Komunitas
Mereka yang Merana Saat Pandemi
Pandemi membuat seni pertunjukan hanya tampil sebatas virtual.
“Apa yang bisa dilakukan oleh seniman pada saat seperti ini?”
Pertanyaan itu dilontarkan oleh seniman teater boneka Papermoon Puppet Theatre di DI Yogyakarta, Maria Tri Sulistyani.
Saat webinar diskusi "Seni Pertunjukan dan Pembatasan: Beberapa Eksperimen", seniman yang akrab disapa Ria Papermoon itu bertutur tentang aktivitasnya bersama tim Papermoon saat awal pandemi Covid 19 merebak di Indonesia.
Ria menyebut dia dan tim Papermoon harus mengalami karantina terlebih dahulu selama dua pekan karena mereka baru saja datang dari Jepang. Hal ini pun mengingatkan dia pada saat satu bulan awal Papermoon berdiri. Kala itu dia harus vakum karena adanya bencana gempa bumi di Yogya tahun 2006 lalu.
Karena dia dan timnya telah mengalami hal yang tak jauh berbeda dengan saat mereka harus vakum, Ria teringat langkah apa saja yang harus dilakukan saat ini sebagai seorang seniman. Mereka seolah kembali ke masa awal, titik nol ketika ada alasan mengapa mereka mendirikan teater boneka.
“Dari situ kami jalan pelan-pelan untuk membuat program untuk menghadapi ini semua dan agar 'mesinnya' tetap panas, dan kami tidak memikirkan lagi tentang nominal (honor),” ujar Ria.
“Pemanasan mesin” itu, menurut dia, ditujukan agar mereka tetap bisa berkreasi pada masa pandemi seperti sekarang ini. Pasalnya, pada masa ini mereka benar-benar tak bisa berangkat untuk berkarya di berbagai festival seperti dahulu.
Setidaknya ada beberapa program yang telah dijalankan oleh Papermoon pada masa pandemi ini. Di antaranya program serial secara virtual bertajuk "In This Time" yang berisikan wawancara 18 seniman teater boneka di seluruh dunia. “Mulai 1 April, kami mewawancara satu hari satu seniman dan ini sudah ada 18 seniman dari seluruh penjuru dunia,” kata Ria.
Pada kesempatan itu, Ria menanyakan kabar dari setiap seniman dan bagaimana kondisi seni pertunjukan di negara mereka masing-masing. Ria mengaku beberapa dari mereka merasa memiliki harapan setelah dia melakukan wawancara secara virtual kepada mereka.
Program berikutnya adalah program bertajuk "Story Tailor". Program ini menantang pemain teater boneka untuk menjahit tema-tema cerita yang dipilih oleh penonton secara personal.
Teknisnya, penonton yang berada di rumah memesan tema-tema cerita kepada Papermoon. Selanjutnya, seniman membuat pertunjukan teater boneka berdasarkan pemilihan tema-tema cerita dari penonton. Mereka pun merekam pertunjukan teater boneka itu.
Setelah direkam, pertunjukan itu dikirimkan ke penonton pemesannya itu melalui Whatsapp. Ria mengatakan, pertunjukan sengaja dikirim melalui Whatsapp dan bukan melalui kanal besar seperti Youtube karena dia ingin pertunjukan itu lebih bersifat personal.
Setidaknya, ada 100 orang yang memesan tema pertunjukan pada program "Story Tailor" yang diadakan dua kali itu. Setiap rekaman pertunjukan berdurasi sekitar tiga hingga lima menit lamanya. “Di masa pandemi ini, aku merasa orang-orang yang berada di rumah sebenarnya masih bisa melihat sebuah karya, dan seniman pun seharusnya masih bisa membuat karya itu. Program ini pun mengangkat tema imajinasi yang lebih luas dari sekadar ruangan,” ujar Ria.
Beragam program
Selain itu, beberapa program lainnya pengiriman boneka wayang kepada tenaga kesehatan sebagai bentuk apresiasi terhadap mereka yang merupakan garis depan dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Program lainnya adalah sebuah lokakarya membuat boneka secara daring yang dilakukan oleh Papermoon.
Papermoon pun menyediakan bahan dan material boneka yang dikirim ke setiap peserta lokakarya sehingga mereka tidak perlu keluar rumah untuk mencari bahan.
Ada pula program "Pupa Puppet Lab", yaitu Papermoon menyediakan wadah berupa studio untuk seniman yang ingin belajar berkarya dengan seni teater boneka. Papermoon mendampingi sekitar tiga kelompok saja, mulai dari membuat ide cerita sampai ke pementasan.
“Jadi, program-program ini ditujukan memang agar mesinnya panas. Biar kita enggak lupa cara bikin boneka, cara bikin pertunjukan. Karena, menurut saya itu yang paling penting untuk diselamatkan,” kata Ria.
Saat ini, Ria mengatakan, Papermoon tengah membuat sebuah karya baru yang hanya bisa disajikan di layar. Karya baru ini didasarkan, dengan beralih ke daring, artinya audiens yang ada pun tak berbatas ruang.
"Saya bisa menonton tanpa perlu datang ke sana, dan ini artinya buat saya pribadi ini waktu untuk menanamkan konsep yang kita punya. Kelak, orang jadi tahu kalau dia itu berkesenian karena daring itu sebuah jendela yang bisa dilihat dan diakses banyak orang," kata Ria.
Tantangannya adalah memperhitungkan kondisi audiens atau penonton daring. Pasalnya, ketika penonton berhadapan dengan layar, tubuh penonton tidak melulu siap seperti mereka datang ke pertunjukan teater yang sebenarnya. Mereka memiliki fisik dan mental yang dipersiapkan untuk menonton teater.
Pada pertunjukan daring pun audiens yang bosan bisa dengan mudah melewati pertunjukan yang sedang ditonton. "Suasana audiens seperti apa sih yang sedang kita bayangkan untuk menonton karya kita? Itu yang menurutku tantangannya sampai situ," ujar dia.
Ria pun mencoba untuk memosisikan diri sebagai penonton sehingga dia bisa eksplorasi lebih lanjut mengenai karyanya, apakah bagus untuk ditonton atau apakan enak untuk ditonton.
Karya baru ini akan dipentaskan secara virtual di kanal yang sangat terbatas pula pada sebuah festival literasi. "Ada limit audiens yang kami bayangkan. Ini bukan karya yang diunggah di kanal Youtube, dan seat terbatas," kata Ria.
Setelah pentas, dia akan mengadakan percakapan langsung antara audiens dan seniman-seniman teater boneka. Pasalnya, Ria menyadari, interaksi seniman dan penonton sangat penting ketika membawa karya ke layar virtual.
Merananya Sang Pemuja Panggung
Cerita berbeda datang dari seorang seniman koreografi atau koreografer, Yola Yulfianti. Dia mengaku masih putus asa dalam mencari ide tentang bagaimana berkarya pada masa pandemi ini. “Secara personal aku putus asa karena aku pemuja panggung. Kenapa aku memilih untuk menjadi koreografer ya karena itu,” kata Yola dalam kesempatan yang sama.
Dia merasa, pada masa pandemi ini seni koreografi harus melakukan rekonstruksi ulang. Pasalnya, menurut Yola, ada keintiman yang hilang ketika dia harus menarik diri dari panggung karena anjuran untuk tak berpentas di panggung.
Yola sempat mengadakan sebuah acara virtual dengan mengundang rekannya sesama koreografer dari India untuk berbagi teknik kontemporer. Namun, ada rasa intim yang hilang ketika acara berlangsung.
Menurut Yola, banyak teman penari dan juga koreografer merasa kehilangan keakraban dan kenikmatan aktivitas ragawi saat tak bisa pentas lagi. Bahkan, pada saat latihan secara virtual pun, keintiman itu sangat terasa hilang.
"Pada saat setelah latihan virtual kami merasa masih enggak enak. Ya karena kami itu kerja pakai tubuh. Kalau latihan nyata, kalau ada yang salah, kita bisa pegang kakinya, tangannya. Ada interaksi demikian," kata dia.
Namun, ketika hal itu dibawa ke virtual, interaksi itu pun hilang. Menurut Yola, seni pertunjukan secara virtual memang terlihat tidak terbatas. Pada kenyataannya malah terbatas karena hanya dua dimensi.
Seni koreografi yang dilakukan oleh Yola yang biasa dipentaskan di panggung memiliki dua sensasi yang digabung menjadi satu. Sensasi itu adalah sensasi tampil secara langsung di panggung dan tampil dengan interaksi penonton secara langsung.
Karena pandemi ini, Yola pun tak bisa melakukan eksplorasi terhadap karya-karya yang biasa dia bawakan di panggung seperti pembawaan dua sensasi tersebut. Dengan membawanya ke ranah virtual, dia menyebut seni koreografi harus dibangun dari awal lagi.
Namun, di satu sisi dia merasakan ada hal positif yang muncul di tengah pandemi ini. Banyak seniman tari saat ini yang menjadi produktif dari hal-hal sederhana yang bisa menjadi pelipur lara mereka. Misalnya, hanya dengan menari di depan kamera, kemudian mereka mengunggahnya di platform media sosial.
“Dari situ kita juga bisa menunjukkan eksistensi kita. Pernah di awal-awal pandemi aku juga diajak untuk bikin acara saweran online, eksplorasinya juga menjadi luar biasa. Di situ aku juga menemukan banyak nama yang aku enggak tahu terus muncul," kata Yola.
Menurut dia, adanya situasi yang tak pasti ini pada akhirnya memaksa seniman koreografi untuk berdampingan dengan panggung virtual. Namun, persoalannya belum ada pakem-pakem yang standar untuk membuat pentas koreografi secara virtual.
Misalnya, pada panggung nyata, ada titik-titik yang tidak menguntungkan dalam panggung, yang bisa dihindari oleh penari. Lalu, ketika beralih ke panggung virtual, masih belum ada standar tertentu yang menunjang apiknya panggung virtual itu. "Ini yang kita harus temukan karena mau tidak mau kita akan bersinggungan terus. Ini akan jadi perubahan," kata Yola.
Manfaatkan Media Sosial
Empat bulan masa karantina di rumah menghadirkan refleksi tersendiri bagi seniman teater boneka Papermoon Puppet Theatre di DI Yogyakarta, Maria Tri Sulistyani, yaitu tentang bagaimana cara menggunakan media sosial selama ini.
"Jadi, jujur saja, kita di dunia seni, media sosial itu hanya kanal untuk publikasikan poster yang kita sendiri tidak peduli itu dilihat orang atau tidak. Itu akui sajalah," kata perempuan yang akrab disapa Ria itu.
Sebelum adanya media sosial, banyak orang belum sepenuhnya bergantung kepada ponsel dan masih melakukan aktivitas nyata mereka. Namun, saat ini pola kehidupan itu berubah. Setiap hari banyak orang pasti melakukan segala sesuatu melalui layar ponsel.
"Mau tidak mau selama empat bulan ini kita dikejar untuk memahami bahwa kita punya potensi di medium yang sudah bertahun-tahun kita pakai ini. Mau enggak mau kita menyadari untuk bisa menggunakan ini dengan cara yang lain," kata dia.
Kegunaan media sosial saat ini tak hanya untuk mengunggah swafoto atau foto poster promosi acara, tetapi digunakan oleh banyak orang untuk belajar secara daring.
Bagi Papermoon, berkarya melalui media sosial atau secara daring menjadi sebuah pilihan baru. Meskipun demikian, dia tak mau menganggap anak tiri atau anak emas pada salah satunya, yaitu berkarya di panggung nyata atau berkarya secara daring.
"Seniman harus berpikir, kita berangkat dari kesederhanaan ruang. Caranya, bikin karya yang menekan biaya produksi. Dengan yang kita punya, bisa jadi apa ya? Itu seperti kembali ke dasar. Artinya, kita bikin karya kembali ke esensi yang dasar," kata Ria.
Seniman koreografi atau koreografer, Yola Yulfianti, pun sepakat. Sebagai seniman, mereka harus tetap berdampingan dengan panggung virtual. Namun, seniman pasti akan memilih apakah panggung virtual atau panggung nyata untuk menampilkan ekspresi mereka.
"Panggung virtual itu berinteraksi dengan warganet yang amat beragam. Ada komunikasi yang beda kepada mereka. Misalnya, kita kalau main lebih dari satu menit, mereka akan berpindah ke platform lain, dan itu tantangannya," kata Yola.
Sebagai koreografer, dia memiliki ide untuk bisa mengeksplorasi seni koreografi. Menurut dia, tarian merupakan refleksi kehidupan masyarakat.
Sementara itu, pada masa pandemi ini, perilaku kehidupan masyarakat pun mengalami perubahan menjadi lebih tertib. Artinya, ada koreografi ulang yang terjadi di tengah masyarakat. "Koreografer perlu melakukan observasi koreografi pada masyarakat yang kemudian ini bisa menjadi inspirasi untuk sebuah karya. Untuk seniman-seniman tertentu, masa pandemi kali ini bisa jadi masa inkubasi," kata Yola.
Terus Bereksperimen
Saat pandemi, tak dimungkiri berbagai upaya dilakukan agar geliat berkesenian seperti seni pertunjukan tak lantas terhenti. Direktur Jenderal Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid mengatakan, sebenarnya ada beberapa kegiatan alternatif yang dilakukan pada seni pertunjukan pada masa pandemi. Meskipun demikian, dia tak memungkiri ada cukup banyak keterbatasan ketika seni pertunjukan mulai dibawa ke ranah daring.
"Kita coba bikin pentas daring. Sekarang jujur saja itu mulai jenuh. Semua orang tampil secara daring. Banyak orang tampil di kanal-kanal media sosial. Oleh karenanya, tantangan yang sekarang tidak cukup hanya memindahkan panggung ke daring," kata Farid dalam kesempatan yang sama.
Hubungan antarelemen dalam seni pertunjukan pun, menurut dia akan berubah. Misalnya, hubungan seniman dengan publik pun akan berubah, termasuk bagaimana cara penonton memberikan apresiasi berupa uang untuk menonton pertunjukan.
Beberapa tempat pertunjukan pun mulai tutup karena tak lagi mampu membayar seniman untuk tampil. Jika mereka harus tampil, bangku-bangku pun akan diberi jarak sehingga hal ini akan memengaruhi jumlah penonton.
Pandemi Covid-19 tak dimungkiri memang membatasi orang-orang untuk berinteraksi. Oleh karena itu, ada banyak kemungkinan aturan yang tengah dipelajari guna menyediakan protokol yang aman untuk membuat seniman tetap berkarya.
"Hanya, tantangan utamanya adalah yang berhubungan dengan publik. Jadi, nanti mode produksinya pasti akan mengalami pergeseran. Yang paling esensial adalah hubungan antara seniman dan publiknya. Terus terang ini kita yang belum tahu caranya," kata dia.
Sisi baiknya, menurut Farid, banyak seniman yang mulai mengeksplorasi seni pertunjukan yang dipertontonkan secara daring. Misalnya, seni pertunjukan yang dikolaborasikan dengan grafis karena medianya adalah digital.
Saat ini ada tantangan untuk berhadapan dengan publik yang lebih luas pada saat masuk ke publik daring. Bahkan, jikalau mau jujur, mungkin dalam lautan audiens, seniman-seniman ini bukanlah siapa-siapa.
Audiens baru, menurut dia, semestinya harus dibentuk. Pasalnya, audiens tidak akan terbentuk dengan sendirinya karena kenal seniman ternama. "Dampak pandemi ini buat saya ya menyadari bahwa sebenarnya dalam lautan audiens ini kita ini masih berjuang untuk mendapatkan tempat. Ini yang harusnya menjadi tantangan," kata Farid.
Kesempatan untuk berkarya, dia menambahkan, masih sangat luas meskipun di tengah situasi pandem. Perubahan-perubahan memang tidak terhindarkan, sementara seniman harus bersiap masuk dalam perubahan itu.
Oleh karena itu, menurut Farid, investasi yang saat ini dibutuhkan adalah saluran internet yang bisa diandalkan. Pasalnya, saluran internet yang baik bisa memastikan akses pada kebudayaan.
"Artinya ada fasilitas yang cukup untuk penonton bisa menikmati kesenian. Apalagi, kalau sudah streaming ini harus seamless. Bayangkan kalau misalnya menari, sedang asyik memperhatikan detail gerak, tapi ternyata patah-patah karena sambungan internet yang buruk. Pasti kan tidak enak menikmatinya," kata dia.
Terkait pemulihan ke depan, hal mendasar yang menjadi pertanyaan kunci adalah di mana letak kesenian sebenarnya. Jika seni begitu penting dan esensial di tengah penonton, harus dicarikan jalan agar seni memang terus ada.
Bagi kurator Art Center Komunitas Salihara, Nirwan Dewanto, rekan-rekan yang bergerak di seni rupa saat ini pun tak sabar menyelenggarakan pameran meskipun mereka paham bahwa penonton sedikit. Pasalnya, ada protokol kesehatan yang harus diterapkan.
Namun, hal itu sebenarnya tak menjadi masalah. “Memang watak dan tampilan seni rupa beda dengan seni pertunjukan. Seni rupa kapan saja dan barangnya tetap sama. Seni pertunjukan tidak demikian. Ditonton oleh satu orang dan lima orang itu berbeda hubungan emosionalnya," kata Nirwan.
Namun, karena pandemi ini akan berlangsung lama, seniman pun harus bereksperimen dengan presentasi bentuk daring. Kemungkinan kedua, pertunjukan bisa hadir, tetapi dengan protokol yang ketat.
Nirwan pun menilai semua pihak berkepentingan untuk menyelenggarakan modus baru dari seni pertunjukan. "Kita ini harus coba-coba terus, bereksperimen bagaimana cara bertahan hidup, bagaimana kita bisa maju dalam situasi keterbatasan ini," kata Nirwan.
Kita ini harus coba-coba terus, bereksperimen bagaimana cara bertahan hidup, bagaimana kita bisa maju dalam situasi keterbatasan ini.
Nirwan Dewanto
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.