Nasional
Ratusan Massa Aksi Masih Hilang
Ratusan orang yang dinyatakan hilang itu diduga masih ditahan oleh polisi.
SURABAYA -- Ratusan orang yang terlibat aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dikabarkan masih belum diidentifikasi. Sementara, kepolisian di berbagai daerah telah menangkap lebih dari 1.000 orang sejak unjuk rasa pertama pada Selasa (6/10). Sebagian dari jumlah itu telah dipulangkan.
Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasa (Kontras), Andy Irfan mengatakan, sebanyak 204 orang hilang dalam aksi di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.
"Sepanjang (Kamis) malam hingga kini ada 204 orang yang ditahan atau hilang atau belum teridentifikasi. Sebagian teridentifikasi di Polda dan Polres, sebagian belum teridentifikasi. Kami telah berkomuniksi dengan Polda. Kami akan lakukan upaya pendampingan hukum secara gratis," ujar Andy di Surabaya, Jumat (9/10).
Kontras, kata Andy, mengirimkan tim pemantau lapangan di Malang dan Surabaya saat aksi pada Kamis (8/10). Menurut dia, kerusuhan yang terjadi di beberapa titik di Surabaya dan Malang terjadi karena pendekatan polisi yang represif dan penggunaan kekuatan berlebihan. Kekerasan akan mereda apabila polisi lebih menggunakan pendekatan persuasif dan memberi ruang yang luas bagi massa aksi.
"Adalah wajar masyarakat menolak Omnibus Law karena memang problematikanya dari awal hingga akhir penuh persoalan. DPR secara cepat mengesahkan RUU ini, ada banyak penolakan dari masyarakat, mahasiswa, dan sebagainya," ujar Andy. Seharusnya, kata dia, aparat tidak kemudian membatsi ruang bicara yang menjadi hak masyarakat.
Kepala Bidang Humas Polda Jatim, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko mengungkapkan, pihaknya mengamankan 634 orang massa aksi menolak UU Cipta Kerja di Surabaya dan Malang. Mereka diklaim kedapatan merusak fasilitas umum dan melawan petugas.
"Di Surabaya insiden yang terjadi di depan Gedung Grahadi dan lokasi lainnya sebanyak 505 orang, dan di Malang juga ada 129 orang. Total untuk kejadian di Surabaya dan Malang sebanyak 634 orang," ujar Trunoyudo di Surabaya, kemarin.
Kepala Polda Jatim Irjen Fadil Imran mengaku akan memulangkan ratusan massa aksi. "Setelah dilakukan pendataan dan pemeriksaan, adik-adik pelajar, mahasiswa, dan teman-teman buruh yang kemarin turun ke beberapa titik untuk melakukan unjuk rasa akan saya pulangkan," ujar Fadil, kemarin.
Fadil meyakini, mereka yang melakukan pembakaran fasilitas umum dan melawan petugas bukan merupakan bagian dari pelajar, mahasiswa, maupun buruh. Mereka yang merusak memang sejak awal berniat menimbulkan kerusuhan.
"Saya sayang dengan Kota Surabaya, saya sayang dengan Jawa Timur. Saya kira kita semua tidak ingin Kota Surabaya yang indah ini dirusak oleh orang-orang yang memang tidak mau bertanggung jawab," kata Fadil.
Sementara, Polda Metro Jaya mengamankan total 1.192 pedemo di Jakarta dan sekitarnya sejak Senin (5/10) hingga Jumat dini hari. Polisi mengeklaim mereka berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa, buruh, dan kelompok anarkho. "Semua 1.192 orang ini sudah kita ambil keterangan, sudah kita rapid test (Covid-19)," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, kemarin.
Hasil pemeriksaan sementara, 285 orang terindikasi terlibat pidana seperti melawan petugas, perusakan fasilitas umum hingga membawa senjata tajam. "Ini yang masih kita lakukan pendalaman, makanya saya belum menyatakan tidak, dia itu sebagai tersangka, tidak," ujar Yusri.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM telah membentuk tim investigasi terkait kekerasan dalam aksi unjuk rasa tersebut. Namun, ia belum bisa memberikan data pasti berapa orang yang hingga saat ini masih hilang atau belum diidentifikasi.
"Di Polda Metro Jaya ribuan orang ditahan dan sebagian sudah dipulangkan. Masih ada yang diproses. Di Jatim ratusan sudah dilepaskan, Jateng juga sama. Jadi kalau bicara angka yang hilang berapa, belum bisa disimpulkan begitu," kata Taufan, kemarin.
Ia menduga orang yang dinyatakan hilang tersebut masih ditahan oleh polisi. "Kami juga sudah kontak Kapolri dan berbagai Kapolda minta akses dibuka kepada keluarga dan pengacara serta membebaskan mereka, " katanya.
Kekerasan terhadap jurnalis
Sejumlah pegiat jurnalistik dan advokasi hukum mendesak Polri mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap sejumlah wartawan yang meliput unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Belasan jurnalis dilaporkan mendapat serangan dari kepolisian saat meliput unjuk rasa serentak di berbagai daerah pada Kamis (8/10).
"Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Ciptaker," ujar Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani dalam keterangan pers, Jumat (9/10). AJI juga mendesak Kepala Polri Jenderal Idham Azis membebaskan jurnalis dan pers mahasiswa yang ditahan.
AJI Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menegaskan, penganiayaan serta penghalangan kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap UU Pers. Konstitusi telah menjamin kemerdekaan pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
"Anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan," ungkap Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin.
Ade menerangkan, kekerasan terhadap jurnalis oleh polisi kerap berulang. Dalam aksi #ReformasiDikorupsi tahun lalu, aparat juga mengganyang wartawan yang meliput. Namun, hingga kini perkara itu tidak rampung meski kasus itu telah dilaporkan.
Sedikitnya, tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri di Jakarta pada Kamis. AJI dan LBH Pers memperkirakan jumlah ini bisa bertambah karena mereka masih menelusuri dan memverifikasi data.
Jurnalis CNNIndonesia.com, Tohirin, mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika meliput demonstran yang ditangkap dan dipukul di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. "Beruntung saya pakai helm," kata Thohirin.
Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, juga menjadi sasaran polisi. Saat merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran, oknum polisi merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu hingga tangan dan pelipisnya memar. "Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya," ujar Peter.
Saat merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran, oknum polisi merampas kameranya.
Ponco Sulaksono, jurnalis dari merahputih.com turut jadi sasaran amukan polisi. Dia ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui dibekuk aparat. Ponco ditahan di Polda Metro Jaya. Aldi, jurnalis Radar Depok yang merekam Ponco keluar dari mobil tahanan ikut diciduk polisi.
Polisi tak segan pula menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Pers mahasiswa dari berbagai kampus; Berthy Johnry, Syarifah, Amalia, Ajeng Putri, Dharmajati, dan Muhammad Ahsan ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.
Di Kota Bandar Lampung, setidaknya empat jurnalis mengalami kekerasan sepanjang demonstrasi pada Rabu dan Kamis. Para jurnalis itu mendapat serangan secara fisik maupun verbal.
Menanggapi itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengaku masih akan memeriksa bagaimana kekerasan itu terjadi. "Kita akan cross check dulu kejadiannya seperti apa, tapi setiap pengamanan kami sudah memberi imbauan dan mengingatkan semua agar tidak terjadi salah paham," kata dia dalam konferensi pers, Jumat (9/10).
Argo mengakui, polisi mestinya memberi perlindungan pada jurnalis yang bertugas. "Tapi karena situasinya chaos dan anarkistis, anggota juga melindungi dirinya sendiri," Argo mengeklaim.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.