Nusantara
Mahfud: Aparat Diduga Terlibat
Rekomendasi pelengkapan aparat keamanan organik di wilayah Papua bisa berujung konflik panjang.
JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyampaikan temuan TGPF soal dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam peristiwa terbunuhnya pendeta Yeremia Zanambani di Distrik Hitadipa, Intan Jaya. Ia menyatakan ada dugaan keterlibatan oknum aparat dalam peristiwa itu.
Dugaan itu didapatkan dari informasi dan fakta yang didapatkan tim investigasi lapangan dalam kurang lebih dua pekan terakhir. "Mengenai terbunuhnya pendeta Yeremia Zanambani pada tanggal 19 September 2020, informasi dan fakta-fakta yang didapatkan tim di lapangan menunjukkan dugaan keterlibatan oknum aparat," ujar Mahfud MD dalam konferensi pers, kemarin.
Masih terkait peristiwa tersebut, Mahfud menyampaikan, ada juga kemungkinan pembunuhan itu dilakukan oleh pihak ketiga, dalam hal ini KKSB. Dia mengatakan, ada teori konspirasi yang menyebut KKSB sengaja melakukan pembunuhan untuk kemudian ditudingkan kepada aparat keamanan.
Dalam laporan TGPF Intan Jaya itu juga disebutkan adanya keterlibatan KKSB dalam kejadian penembakan lain yang menewaskan dua aparat keamanan. Mahfud menerangkan, KKSB diduga terlibat peristiwa dalam peristiwa pembunuhan Serka Sahlan pada 17 September 2020 dan Pratu Dwi Akbar Utomo pada 19 September 2020.
"Demikian pula terbunuhnya seorang warga sipil atas nama Badawi pada tanggal 17 September 2020," ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Selanjutnya, kata Mahfud, pemerintah akan menyelesaikan kasus itu sesuai dengan hukum yang berlaku, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara. Sejauh menyangkut tindak pidana berupa kekerasan dan atau pembunuhan, pemerintah meminta Polri dan Kejaksaan untuk menyelesaikannya. "Sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu dan untuk itu pemerintah meminta Komisi Kepolisian Nasional untuk mengawal prosesnya lebih lanjut," kata Mahfud.
Adapun yang menyangkut hukum administrasi negara, Menko Polhukam menyerahkannya kepada institusi terkait untuk diselesaikan. Itu dilakukan agar institusi terkait tersebut mengambil tindakan sesuai hukum yang berlaku.
Menurut Mahfud, maraknya kekerasan di wilayah Papua belakangan akibat banyak wilayah belum terjangkau aparat keamanan. "Sejalan dengan temuan-temuan ini, Menko Polhukam merekomendasikan agar daerah yang masih kosong dari aparat pertahanan keamanan organik supaya segera dilengkapi," ujar Mahfud.
Mahfud menyampaikan, berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan, daerah Papua sangat luas dan memiliki medan yang sulit. Itu salah satu penyebab ada beberapa daerah belum terjangkau pengamanan aparat keamanan organik dari TNI maupun Polri.
Menurut dia, hal tersebut juga sudah pernah disampaikan oleh Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) kepada Presiden Joko Widodo dan disetujui. "Ada beberapa daerah yang masih kosong dirangkap. Misalnya Polres ini merangkap di sana, di sana. Koramil ini merangkap di sana, di sana," kata dia.
Mahfud juga menyampaikan, hal itu merupakan permintaan rakyat Papua. Rakyat Papua menginginkan kehadiran aparat keamanan di daerahnya untuk menjaga kondusifitas daerah tersebut.
Sementara itu, ia berdalih, pihak yang menginginkan aparat TNI-Polri ditarik dari Papua merupakan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB). "Jadi tak ada yang menolak kecuali KKB, KKSB. Kalau rakyatnya sendiri kan justru malah minta. Agar ada perlindungan yang mengamankan mereka," terang Mahfud.
Kronologis
Republika sebelumnya menghubungi Yones Douw, seorang aktivis yang mengumpulkan jejak peristiwa tersebut. Yeremia, menurut Yones, adalah seorang pria berusia 68 tahun dan sudah berkeluarga.
Ia memangku sejumlah jabatan di kampungnya. Antara lain, pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII), wakil ketua Klasis Hitadipa, kepala Sekolah Theologia Atas (STA) Hitadipa, dan penerjemah Alkitab bahasa Moni di Hitadipa. Moni adalah suku asal Yeremia.
Pada 19 September 2020, pukul 13.17 WIT, di Hitadipa terjadi kontak tembak antara Satgas BKO Apter Koramil Persiapan Hitadipa dengan TPNPB. Pratu Dwi Akbar Utomo terbunuh dalam baku tembak dan senjatanya dibawa lari TPNPB.
Selepas itu, menurut Yones, pada 15.20 WIT, pihak TNI-Polri mengimbau kepada TPNPB dan masyarakat asli Papua di Hitadipa dan Homeo segera mengembalikan dua pucuk senjata yang dirampas dengan ancaman Operasi Penyisiran.
Pada waktu itu, sekitar pukul 17.20 WIT, menurut Yones, pendeta Yeremia Zanambani bersama istrinya pergi ke peternakan babi tak jauh dari kediaman mereka untuk memberi makan. “Setelah itu istrinya mengajak pendeta Yeremia untuk pulang ke rumah. Namun, pendeta Yeremia mengatakan saya masih menunggu babi ini selesai makan dulu. Pendeta bilang sama istrinya ‘Mama pulang dulu’, sehingga istrinya mulai pulang ke rumah duluan,” tutur Yones kepada Republika, Senin (21/9).
Pendeta Yeremia tak pernah kembali ke rumahnya setelah itu. Keesokan harinya, keluarga korban mendapatinya dalam kondisi tidak bernyawa dan berlumuran darah.
Ia menuturkan, ada kesaksian dari warga setempat bahwa pendeta Yeremia sempat ditemui pasukan TNI sebelum ditemukan meninggal pagi harinya. “TNI melihat pendeta lagi tunggu babi lagi makan, TNI tidak tanya-tanya langsung ditikam dengan alat tajam. Sesudah itu pendeta Yeremia ditembak,” kata Yones.
Sementara, pihak TNI menyatakan, seluruh pihak wajib menghormati hasil temuan TGPF Intan Jaya yang telah bekerja dengan maksimal. Terkait dugaan keterlibatan oknum aparat, Suriastawa menyatakan, TNI sangat menjunjung tinggi proses hukum sebagai tindak lanjut dari proses ini.
“Karena ini merupakan komitmen pimpinan TNI untuk menjadikan TNI sebagai institusi yang taat hukum," ujar Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi IGN Suriastawa, kepada Republika, Rabu (21/10).
Meski begitu, menurutnya jika proses selanjutnya menunjukkan bahwa pelakunya dari pihak KKSB. Terlebih, pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) telah mengklaim bertanggung jawab atas penembakan anggota TGPF. "Kita semua harus mendukung proses pro justicia yang akan dilakukan oleh pemerintah demi keamanan di Papua," ungkap Suriastawa.
Pihak kepolisian menghormati apa pun temuan TGPF di Intan Jaya. "Kita tunggu, hormati apa pun hasilnya. Polri sesuai fakta hukum berjalan saja, beliau kan TGPF, silakan kita kan masing-masing," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (21/10).
Konsekuensi
Koordinator Kontras Papua, Sam Awom, menilai rekomendasi pelengkapan aparat keamanan organik di wilayah Papua dapat berujung pada konflik berkepanjangan. Semestinya, pendekatan yang dilakukan adalah dialogis, bukan militeristik.
"Kalau semakin pendekatannya militeristik hari ini, itu tidak menyelesaikan persoalan. Itu sudah diserukan oleh semua pemerhati HAM bahwa pendekatan ini salah. Pendekatan yang akan menyebabkan konflik berkepanjangan," ujar Sam kepada Republika, Rabu (21/10).
Semestinya, pendekatan yang perlu dilakukan pemerintah di Papua janganlah militersitik, melainkan dialogis. Pendekatan yang melibatkan masyarakat adat, tokoh agama, dan lembaga yang meletakkan HAM sebagai solusi perdamaian.
"Kalau hari ini Mahfud bilang ini strategi untuk mengisi tempat-tempat yang kosong, ini ada apa? Apakah daerah Papua mau dijadikan daerah operasi militer baru? Itu satu. Yang kedua, bisa jadi untuk pengamanan investasi. Itu yang kita takutkan di situ," kata Sam.
Menurut Sam, rakyat Papua sudah terus menerus meminta pemerintah untuk menyelesaikan persoalan di Papua dengan berdialog dan tidak dengan cara yang direkomendasikan Menko Polhukam. "Sekarang ini pendekatan apa Pak Mahfud. Ketika dia jadi seorang tokoh intelektual itu pernyataannya bagus, tapi ketika dia menjadi Menko Polhukam pernyataanya tidak lebih menyelesaikan konflik," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.