Internasional
UEA dan Israel Beda Narasi Soal Aneksasi
Demi normalisasi, Israel hanya menyebut menangguhkan rencana aneksasi.
ABU DHABI -- Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel memiliki narasi berbeda tentang rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Israel menyebut, akan menangguhkan aneksasi, sedangkan UEA mengeklaim normalisasi akan menghentikan rencana aneksasi.
"Bandingkan diri Anda dengan dua versi; penangguhan perpanjangan kedaulatan, bukan penghentian aneksasi tanah Palestina," kata Sekretariat Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat pada Selasa (1/9) lalu.
Palestina dengan cermat menemukan ketidakpastian hal tersebut melalui keterangan pers trilateral yang dirilis Israel, UEA, dan Amerika Serikat (AS) pada Senin (31/8). Delegasi Israel dan AS telah mengunjungi UEA untuk menuntaskan kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik.
Pascapertemuan, ketiga negara merilis keterangan pers dalam dua bahasa, yakni Arab dan Inggris. Dalam siaran pers berbahasa Inggris disebutkan bahwa kesepakatan UEA-Israel telah "menyebabkan penangguhan rencana Israel untuk memperpanjang kedaulatannya".
Namun, dalam versi berbahasa Arab yang dipublikasikan Emirates News Agency dikatakan bahwa "kesepakatan (dengan UEA) telah menyebabkan rencana Israel mencaplok tanah Palestina dihentikan". Perbedaan diksi "penangguhan" dan "penghentian" yang tercantum dalam dua keterangan pers berbeda bahasa itu pun disoroti warga Palestina.
Kepala perencanaan kebijakan dan kerja sama internasional di Kementerian Luar Negeri UEA Jamal Al-Musharakh mengatakan, perbedaan kata-kata itu hanyalah masalah terjemahan. "Jika ada yang bisa memikirkan sinonim yang lebih baik daripada eeqaf (berhenti) untuk menangguhkan, tolong beri tahu saya. Salah satu prasyarat dimulainya hubungan bilateral adalah penghentian aneksasi," ujar Musharakh.
Anggota Komite Eksekutif PLO Hanan Ashrawi berpendapat, perbedaan diksi dalam keterangan pers trilateral itu merupakan upaya "lidah bercabang" untuk memengaruhi opini publik di dunia Arab. "Saya tidak berpikir ini adalah masalah penerjemahan. Saya pikir, ini adalah cara yang tidak jujur untuk mencoba memanipulasi wacana," katanya.
Ashrawi menilai, terjemahan berbahasa Arab adalah cara menyesatkan opini publik Arab dengan mengatakan bahwa rencana pencaplokan telah dihentikan. "Padahal, sebenarnya mereka menangguhkannya," ucapnya.
Gedung Putih menolak mengomentari komunikasi trilateral tersebut. Namun, sumber AS yang mengetahui masalah tersebut mengatakan, Gedung Putih tidak bertanggung jawab atas terjemahan berbahasa Arab.
Saat Israel dan UEA mencapai kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik pada 13 Agustus lalu, Presiden AS Donald Trump mengatakan, "aneksasi sudah tak mungkin dilakukan". Sedangkan, Duta Besar AS untuk Israel David Friedman mengatakan, kata "menangguhkan" dipilih dengan hati-hati oleh semua pihak.
"Tangguhkan menurut definisi, cari, artinya penghentian sementara. Sekarang sudah tidak ada lagi, tapi tidak selamanya," ujarnya.
Selama perjalanannya ke UEA awal pekan ini, penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner turut menggunakan kata "menangguhkan". "Israel telah setuju untuk menangguhkan aneksasi tersebut untuk menangguhkan penerapan hukum Israel di daerah tersebut untuk sementara waktu. Namun, di masa depan, ini adalah diskusi yang saya yakin akan dilakukan. Tapi tidak dalam waktu dekat," kata Kushner kepada Emirates News Agency.
Intelijen UEA dan Israel masuk Yaman
Laman Anadolu Agency edisi Rabu (2/9) melaporkan, Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi telah membiarkan intelijen Israel masuk ke Yaman. Hal ini diungkap Issa Salem bin Yaqut, kepala suku di Socotra, Yaman.
Bin Yaqut menuding Saudi dan UEA menghancurkan keindahan dan ciri khas lingkungan Pulau Socotra yang langka dan mendirikan kamp di tengah kebisuan dunia internasional yang mengerikan.
Pekan lalu, laman di AS bernama South Front melaporkan kedatangan delegasi UEA dan Israel ke Socotra. Laman yang khusus dalam riset militer dan strategis ini menyebutkan, UEA dan Israel berencana mendirikan fasilitas intelijen dan militer di pulau tersebut. Paparan South Front sejalan dengan keterangan di laman resmi JForum milik komunitas warga Yahudi di Paris.
Sejumlah ahli yang dikutip Anadolu Agency menyebutkan, pangkalan intelijen itu diperkirakan untuk mengawasi Cina, Iran, dan Pakistan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.