Hingga kini, Putra terus bersyukur ke hadirat Illahi lantaran kehidupannya kian berkah setelah merasakan nikmat iman dan Islam. | DOK IST

Oase

Putra: Tergugah Ayat Toleransi

Putra mulai mempelajari Islam sejak menjadi mahasiswa perantauan di Sumatra.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Putra lahir dan dibesarkan di Jakarta. Pria yang kini berusia 36 tahun itu mulai mengenal Islam sejak dirinya merantau ke luar Jawa.

Awalnya, ia sempat menempuh pendidikan menengah di Medan, Sumatra Utara. Satu tahun berselang, atas saran keluarganya, ia pun hijrah ke luar Jambi untuk meneruskan studi pada sebuah perguruan tinggi. Di sana, pemuda tersebut tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak ayah.

Sang kakek berlatar belakang Tionghoa, sedangkan neneknya berasal dari Banjar, Kalimantan Selatan. Kemajemukan dalam keluarga besar Putra tidak hanya perihal suku etnis, tetapi juga agama. Sebagai contoh, kakek dan neneknya merupakan umat Konghucu, sedangkan kedua orang tuanya menganut Katolik. Adapun adik dan kakak dari ayahnya merupakan Muslim.

Sejak kecil, ia sesungguhnya sudah merasakan nuansa keberagaman tersebut. Akan tetapi, baru ketika menjadi mahasiswa perantauan dirinya mulai mengalami perbedaan persepsi. Dalam arti, ia merasa lebih nyaman saat berada di rumah anggota keluarga yang Muslim. Entah mengapa, ia tak dapat menjelaskannya lebih jauh.

Di lingkungan kampus maupun sekitar rumah kakek-neneknya, cukup banyak orang Islam. Tak sedikit kawannya yang juga memeluk Islam, baik secara taat maupun biasa saja. Putra berinteraksi baik dengan mereka semua. Bahkan, menurutnya, pergaulan mereka yang Muslim lebih terlihat penuh kebaikan, apalagi ketika datang saatnya beribadah.

"Jujur saja, saya tertarik dengan Islam karena ibadah di Islam yang berbeda. Sering kali, itu membuat hati saya terasa lebih damai melihatnya," ujar Putra saat menuturkan kisahnya kepada Republika, beberapa waktu lalu.

 
Jujur saja, saya tertarik dengan Islam karena ibadah di Islam yang berbeda. Sering kali, itu membuat hati saya terasa lebih damai melihatnya.
 
 

Malahan jauh sebelum dirinya mengucapkan dua kalimat syahadat, Putra memandang Islam sebagai agama yang sesuai fitrah manusia. Sebab, ajaran Islam mengenai keesaan Tuhan jauh lebih logis, lebih diterima akal sehat. Ia juga mengenal sedikit tentang berbagai ibadah dalam agama ini. Misalnya, puasa, zakat, dan sedekah. Semuanya memiliki makna sosial, tidak hanya ibadah yang diperuntukkan bagi individu.

Selama merantau di Jambi, Putra mulai menunjukkan ketertarikannya pada Islam. Ia tidak hanya membaca berbagai buku tentang agama ini. Sebab, aplikasi suatu ajaran baru akan terlihat dari pengikutnya.

Oleh karena itu, ia pun memperhatikan bagaimana orang-orang Islam di sekitarnya mengamalkan agama ini dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, ketika menyambangi rumah kerabatnya yang Muslim, Putra sempat mengamati bagaimana mereka shalat atau mengaji. Khusus ketika Ramadhan tiba, ibadah puasa dan tarawih yang mereka lakukan juga tak lepas dari pengamatannya.

Ia terus melakukan hal tersebut sambil merenungi dirinya sendiri: apakah sekarang ia lebih yakin pada Islam, sehingga siap untuk mengikrarkan diri sebagai Muslim?

Tatkala waktu luang, ia tak jarang membaca berbagai buku tentang ibadah dalam Islam. Banyak di antaranya yang menggunakan bahasa dan aksara Arab. Saat itu, ia merasa sangat kesulitan untuk memahami bahasa tersebut, dan juga tak begitu tertarik menguasainya.

photo
Sebelum akhirnya memeluk Islam, Putra sempat mempelajari agama ini melalui berbagai buku, termasuk terjemahan Alquran. Ia secara khusus mengagumi makna toleransi dalam Islam. - (DOK IST)

Ayat toleransi

Terjemahan Alquran menjadi salah satu bacaan favorit Putra pada saat dirinya masih mempelajari Islam. Karena tidak bisa berbahasa Arab, baginya, lebih praktis membaca kitab suci Islam bila sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, ia dapat memahami maksud dari lantunan ayat-ayat suci yang sering didengarkannya kala menginap di rumah saudara atau kawannya yang Muslim.

Suatu kali, ia membolak-balik buku terjemahan Alquran itu. Secara tak sengaja, Putra mendapati suatu ayat yang menurutnya sangat menarik. Itu adalah surah al-Baqarah ayat 256. Artinya, "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."

Karena tertarik pada ayat tersebut, Putra pun berusaha mendalaminya secara lebih lanjut. Dari sebuah buku, ia mengetahui bahwa ayat itulah salah satu fondasi utama ajaran Islam tentang menghormati keyakinan umat agama lain. Ayat itu juga diulas dalam buku karya seorang ulama terkenal, Prof Quraish Shihab.

 
Ia mengetahui bahwa ayat itulah salah satu fondasi utama ajaran Islam tentang menghormati keyakinan umat agama lain.
 
 

Dalam Tafsir al-Mishbah, dikemukakan bahwa kalimat tidak ada paksaan dalam menganut agama bermakna, mengapa ada paksaan, padahal Tuhan tidak membutuhkan sesuatu? Ya, mengapa ada paksaan? Toh sekiranya Tuhan menghendaki, niscaya manusia dijadikan-Nya satu umat beragama saja.

Selanjutnya, ayat ke-256 dari surah al-Baqarah itu juga ditafsirkan sebagai penegasan akidah Islam. Seseorang yang telah menyatakan dirinya sebagai Muslim, maka secara otomatis dirinya terikat dengan tuntutan-tuntutan yang ada di dalam ajaran agama tersebut. Dalam terminologi Islam, ketaatan itu diistilahkan sebagai takwa.

Dan, takwa menjadi tolok ukur kemuliaan seseorang dalam pandangan Tuhan. Artinya, tidak ada kelebihan antara orang yang satu dan lainnya atas dasar kekayaan, keturunan, kebangsaan, dan lain sebagainya. Semua orang sama. Yang membedakan hanyalah ketaatannya kepada Tuhan.

Setelah membaca penjelasan demikian, Putra saat itu semakin memandang ajaran Islam sebagai masuk akal. Berangkat dari pemahaman itu, ia semakin bersemangat untuk mempelajari agama ini. Kali ini, perhatiannya terarah pada sosok pembawa Islam itu sendiri, yakni Nabi Muhammad SAW.

Ada banyak kisah beliau, sebagaimana tercatat dalam buku-buku biografi. Bagaimanapun, satu yang paling disukai Putra ialah cerita yang bermuatan nilai-nilai toleransi. Ternyata, rasul yang diutus sesudah Nabi Isa AS itu telah mencontohkan banyak perbuatan toleran di sepanjang hayatnya.

Siapa yang bisa menyangkal adanya Piagam Madinah saat Muslimin hidup berdampingan dalam damai dengan kaum Yahudi, Nasrani, hingga orang-orang pagan? Putra terkesan pada kisah itu, seperti yang disampaikan dalam buku karya Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad SAW: Konstitusi Negara Tertulis yang Pertama di Dunia. Menurut dia, dokumen bersejarah itu menegaskan Rasulullah SAW sebagai pemimpin yang menghargai kerukunan hidup antarumat beragama.

Dalam buku yang sama, juga disinggung tentang beberapa aspek yang memang tidak dapat ditawar-tawar. Misalnya, akidah. Surah al-Kafirun ayat 1-6 menegaskan tentang prinsip yang harus selalu dipegang teguh umat Islam. Satu kalimat yang menarik perhatian Putra, yakni "Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku." Ia merasa, ayat terakhir dari surah al-Kafirun itu adalah rumusan universal, yang bahkan bisa diterapkan umat agama-agama lain.

 
Ia merasa, ayat terakhir dari surah al-Kafirun itu adalah rumusan universal, yang bahkan bisa diterapkan umat agama-agama lain.
 
 

Dengan menghargai perbedaan sembari tetap berprinsip teguh, manusia dapat hidup dalam kedamaian. Sama seperti yang dirasakannya sendiri dalam lingkungan keluarga besarnya yang multiagama. Putra merasa, apa yang selama ini dianggapnya sebagai asas hidup justru sudah disebutkan dalam Alquran lebih dari 14 abad lalu.

Berislam

Akhirnya, saat-saat yang menentukan itu tiba. Pada Juni 2005, Putra memantapkan hatinya untuk memeluk Islam. Dengan dibimbing seorang ulama besar Jambi, KH Nasution, ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya. Sebagai saksinya, jamaah majelis taklim dan sejumlah anggota keluarga serta sahabat terdekatnya. Mereka semua hadir dalam prosesi itu dengan perasaan suka cita.

Usai bersyahadat, Putra terus berupaya istikamah untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa. Dia bersyukur, beberapa anggota keluarganya yang Muslim sangat mendukungnya. Mereka juga dengan sabar terus mendampingi dirinya untuk belajar ibadah, terutama shalat dan mengaji Alquran.

Butuh waktu cukup lama bagi Putra untuk lancar mengucapkan bacaan shalat. Untuk hal ini saja, ia memerlukan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Saat mengenang masa itu, ia mengucapkan syukur kehadirat Illahi.

Untuk berpuasa, Putra akui, dirinya mampu menjalani ibadah tersebut tanpa kendala yang berarti. Dia merasa tidak berat tatkala menjalaninya. Sebab, ia sebelum menjadi mualaf pun sudah mengalami nuansa Ramadhan bersama dengan kawan-kawannya yang Muslim.

Ajaran Islam menggariskan perbedaan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram. Semenjak menjadi Muslim, Putra juga tak merasa terbebani dengan ketentuan itu. Sebab, sejak kecil dirinya tidak terlalu suka dengan makanan dan minuman yang diharamkan dalam Islam, semisal babi atau minuman keras.

Satu masalah mengganjal hatinya. Usai resmi memeluk Islam, Putra masih belum berani untuk mengungkapkan keputusannya ini kepada kedua orang tua. Apalagi, waktu itu dirinya masih sebagai mahasiswa perantauan, yang sangat mengandalkan kiriman dari ayah dan ibu. Komunikasinya dengan mereka pun tetap lancar meskipun harus sembunyi-sembunyi dalam menjalankan ibadah.

Putra memberi tahu mereka tentang keislamannya begitu ia lulus kuliah. Awalnya, mereka menyatakan kecewa, tidak bisa menerima kenyataan bahwa buah hatinya telah beralih iman. Ayahnya memprotes, mengapa Putra baru mengabarkan sekarang setelah dirinya menjadi mualaf.

Dengan tutur kata yang lembut, Putra terus meyakinkan kedua orang tuanya. Keputusannya memeluk Islam terbit dari kesadarannya pribadi. Ini merupakan suatu pilihan hati dan pikirannya. Lambat laun, mereka pun menerimanya.

 
Betapa bahagianya Putra ketika kegusaran hati orang tuanya mereda.
 
 

Betapa bahagianya Putra ketika kegusaran hati orang tuanya mereda. Dan, kini hubungannya dengan mereka terus terjalin erat. Umpamanya, ketika hari raya Islam, mereka mengucapkan selamat kepada anaknya itu. Begitu pula ketika hari raya agama ayah dan ibunya berlangsung. Seisi rumah tetap harmonis meskipun penghuninya berlainan agama.

Putra kini sudah menikah. Ia menapaki karier di birokrasi. Sekarang, ayah dua orang anak itu menjabat sebagai kepala subbagian tata usaha pada Kantor Badan Pertanahan Kerinci, Provinsi Jambi.

Ia merasakan banyak keberkahan setelah dirinya memeluk Islam. Entah dalam perkara karier, keluarga, hingga hubungan bermasyarakat. Baginya, inilah salah satu bukti nikmatnya iman dan Islam.

"Alhamdulillah, saya mendapatkan berkah yang berlimpah dari Allah SWT. Keluarga yang sempurna dengan istri dan dua anak. Karier yang terus membaik dan keberkahan lainnya, ucap dia.

Satu hal yang hingga saat ini belum kesampaian adalah beribadah haji dan umrah. Ia berharap, suatu hari dapat mengajak keluarganya untuk menjadi tamu Allah di Tanah Suci.

Dia juga mensyukuri hidayah Allah yang datang kepada neneknya. Sebelum mengembuskan nafas terakhir, neneknya itu telah resmi berislam. Keadaannya berbeda dengan sang kakek yang belum sempat merasakan keindahan Islam.

Saat ini, Putra terus berproses untuk lebih baik lagi dalam beribadah, khususnya membaca Alquran. Di lingkungan tempat tinggalnya, biasanya ada pengajian rutin yang dikhususkan untuk bapak-bapak.

Putra pun selalu berusaha untuk meluangkan waktu agar dapat mengikutinya. Diakui Putra, dengan kesibukan kerja saat ini dia tidak bisa mengikuti suatu komunitas pengajian rutin.

 
Alhamdulillah, saya mendapatkan berkah yang berlimpah dari Allah SWT.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat