Opini
Pilkada dan Bansos
Kita pun menginginkan perhelatan pilkada yang transparan, akuntabel, dan berkualitas.
MUHTADI, Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fidikom UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan, pemilihan kepala daerah (pilkada) diselenggarakan pada 9 Desember 2020 secara serentak.
Dalam setiap pilkada, ada variabel bantuan sosial (bansos) yang jika tidak diawasi membuat kontestasi tak fair play. Bansos sering dimanfaatkan calon dari pejawat untuk menjaring suara pemilih. Nonpejawat tak bisa melakukan hal sama.
Hal menarik, anggaran belanja bansos selalu naik bila ada prosesi pilkada di suatu wilayah kota/kabupaten dan provinsi.
Riset Ritonga dan Alam pada 2010 serta Yuwani pada 2011 menemukan peningkatan alokasi belanja hibah, bansos, dan bantuan keuangan pada daerah yang menyelenggarakan pilkada serta terdapat calon pejawat pada APBD tahun anggaran 2009-2010.
Dalam kaitan di atas, pilkada ikut berkontribusi atas naiknya anggaran bansos. Ini perlu dicermati, apakah kenaikan anggaran bansos itu murni karena tanggung jawab pemerintah atas rakyatnya atau ada kepentingan politis dari calon pejawat.
Fenomena naiknya bansos dan calon pejawat, dapat dilihat dari perspektif politik pork barrel, yakni upaya calon pejawat untuk mendapatkan alokasi dana dan membawanya kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Dana ini sebagai insentif bagi konstituennya dengan tujuan mereka kembali memilihnya pada periode selanjutnya (Farejohn 1974).
Pertama kali, istilah pork barrel ini digunakan John Farejohn untuk mengungkapkan fenomena serupa yang terjadi pada Kongres di AS (Scholl 1985).
Pada intinya, berdasarkan politik pork barrel, bansos dapat dikatakan sebagai metode calon pejawat untuk mengalokasikan anggaran berupa bansos dan membawanya ke warga di daerah pemilihan agar mengikat mereka untuk memilihnya kembali.
Agar pilkada tak diwarnai penyimpangan perihal pemanfaatan bansos, perlu pengawalan dari semua pihak.
Karena itu, ada norma hukun terkait ini, yakni Pasal 71 dan Pasal 73 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang menjelaskan, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Mengawal bansos
Agar pilkada tak diwarnai penyimpangan perihal pemanfaatan bansos, perlu pengawalan dari semua pihak. Sejatinya, bansos untuk menyejahterakan masyarakat bukan instrumen politis untuk memengaruhi pemilih tentang pilihannya.
Mengawal bansos dapat dilakukan dengan, pertama, menegakkan norma hukum terhadap calon pejawat yang melakukan penyimpangan dalam pemanfaatan bansos.
Kedua, kekuatan masyarakat sipil berkoalisi untuk mengedukasi para pemilih. Bansos adalah hak mereka sebagai kewajiban dari negara kepada warganya. Pemilih tidak berkewajiban memilih calon atau kandidat tertentu yang menyalurkan dan memberikan bansos.
Ini perlu dikampanyekan koalisi masyarakat sipil dengan beragam cara dan metode agar pemilih sadar dengan pilihannya dalam pilkada tersebut, yakni memilih kandidat berkualitas, berintegritas, dan amanah.
Ketiga, koalisi masyarakat sipil agar mengawal politik anggaran bansos untuk taat terhadap peraturan perundang-undangan dan nilai publik, serta tidak didominasi self interest para pejabat publik yang berujung pada patologi politik anggaran.
Jika penganggaran bansos lebih mementingkan kepentingan pribadi sosok berkuasa, akan terjadi penyelewengan anggaran dan korupsi.
Berdasarkan catatan, pada kurun 2007-2012 terdapat 120 kasus dugaan penyelewengan dana bansos yang sudah dan sedang ditangani aparat penegak hokum, dengan total kerugian negara mencapai Rp 411 triliun (Kusumadewi dan Ngazis 2015).
Indikator kekacauan akuntabilitas itu ditandai adanya penyimpangan dan korupsi dalam pemberian dan pelaksanaan bansos tersebut.
Agar hal di atas tidak terjadi pada pilkada sekarang ini, politik anggaran bansos wajib mengacu dan berpedoman pada dimensi transparency, liability, controllability, responsibility, dan responsiveness.
Dimensi ini agar benar-benar menjadi landasan dalam implementasi politik penganggaran bansos serta pelaksanaannya di lapangan. Sehingga hal ini dapat mencegah terjadi kebocoran dan penyimpangan dana bansos, terutama pada musim pilkada ini.
Jika mengabaikan dimensi-dimensi di atas dalam politik anggaran, bansos berdasarkan teorinya Jonathan GS Koppel (2005) akan terjadi multiple accountabilities disorder, yakni kekacauan akuntabilitas.
Artinya, implementasi pemberian bantuan sosial tidak berpijak pada akuntabilitas yang sudah disyaratkan untuk memenuhi transparansi, responsif, dan sesuai tata kelola pemerintahan yang bersih. Dengan begitu, terjadi kekacauan akuntabilitas dan transparansi karena keluar dari standar dan norma yang ada.
Indikator kekacauan akuntabilitas itu ditandai adanya penyimpangan dan korupsi dalam pemberian dan pelaksanaan bansos tersebut.
Ketiga hal ini sebagai mekanisme mengawal bansos agar tidak terjadi penyimpangan dan politisasi pada masa pilkada oleh calon pejawat. Kita pun menginginkan perhelatan pilkada yang transparan, akuntabel, dan berkualitas. Semoga.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.