Konsultasi Syariah
Bagaimana Hukum Syariah atas Praktik Buyback?
Buyback diperkenankan dengan syarat buyback itu jadi pilihan bukan kewajiban.
DIASUH OLEH DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum wr wb. Saya mau jual rumah beberapa unit dengan harga murah (jauh di bawah harga pasar). Untuk memberikan keyakinan kepada investor, saya memberikan pilihan kepada pembeli untuk saya buyback (beli kembali) dengan harga pasar satu tahun kemudian. Bagaimana pandangan syariah terhadap transaksi seperti ini, Ustaz? -- Endi, Depok
Waalaikumussalam wr wb.
Buyback tersebut diperkenankan dengan syarat buyback itu jadi pilihan bukan kewajiban. Dengan demikian, bagi pembeli itu boleh menjual kepada orang lain atau juga boleh kepada penjual pertama. Ketentuan ini menjadi syarat agar terhindar dari jual beli ‘inah yang dilarang. Dalam transaksi bai’ al-‘inah seseorang menjual dengan syarat dibeli kembali.
Kesimpulan ini bisa dijelaskan dalam pemaparan berikut:
Pertama, jika melihat praktik dari buyback adalah menjual dan membeli kembali. Untuk memastikan apakah praktik ini sesuai dengan prinsip syariah ataukah tidak, salah satunya adalah dengan memastikan tidak ada transaksi yang dilarang. Transaksi terlarang yang paling dekat dengan ini adalah transaksi bai’ al-‘inah. Oleh karena itu, akan dijelaskan dalam poin berikutnya tentang apa itu bai’ al-‘inah, kemudian penerapannya dalam buyback sehingga bisa disimpulkan apakah buyback ini kategori bai’ al-‘inah atau tidak.
Kedua, bai’ al-‘inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai dengan kesepakatan akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai. Misalnya, si A (yang membutuhkan dana tunai) membeli HP dari si B seharga 5 juta secara tidak tunai dengan syarat akan menjual kembali kepada si B dengan harga Rp 4,5 juta secara tunai sehingga dengan transaksi ini si A mendapatkan dana tunai Rp 4,5 juta dan si B mendapatkan dana tidak tunai Rp 5 juta dan barang akan kembali kepada si B.
Ketiga, menurut mayoritas ulama, bai al-‘inah termasuk transaksi yang dilarang sesuai dengan hadis Rasulullah SAW. Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila manusia kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi (sibuk bertani sehingga melalaikannya dari berjihad) dan meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah SWT akan menurunkan musibah dan tidak akan mengangkatnya kembali kecuali mereka kembali (komitmen) kepada agama mereka.” Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar. (Musnad Imam Ahmad, al-Muktsirin min ash-Shohabah, Bab Musnad Abdullah ibnu Umar al Khattab ra, No 4593).
Menurut para ulama, sesungguhnya, motivasi pembeli dalam transaksi ini bukan barang, melainkan uang. Oleh karena itu, calon penjual menawarkannya untuk membeli barang yang dimiliknya dengan harga tidak tunai dan kemudian dibelinya kembali dengan tunai.
Sebagian digunakan untuk memenuhi angsuran pertama terhadap penjual dan sisanya untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan, penjual mengambil selisih harga beli dan jual.
Hal ini yang ditegaskan oleh mayoritas sahabat, tabi’in, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Al Mirginani (ulama mazhab Hanafi) menjelaskan, “Barang siapa yang membeli seorang hamba sahaya seharga 1.000 dirham, baik tunai ataupun tidak tunai, setelah diterimanya, kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual (pertama) seharga 500 sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai, maka akad jual beli yang kedua itu hukumnya tidak boleh.” (al-Marghinani, Fath al Qadir, 5/207).
Keempat, berdasarkan pemaparan ini, karakteristik utama bai’ al-‘inah adalah rekayasa, di mana si pembeli dan penjual bersepakat bahwa setelah dibeli akan dijual kembali, tidak ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership) yang ada hanya lafaz ijab qabul atau yang tertera di dalam kertas, tetapi sesungguhnya yang terjadi adalah kredit ribawi yang dipinjamkan nominalnya lebih kecil dari yang dibayarkan.
Oleh karena itu, jika yang terjadi seperti buyback, tetapi tidak dipersyaratkan untuk dijual kepada pemiliknya tetapi opsional, maka menurut saya ini bukan bai’ al-‘inah yang diharamkan seperti dalam hadis dan karakteristik utama tadi. Wallahu a'lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.