Nasional
Lembaga Pemerintah Didorong Belanja Media
Belanja media dari institusi pemerintah juga harus didorong.
JAKARTA – Kebijakan afirmatif bagi keberlangsungan industri media mutlak diperlukan di masa pandemi Covid-19 saat ini. Di masa gempuran informasi yang bertubi-tubi, hanya kerja jurnalistik yang dinilai bisa menjadi harapan dari masyarakat untuk mendapat informasi yang sehat dan bebas hoaks.
Anggota Komisi IV DPR Ahmad M Ali mengatakan, program-program pemerintah untuk menangkal hoaks dan literasi media berada diambang kegagalan jika tidak ada upaya afirmatif terhadap industri media. Iklan komersil yang biasa dapat menyokong kerja jurnalistik makin kecil diperoleh industri media lantaran di masa pandemi, banyak perusahaan yang memotong belanja media dan memilih pindah ke media sosial.
“Bisa dibayangkan kalau teman-teman jurnalis tidak bisa lagi dipekerjakan oleh industri media. Hoaks, disinformasi, dan lainnya akan merajalela. Kerja jurnalis itu harus didukung pemerintah, lembaga-lembaga pemerintah, kementerian dan lainnya harus punya kebijakan afirmatif belanja media,” kata Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Ahad (27/9).
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem itu mengatakan, industri pers pengeluarannya sama dengan industri lain. Dia butuh belanja mulai dari energi yang dipakai, kertas, biaya kantor dan gudang, sampai biaya riset dan inovasi.
Sialnya, kata dia, industri media tidak bisa bekerja serta merta hanya untuk mencari untung seperti industri komersil lainnya. “Dari situlah panggilan tanggung jawab pemerintah karena pers merupakan bagian dari pilar demokrasi,” ujar Ali.
Menurut Ketua Fraksi Nasdem ini, beban biaya yang dikeluarkan perusahaan media untuk menghasilkan produk jurnalistik yang baik semestinya dapat diringankan oleh pemerintah. Hal tersebut perlu dilakukan demi menyokong produk informasi yang kredibel bagi publik.
“Keringanan pajak, biaya listrik, menghilangkan PPn kertas, dan keringanan lainnya pada level korporasi perlu diberikan. Selain itu, perlu juga diberikan insentif bagi pekerja pers yang menjadi kewajiban perusahaan seperti iuran BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, dan pajak penghasilan pribadi. Itu semua penting diberikan agar kerja pers berkualitas yang diharapkan bisa juga dicapai,” ujar dia.
Ali menegaskan, robohnya industri media akan menjadi bahaya bagi Indonesia. Menurutnya, produk publik yang dihasilkan dari kerja jurnalistik menurutnya tidak boleh dibiarkan bertarung sendiri.
“Pemerintah sudah tepat menciptakan situasi di mana demand terhadap industri media tetap bertahan dan membesar dengan kampanye antihoaks dan penyesatan informasi. Perlu juga dengan dari sisi suplai, belanja media dari institusi pemerintah juga harus didorong. Toh juga banyak kebijakan dan rencana strategis pemerintah yang perlu disosialisasikan,” kata dia.
Pemerintah sebelumnya memastikan akan memberikan sejumlah insentif bagi industri media. Ada tujuh poin kesepakatan terkait insentif dalam pertemuan tersebut. Pertama, pemerintah akan menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi kertas koran. Kedua, pemerintah mengupayakan mekanisme penundaan atau penangguhan beban listrik bagi industri media.
Ketiga, pemerintah akan menangguhkan kontribusi BPJS Ketenagakerjaan selama 12 bulan untuk industri pers dan industri lainnya lewat keputusan presiden (keppres). Keempat, pemerintah akan mendiskusikan dengan BPJS Kesehatan terkait penangguhan pembayaran premi BPJS Kesehatan bagi pekerja media.
Kelima, pemerintah memberikan keringanan cicilan pajak korporasi di masa pandemi dari yang semula turun 30 persen jadi 50 persen. Keenam, pemerintah membebaskan pajak penghasilan (PPh) karyawan yang berpenghasilan hingga Rp 200 juta per bulan. Ketujuh, pemerintah akan menginstruksikan semua kementerian mengalihkan anggaran belanja iklan mereka, terutama iklan layanan masyarakat, kepada media lokal.
Anggota Dewan Pers Ahmad Djauhar mengaku belum mengetahui pasti kapan insentif tersebut akan disalurkan. “Kami di Dewan Pers berharap pemerintah bisa secepatnya karena banyak di antara rekan-rekan perusahaan pers yang sudah megap-megap memang, tidak peduli itu perusahaan pers besar, perusahaan kecil apalagi,” kata Djauhar.
Dia membandingkan dengan negara Skandinavia yang dinilai menaruh perhatian besar terhadap peran media sebagai pilar keempat demokrasi. “Bagi mereka kalau media tidak ada ya otomatis demokrasi dikhawatirkan collapse, nah sayangnya di sini hal itu tidak menjadi concern sangat besar gitu lho,” ujarnya.
Djauhar menilai, pemerintah justru lebih memilih membantu buzzer dan influencer. Pemerintah, kata dia, seharusnya tidak melupakan peran media. Bagaimana pun peran media masih sangat besar.
“Selama ini media sudah membuktikan bahwa media lah yang tidak asal membela yang bayar. Kan kalau buzzer, influencer itu kan ya tergantung pesanannya seperti apa,” ujar dia.
Djauhar mengatakan, Dewan Pers telah berkoordinasi dengan Kemenkominfo terkait media seperti apa yang nantinya memperoleh insentif dari pemerintah. Jangan sampai media yang tidak terdaftar di Dewan Pers ikut menerima bantuan tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.