Kabar Utama
Gugatan UU Cipta Kerja Mulai Masuk MK
Naskah UU Cipta Kerja rencananya diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada Rabu (13/10).
JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan telah menerima dua berkas pengajuan permohonan uji materi Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurut MK, kendati naskah UU Ciptaker belum ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diberi nomor, gugatan tetap dapat diproses.
"Ya nggak apa-apa, diproses saja sesuai prosedur dan hukum acara," ujar Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono, kepada Republika, Selasa (13/10).
Permohonan uji materi UU Ciptaker tersebut diajukan oleh Dewa Putu Reza dan Ayu Putri selaku pekerja dengan nomor tanda terima 2034/PAN.MK/X/2020. Mereka memberi kuasa kepada Seira Tamara Herlambang dan Zico Leonard D Simanjuntak.
Kemudian, permohonan kedua diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) dengan nomor tanda terima 2035/PAN.MK/X/2020. Ketua Umum DPP FSPS Deni Sunarya dan Sekretaris Umumnya Muhammad Hafiz mewakili gugatan UU Ciptaker di MK. Pihak-pihak penggugat tersebut belum berhasil dihubungi Republika hingga semalam.
Melalui permohonannya, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri meminta agar MK menyatakan Pasal 59, Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 79 Ayat (2) huruf b dan Pasal 78 Ayat (1) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara, pemohon dari DPP FSPS menyoal Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Ciptaker. Pasal 81 angka 15 mengubah ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait PKWT.Tak dijelaskan draf mana yang digunakan sebagai landasan gugatan tersebut.
Padahal, sejak mula diajukan, sedikitnya beredar tiga draf RUU dan UU yang isinya berbeda. Ada versi usulan pemerintah setebal 1.028 halaman, versi yang beredar setelah sidang paripurna pada 5 Oktober setebal 905 halaman, dan yang beredar pada Senin (12/10) setebal 1.035 halaman.
Draf usulan dan draf sidang paripurna berbeda secara signifikan substansinya. Sejumlah redaksional dalam versi 1.035 halaman juga berbeda dengan versi 1.028 halaman. Pada Selasa (13/10), pihak DPR melansir versi 812 halaman yang berbeda format kertasnya dengan versi 1.035 namun sama isinya.
Menurut Fajar, jika UU Ciptaker sudah ditandatangani presiden dan diberi nomor, pemohon dapat menyertakannya dalam proses perbaikan permohonan. "Sepanjang masih dalam rentang waktu perbaikan permohonan, bisa saja," kata dia.
Fajar Laksono mengatakan, pihak yang mengajukan perkara ke MK berarti memercayakan sepenuhnya kepada MK untuk mengadili. Menurut dia, apapun putusan uji materi terhadap UU Ciptaker kelak, semua pihak harus mentaati dan menghormatinya. "Jangan kalau putusan MK tak sesuai harapan, terus mengatakan atau menuding yang tidak-tidak kepada MK," ujar Fajar.
Ia menegaskan, MK akan memproses perkara sesuai ketentuan hukum acara dengan persidangan yang bersifat transparan atau semua pihak dapat mengakses persidangan. "Pastikan publik turut memonitor jalannya persidangan sekiranya betul akan diajukan perkara ke MK," kata Fajar.
Serahkan ke presiden
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengatakan, naskah Undang-Undang Cipta Kerja rencananya diserahkan ke Presiden Joko Widodo pada Rabu (13/10) setelah disempurnakan dari segi format penulisan. "Sehingga nanti pada saat resmi besok Undang-Undang Cipta Kerja dikirim ke Presiden, dalam hal ini sebagai kepala pemerintahan, maka secara resmi undang-undang ini menjadi milik publik," ujar Azis di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (13/10).
Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, RUU itu disahkan menjadi undang-undang oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Ia mengeklaim, tidak ada substansi dalam UU Cipta Kerja yang diubah oleh DPR. Pihaknya hanya memperbaiki format penulisan, beberapa di antaranya seperti jenis huruf, margin, atau perbaikan dari salah ketik. "Mengenai jumlah halaman, itu adalah mekanisme pengetikan dan editing tentang kualitas dan besarnya kertas yang diketik," ujar Azis.
Terkait perbedaan jumlah halaman dari naskah UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat, Azis mengatakan hal ini terjadi karena adanya perbedaan jenis kertas antara yang disempurnakan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dan yang sudah difinalisasi. "Proses pengetikannya di Kesetjenan menggunakan legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang," ujar politikus Partai Golkar itu.
Proses pengetikannya di Kesetjenan menggunakan legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan-ketentuan dalam undang-undangAZIZ SYAMSUDDIN, Wakil Ketua DPR
Sehingga, menurutnya, naskah final UU Cipta Kerja adalah yang berjumlah sebanyak 812 halaman. "Hal-hal ini perlu kami sampaikan untuk menyampaikan klarifikasi supaya tidak membingungkan khalayak dan masyarakat secara luas," ujar Azis.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai beragam versi naskah UU Cipta Kerja yang beredar di publik bukanlah kebetulan. "Ketidaktersediaan naskah valid yang resmi di ruang publik tampaknya akan memudahkan DPR dan pemerintah untuk mengontrol substansi yang mereka inginkan tetap tercantum dalam naskah final yang akan langsung diundangkan nanti," kata Lucius kepada Republika, Selasa (13/10).
Lucius juga menganggap, sulitnya publik mengakses naskah final UU Cipta Kerja dikhawatirkan membuat pemerintah dengan mudahnya menuduh penolak UU Cipta Kerja sebagai penyebar hoaks atau informasi sesat. "Ini sih tampaknya akan jadi pilihan aman bagi DPR dan pemerintah yang menginginkan penolakan publik atas substansi RUU Ciptaker tak disampaikan melalui aksi massa, tetapi melalui jalur judicial review," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai, inkonsistensi UU Cipta Kerja menodai proses legislasi. "Inkonsistensi naskah RUU Ciptaker pasca pengesahan adalah kejahatan konstitusi, juga pelanggaran berat terhadap proses legislasi," kata Dedi Kurnia Syah kepada Republika, Selasa (13/10).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.