Analisis
The Social Dilemma dan UU Cipta Kerja
Penolakan UU Cipta Kerja tidak mesti berkaitan dengan kualitas kebenaran UU tersebut.
Oleh IMAN SUGEMA
OLEH IMAN SUGEMA
Demo yang marak di berbagai kota menyambut terbitnya UU Cipta Kerja menyisakan segudang pertanyaan yang sangat menggelitik bagi pemerhati sosial. Pertanyaan pertama tentunya mengapa penolakan itu begitu kuat sehingga harus diekspresikan dalam bentuk demonstrasi kekuatan massa yang disertai dengan kekerasan.
Apakah massa yang membeludak itu spontan atau sengaja dikerahkan? Apakah yang ikut berdemonstrasi itu memiliki pesan yang murni tentang isi dari UU tersebut? Ataukah di dalamnya ada susupan kepentingan politik dan bisnis tertentu? Apakah ada sponsornya?
Apa pun itu, pasti jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Mengingat rumitnya isu yang ingin dijawab oleh UU tersebut, hampir pasti sudut pandang yang tercermin dari setiap segmen masyarakat akan berbeda. Para kiai dan ustaz punya persepsi tentang UU tersebut khususnya mengenai sertifikasi halal, terutama menyangkut peran MUI dan bagaimana usaha kecil akan dipermudah dalam mendapatkan sertifikat halal.
Kaum buruh tentu lebih mengutamakan kejelasan nasibnya terutama mengenai upah minimum, tunjangan pensiun, dan batasan yang tegas tentang pekerja asing. Lain lagi dengan pengusaha besar yang menginginkan kemudahan berusaha dan lebih rampingnya birokrasi perizinan.
Yang ketiga dan yang paling menyeramkan adalah bahwa para ahli IT telah mengubah kita menjadi produk dan kita bukan lagi makhluk yang mengkonsumsi produk.
Bagaimana dengan Anda dan saya? Saya sendiri punya jawaban tersendiri terutama tentang massa demo. Mungkin kalau Anda sudah pernah menonton film The Social Dilemma, Anda akan sepakat dengan saya. Lho kok bisa? Mari kita ulas apa yang jadi pesan dari film tersebut?
Ada tiga kesimpulan dari film tersebut yang relevan untuk dijadikan benang merah terhadap aksi demo massa UU Cipta Kerja. Kesimpulan yang pertama adalah bahwa kebenaran persepsi (perceptional truth) bisa jadi lebih penting dari kebenaran hakiki.
Yang kedua adalah bahwa manusia di era internet of things (IOT) bisa berubah menjadi robot yang siap menerima perintah atau komando tanpa berpikir sama sekali. Yang ketiga dan yang paling menyeramkan adalah bahwa para ahli IT telah mengubah kita menjadi produk dan kita bukan lagi makhluk yang mengkonsumsi produk. Kita adalah produk. Mari kita bahas satu per satu.
Tidak jarang kita lebih mempercayai berita palsu (fake news) dan hoax. Kita sehari-hari disuguhi dengan ratusan ribu berita dan ulasan. Jangankan untuk menguji kesahihan berita, untuk memahami inti dari berita itu sendiri kita tidak punya waktu yang cukup.
Kualitas pemahaman kita terhadap sebuah fenomena sangat bergantung pada pendapat yang paling umum atau dominan di antara sesama anggota peer group.
Kita menjadi sangat bergantung pada berita atau ulasan yang disuguhkan lingkungan terdekat atau peer group. Kualitas pemahaman kita terhadap sebuah fenomena sangat bergantung pada pendapat yang paling umum atau dominan di antara sesama anggota peer group. Kita tidak lebih dari gerombolan bebek yang ikut arus kelompok.
Karena itu dalam kasus aksi demo penolakan UU Cipta Kerja hampir bisa dipastikan bahwa peserta demo mayoritas hanya berstatus pengikut saja. Buruh tentunya bergerak atas arahan pemimpin serikat buruh.
Mahasiswa dan pelajar lebih banyak yang tidak tahu secara persis tentang apa yang menjadi pesan dari aksi demo tersebut. Di era infodemic seperti sekarang, yang terpenting adalah menyampaikan berita atau pesan yang dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran.
Persepsi itulah yang paling penting dalam menggerakan massa aksi demo. Kebenaran yang hakiki tidak begitu penting sepanjang tidak dipersepsikan sebagai sebuah kebenaran. Jadi, penolakan terhadap UU tersebut tidak mesti berkaitan dengan kualitas kebenaran yang ada di dalam UU tersebut.
Tentunya untuk membentuk persepsi, pemangku kepentingan yang harus mampu menerobos hati sanubari di setiap segmen masyarakat. Di kalangan ahli IT bidang sosial, hal ini sudah berkembang jauh sehingga orang diperlakukan mirip sebagai robot yang bisa diprogram.
Jadi maraknya penolakan UU Cipta Kerja sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah di berbagai jenjang dalam melakukan programming dalam psiko-massa.
Kalau Anda masih berpandangan bahwa mesin suatu saat akan menggantikan manusia, maka Anda masuk pada kategori old school. Yang sekarang sedang masif terjadi justru menjadikan manusia seperti robot. Dengan manipulasi psikologi, manusia pada dasarnya adalah mahluk yang siap diprogram. Kalau begitu, kita adalah robot.
Jadi maraknya penolakan UU Cipta Kerja sedikit banyak menunjukkan kegagalan pemerintah di berbagai jenjang dalam melakukan programming dalam psiko-massa. Setidaknya ini menunjukkan bahwa pemerintah kalah cepat dalam menciptakan persepsi.
Tentunya, nasi sudah menjadi bubur. Kalau segala sesuatunya ingin berjalan lancar, segala bentuk UU atau peraturan harus didahului dengan induksi persepsional. Saya kira ini merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah dan semua pihak yang berkepentingan.
Yang terakhir, film The Social Dilemma juga menyimpulkan bahwa kalau Anda sudah berhasil mengubah persepsi melalui pemrograman psiko-sosial, maka manusia tidak lebih dari sebuah produk yang bisa Anda jual kepada siapa pun atau untuk.kepentingan apa pun. Contoh paling nyata adalah apa yang dilakukan Google dan kawan-kawan. Karena setiap hari kita menggunakan internet, maka Google bisa tahu tentang profil psikologis kita.
Bukankah setiap kita membuka laman internet secara otomatis disuguhi dengan informasi yang cocok dengan profil kita? Itu berati Google sedang menjual Anda kepada pihak yang mensponsori.
Bukankah itu juga yang terjadi ketika buruh dan pelajar digerakkan oleh pemimpin serikat buruh dan pemimpin aktivis? Kalau tidak, mestinya ada debat panjang di antara para buruh dan pelajar.
Bukankah sejatinya debat itu tidak pernah terjadi? Bahkan mungkin draf UU pun tak pernah dibaca. Selamat kita telah menjadi produk.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.