Opini
Islam dan Pekerja
Dalam Islam, upah adalah bentuk pemberian sesuai akad antara pekerja dan pemberi pekerjaan.
IMAAM YAKHSYALLAH MANSUR, Pimpinan Pesantren Alfatah Cileungsi Bogor; PROF DR WAHBAH AZ-ZUHAILI, Pakar Tafsir Asal Suriah, melakukan pembahasan mengenai QS al-Qashash: 26.
“Salah seorang dari kedua wanita (putri Nabi Syu’aib) itu berkata: "Wahai bapakku, ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja pada kita. Karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk bekerja ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (QS al-Qashash: 26).
Prof Wahbah menyatakan, ayat tersebut menerangkan tentang pemberian upah. Itu dibuktikan dalam dialog, salah satu dari perempuan (putri Nabi Syu’aib), dengan bapaknya, “Wahai bapakku, berikan Musa upah, agar dia dapat menggembalakan dan memberi minum ternak kita dengan sebaik-baik balasan karena kekuatan dan sifat amanahnya.”
Sementara, Prof Quraish Shihab menjelaskan pentingnya memilih pekerja yang memiliki sifat amanah lagi perkasa. Jika kedua sifat itu ada pada seseorang, sempurnalah pekerjaannya.
Setiap manusia membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan hasil demi memenuhi keperluannya. Bekerja merupakan ibadah mulia yang diperintahkan Allah SWT. Dengan memiliki pekerjaan, seseorang akan menjadi terhormat dan bermartabat.
Islam tak mengajarkan menjadi pengangguran, berdiam diri tanpa aktivitas bermanfaat.
Orang yang bekerja demi mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarga dikategorikan jihad fi sabilillah.
Islam tak mengajarkan menjadi pengangguran, berdiam diri tanpa aktivitas bermanfaat. Rasulullah bersabda, “Seseorang yang makan dari hasil usahanya sendiri itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Dawud Alaihi Salam makan dari hasil usahanya sendiri” (HR Al-Bukhari).
Ketika Muhammad remaja, ia merasa harus membantu meringankan beban pamannya. Maka, ia menjadi penggembala kambing. Upah yang ia peroleh diserahkan kepada pamannya.
Ketika Nabi Muhammad dewasa, ia ingin pekerjaan lain yang mendatangkan upah lebih besar. Maka, pamannya, Abu Thalib, menawarkkan untuk bekerja kepada Khadijah, pemilik usaha perdagangan yang menjual barang-barangnya hingga keluar kota.
Khadijah, wanita bangsawan itu, tahu reputasi Muhammad sebagai Al-Amin (orang yang tepercaya). Ketika Abu Talib meminta upah dua kali lipat untuk Muhammad, Khadijah tak menolaknya.
Pengupahan dalam Islam
Dalam Islam, upah (ujrah) adalah bentuk pemberian yang terdapat dalam akad kerja sama antara pekerja dan orang yang memberi pekerjaan. Upah merupakan apresiasi atas jasa yang telah diberikan karena telah menyelesaikan pekerjaannya.
Majikan berkewajiban memberikan upah kepada pekerja, sementara pekerja bertanggung jawab menyelesaikan tugas-tugasnya.
Islam mengajarkan, pemberian upah harus sesuai ketentuan dan kesepakatan. Dengan kata lain, tidak membayar upah adalah suatu kezaliman yang tidak disukai Allah.
Majikan berkewajiban memberikan upah kepada pekerja, sementara pekerja bertanggung jawab menyelesaikan tugas-tugasnya. Jadi, Islam memerintahkan mendahulukan kewajiban masing-masing.
Nabi Muhammad memberi contoh bagaimana memperlakukan pekerja. Pertama, menempatkan posisi pekerja seperti keluarga agar derajatnya setara. Nabi bersabda, “Saudara kalian adalah pekerja kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian” (HR Al-Bukhari).
Kedua, meringankan pekerjaannya. Para pengusaha yang bisa membantu meringankan pekerjaan mereka, itu amal saleh yang mulia. Rasulullah SAW bersabda: “Apa yang kamu ringankan dari pekerjaan pembantumu, bagimu pahala di neraca timbanganmu” (HR Ibnu Hibban).
Ketiga, memaafkan jika melakukan kesalahan. Para pekerja umumnya tidak ingin berbuat salah. Namun, jika mereka melakukan kesalahan karena ketidaktahuannya, kita diminta bersabar dan memaafkan.
Seorang sahabat mengadu kepada Rasulullah, “Pelayanku berbuat keburukan dan kezaliman." Lantas Nabi Muhammad SAW menjawab, “Kamu harus memaafkannya setiap hari 70 kali.” (HR Al-Baihaqi).
Nabi Muhammad bersabda, “Jangan memukul budak perempuanmu hanya karena dia memecahkan barang pecah belahmu. Sesungguhnya setiap barang ada waktu ajalnya seperti ajalnya manusia” (HR At-Thabrani).
Poinnya, majikan harus mencegah agar pekerja tidak mengulangi kesalahan yang sama. Caranya bisa dengan memberi tahu letak kesalahannya, memberi pelatihan, menyekolahkan, dan lainnya.
Keempat, jangan bersikap kasar. Nabi Muhammad bersabda, “Jangan memukul budak perempuanmu hanya karena dia memecahkan barang pecah belahmu. Sesungguhnya setiap barang ada waktu ajalnya seperti ajalnya manusia” (HR At-Thabrani).
Sahabat Anas bin Malik pernah menjadi pembantu Nabi Muhammad SAW selama sembilan tahun. Anas berkisah,” Suatu hari beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam tidak mau berangkat, tapi batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikannya.”
Ketika aku melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain di pasar, aku tergoda dan bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullah memegang tengkukku. Aku lihat beliau dan Rasul tertawa. Beliau bersabda, “Hai Anas, berangkatlah seperti yang aku perintahkan.” Aku menjawab, “Ya, saya pergi sekarang.”
Rasulullah juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya. Beliau pernah memiliki pembantu beragama Yahudi. Suatu ketika, pembantunya itu sakit keras. Nabi menjenguknya dan duduk di samping kepalanya.
Beliau mengajak anak itu masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, meminta pendapat.
Si bapak mengatakan, “Taati Abul Qosim (panggilan Nabi).” Dia pun masuk Islam. Setelah itu, ia meninggal. Nabi lalu mengucapkan, “Segala puji bagi Dzat yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR Al-Bukhari).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.