perolehan suara elektoral. Hal itu didorong kemenangan Biden di wilayah dengan banyak perwakilan, seperti Kalifornia (55 EC). Biden juga mengunci kemenangan di sejumlah daerah kunci, seperti di Arizona (11 EC), New Hampshire (4 EC), Nevada (6 EC), dan unggul di Wisconsin (10 EC).
Kendati demikian, Trump juga dipastikan unggul di sejumlah daerah yang diperebutkan, seperti Florida (29 EC), Texas (38 EC), Ohio (18 EC), dan Iowa (6 EC). Selain itu, meski perhitungan belum pungkas, Trump unggul di North Carolina (15 EC), Michigan (16 EC), Georgia (16 EC), dan Pennsylvania (20 EC).
Hasil akhir Pilpres AS kali ini juga diperkirakan belum bisa dipastikan dalam waktu dekat. Selain surat suara pos yang masih harus dihitung, kemungkinan juga ada langkah-langkah hukum dari masing-masing kandidat karena tipisnya margin perolehan suara.
Merujuk exit poll yang digelar Edison Research/NEP yang dilansir Reuters, Trump unggul di kalangan pemilih lelaki, kulit putih, dan usia 65 tahun ke atas. Sedangkan, Biden unggul di kalangan pemilih perempuan, etnis minoritas, pemuda, dan warga berpendidikan tinggi. Kedua kandidat imbang di kalangan pemilih tanpa gelar sarjana.
Presiden Trump belakangan kerap diserang dengan ketakbecusannya menangani pandemic Covid-19 di Amerika Serikat. Pada hari pemilihan kemarin, AS masih memuncaki jumlah kasus sedunia pada angka 9,4 juta kasus dengan 232 ribu kematian.
Exit poll menunjukkan, hanya 17 persen warga AS memilih dengan penanganan Covid-19 sebagai pertimbangan. Mayoritas, sebanyak 35 persen, memilih berdasarkan pertimbangan kondisi perekonomian.
Meski begitu, patut dicatat bahwa 20 persen memilih dengan dasar ketaksetaraan rasial di AS. Hal itu menggarisbawahi kecenderungan retorika Trump yang dinilai membangkitkan sentimen supremasi kulit putih di AS. n puti almas/fergi nadira/lintar satria/ ed: fitriyan zamzami
Perlu Kepastian
Mengawang-awangnya hasil Pilpres AS diharapkan tak berlangsung lama. Stabilitas dunia dinilai bergantung pada kian lekasnya hasil pemilu bersejarah itu dipastikan.
Pengamat geopolitik global Teuku Rezasyah menyatakan, kepastian hasil Pilpres AS bisa mencegah ketidakpastian yang dapat berujung pada instabilitas global. "Global perlu kepastian karena jadi banyak perjanjian internasional yang tidak bisa ditandatangani Amerika, seperti perjanjian lingkungan hidup, kemudian Trans-Pacific Strategic Partnership yang tidak bisa ditandatangani, padahal dampaknya sangat besar," katanya, Rabu (4/11).
Menurut dia, seperti politisi atau presiden dari Partai Demokrat sebelumnya, kebijakan luar negeri Biden akan banyak berfokus pada isu-isu HAM, terutama HAM di masyarakat multikultural, di lingkungan usaha, menyangkut kelompok minoritas dan wilayah konflik.
"Ada kecenderungan Demokrat untuk ikut campur, yang terpenting bagaimana negara-negara yang dituding melanggar HAM untuk membuktikan bahwa berusaha keras menegakkan HAM, agar HAM bagian dari pembangunan lintas politik, lintas generasi, hingga ke level terbawah," kata dosen Universitas Padjadjaran itu.
Teuku mengatakan, Indonesia harus mengungkapkan upaya sosialisasi HAM. Bagaimana HAM diajarkan di sekolah-sekolah dasar atau taman kanak-kanak. Proses penegakan dan sosialisasi itu dikomunikasikan ke dalam dan ke luar negeri.
"Dan bila ada pemberitaan yang tidak benar, langsung diklarifikasi, pemerintah harus proaktif, tidak hanya bekerja sesuai prosedur, tapi juga proaktif karena khawatir pihak luar menganggap Indonesia tidak serius dalam menegakkan HAM," katanya.
"Karena HAM tidak hanya kebudayaan, tingkatannya sudah peradaban, dalam konteks ini Bali Democracy Forum sangat penting sekali bagi Indonesia, untuk berbagi pengalaman demokrasi dengan negara lain," ujarnya lagi.
Pengajar hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan Al Banna mengatakan, baik Biden maupun Trump memiliki sisi positif dan negatifnya bagi Indonesia. Menurut Shofwan, bila Biden menang, sistem internasional memiliki pemimpin rasional di negara yang paling kuat di dunia.
Bila sistem internasional stabil, Indonesia dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Tetapi, terkadang sikap yang terlalu kalkulatif dari Biden, kata Shofwan, membuat AS tidak terlalu efektif.
"Terutama bagi sekutu tradisional Amerika Serikat, seperti Timur Tengah, misalnya, mereka lebih suka Trump karena menggunakan kekuataan tanpa ragu. Itu bukan sesuatu yang baik, sebenarnya. Tapi, bagi beberapa sekutu AS, seperti Uni Emirat Arab dan negara-negara Teluk yang khawatir dengan Iran, Trump lebih menyenangkan," kata Shofwan.
Sebab, Trump tidak terlalu peduli dengan HAM yang biasanya menjadi fokus Demokrat. Shofwan mengatakan, Trump lebih peduli bila negara-negara Arab Teluk itu bersedia membeli senjata dari AS.
"Jadi, bila Biden menang, model interaksinya akan berubah lebih stabil, lebih rasional, mungkin lebih memperhatikan nilai-nilai, tetapi di saat yang sama terlalu rasional. Mungkin akan menjadi tidak keras terhadap lawan-lawannya AS, kalau di Pasifik itu Cina, kalau di Timur Tengah itu Iran," kata Shofwan. "Kalau untuk Indonesia sendiri, tidak terlalu banyak perubahan. Kompetisi antara AS dan Cina tetap akan berlangsung entah Biden atau Trump yang menang."
Menurut Shofwan, pada isu konflik Israel-Palestina, baik Biden maupun Trump yang menang tidak ada pengaruhnya. Trump hanya lebih lantang menyuarakan posisi AS. Sebab, sebelum Trump pun posisi AS selalu lebih condong ke Israel.
Sejauh ini, para pimpinan dunia masih menahan diri dari mengomentari hasil Pilpres AS. Meski begitu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, pihaknya tidak peduli tentang siapa yang akan menjadi presiden Amerika Serikat (AS). Iran lebih tertarik menunggu kebijakan masa mendatang negara itu yang mematuhi hukum dan perjanjian internasional.
"Bagi Iran, kebijakan pemerintahan AS yang berikutnya adalah hal yang penting—bukan soal siapa yang memenangkan pemilu di AS," kata Rouhani dalam rapat kabinet yang disiarkan di televisi.
"Kami ingin dihargai, bukan menjadi sasaran sanksi (oleh AS). Tidak masalah siapa yang memenangkan pemilu AS," ujar Rouhani lagi. Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, pada 2018 lalu AS keluar dari perjanjian nuklir Iran 2015 serta menjatuhkan sanksi yang memberatkan kondisi perekonomian Iran. Sebagai balasan, Iran secara bertahap mengurangi kepatuhannya terhadap perjanjian itu.
Joe Biden, rival Trump pada pemilu presiden kali ini, berjanji untuk membawa AS bergabung kembali dengan enam negara kekuatan dunia dalam perjanjian nuklir tersebut jika Iran juga kembali mematuhinya.
Di sisi lain, Trump juga menyebut bahwa ia ingin melancarkan perjanjian baru dengan Iran yang akan menyasar program rudal negara itu dan mendukung proksi kawasan, yakni di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman. Bagaimanapun, Iran tidak bersedia melakukan negosiasi apa pun terkait hal itu, kecuali AS terlebih dahulu masuk kembali dalam kesepakatan nuklir awal.
Pergerakan saham
Sementara itu, 254 indeks harga saham gabungan (IHSG) dibuka di zona positif pada perdagangan Rabu (4/11). Indeks saham menguat 0,22 persen atau bertambah 11 poin ke level 5.170,82. Sedangkan, indeks LQ45 menguat 0,40 persen.
Kepala riset Samuel Sekuritas, Suria Dharma, mengatakan, pergerakan IHSG akan diwarnai oleh sentimen global, terutama terkait hasil Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS). Suria pun memprediksi IHSG akan cenderung menguat pada hari ini. "Para pelaku pasar akan menunggu siapa yang menjadi presiden AS untuk empat tahun ke depan," kata Suria, Rabu (4/11).
Menurut Suria, penguatan didukung optimisme bahwa Pilpres AS akan berlangsung lancar dan pengumuman hasil pilpres tidak memakan waktu lama. Para pelaku pasar optimistis, siapa pun yang menjadi presiden, stimulus ekonomi akan tetap keluar.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu sore juga ditutup menguat seiring pelaku pasar yang masih menantikan hasil pilpres di AS yang berlangsung ketat. Rupiah ditutup menguat 20 poin atau 0,14 persen ke posisi Rp 14.565 per dolar AS dibandingkan dengan posisi penutupan hari sebelumnya di Rp 14.585 per dolar AS.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi di Jakarta, Rabu, menyebut saat ini semua mata tengah tertuju ke pemilu di Amerika Serikat. "Ketidakpastian atas hasil pemilu di AS menarik pelaku pasar kembali ke aset berisiko," ujar Ibrahim.
Menurut dia, dengan masih berlanjutnya penghitungan suara Pilpres AS, investor kembali mencari investasi yang menguntungkan, salah satunya pasar finansial dalam negeri. Itu bisa dilihat dari pergerakan arus modal asing yang sebelumnya keluar dari pasar dan kembali parkir di pasar finansial dalam negeri.
Amerika yang tak tenang
Keadaan di Amerika Serikat menjelang pilpres tak bisa dibilang damai. Divisi Hak Sipil Departemen Kehakiman AS mengatakan, pihaknya mengerahkan personel ke 18 negara bagian untuk mengawasi intimidasi dan pemaksaan pemilih pada hari pemilihan, Selasa (3/11) waktu setempat. Hal ini dilakukan meski sebagian besar pemungutan suara di beberapa negara bagian berjalan lancar.
Staf di kelompok advokasi yang berbasis di Washington, Lawyers’ Committee for Civil Rights Under Law mengatakan, mereka prihatin tentang mesin pemungutan suara yang tidak berfungsi di suatu kawasan di Georgia. Kegagalan teknis itu memaksa pemilih untuk mengisi surat suara dan meningkatkan kekhawatiran kehabisan cadangan kertas.
Dilansir laman the Guardian, ada juga laporan informasi yang salah. Para pemilih di Flint, Michigan, menerima panggilan anonim yang meminta mereka untuk memberikan suara pada Rabu saja karena antrean yang panjang. Jaksa Agung New York juga mengatakan, sedang menyelidiki laporan bahwa 10 juta orang menerima panggilan anonim yang menyuruh mereka untuk "tetap aman dan tetap di rumah".
Twitter pun menandai beberapa cuitan dari Mike Roman, seorang agen kampanye Trump. Dia disebut menyebarkan informasi palsu yang menyarankan praktik pemungutan suara yang tidak tepat di Philadelphia, kota utama yang kemungkinan akan memengaruhi hasil pemilihan.
Sementara itu, pemilik toko-toko di beberapa kota memasang kayu pada dinding di jendelanya karena takut akan ada kerusuhan sipil, terutama jika hasil pemilu ditunda. Di New York City, Empire State Building dan department store Macy termasuk di antara yang ditutup. Di Rodeo Drive, Beverly Hills, staf telah mengamankan perhiasan mereka di jendela pajangan Tiffany & Co. dan Van Cleef & Arpels.
Meskipun pemungutan suara berjalan lancar di sebagian besar tempat, ada beberapa gangguan yang tersebar. Dewan Pemilihan Negara Bagian Carolina Utara memperpanjang pemungutan suara hingga 45 menit di empat daerah yang dibuka terlambat. Pengembalian ditunda di seluruh negara bagian sampai semua pemungutan suara ditutup.
Demikian pula, di Hidalgo County, Texas, terungkap 74 lokasi pemungutan suara akan tetap buka satu jam ekstra setelah 10 laman mengalami "masalah check-in laptop". Namun, beberapa orang Amerika khawatir tentang penghitungan suara yang berlarut-larut di negara bagian penting, yang membuat pemenang yang jelas tidak pasti selama berhari-hari atau lebih.
Pejawat Donald Trump menilai, negara harus berhenti menghitung surat suara resmi setelah hari Selasa habis. Membantah pernyataan Trump, menurut Menteri Luar Negeri negara bagian Ohio, Frank LaRose, adalah suatu yang normal jika surat suara ditabulasi beberapa hari setelah pemungutan suara ditutup.
"Itu bukan tanda sesuatu yang jahat. Apakah kita akan mendapatkan nomor terakhir pada malam pemilihan? Jawabannya, tentu saja tidak. Kami tidak pernah memiliki nomor akhir pada malam pemilihan," ujarnya.
Ketegangan juga berkobar di seluruh negeri menjelang hari pemilihan. Di antaranya, para pendukung Trump yang mengendarai truk pikap di jalan raya Texas mengepung bus wisata yang membawa staf kampanye Joe Biden pada Jumat lalu.
Di North Carolina selama akhir pekan, polisi menyemprotkan lada kepada sekelompok besar Demokrat yang berbaris ke TPS. Sementara pada bulan lalu, anggota kelompok milisi antipemerintah dituduh merencanakan penculikan gubernur Demokrat di Michigan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.