Prasasti beraksara lontara pada sebuah nisan di Makam Kampung Bugis Suwung Kota Denpasar, Bali. Hubungan toleransi antara komunitas Muslim dan penduduk tempatan di Bali sudah terbina sejak berabad-abad silam | DOK IST/Rochtri A Bawono

Tema Utama

Mulanya Dakwah Islam di Bali

Situs arkeologis dan teks babad memotret jejak interaksi masyarakat Bali dengan Islam.

OLEH MUHYIDDIN

Indonesia sering kali disebut sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Memang demikianlah faktanya hingga saat ini. Bagaimanapun, republik ini pada saat yang sama juga bineka. Alhasil, tidak semua daerah di Tanah Air memiliki penduduk yang mayoritasnya beragama Islam.

Di antara beberapa provinsi dengan minoritas umat Islam ialah Bali. Menurut pengajar ilmu arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana Rochtri Agung Bawono, sejarah interaksi Muslim dengan penduduk asli setempat dapat dilacak setidaknya sejak abad pertama Masehi.

Pada masa itu, Pulau Dewata sudah masyhur sebagai salah satu pelabuhan internasional di Asia Tenggara. Kapal-kapal yang berlayar ke sana bukan hanya datang dari dalam, melainkan juga luar nusantara, semisal India atau Cina.

"Itu pada awal (abad) Masehi sudah menunjukkan adanya suatu komunitas. Dan, dari bukti-bukti arkeologis terdapat sisa-sisa terkait dengan peninggalan. Yang menarik, ada asalnya itu dari India, Cina, bahkan Timur Tengah," ujar Rochtri kepada Republika, baru-baru ini.

Ia menjelaskan, berbagai kawasan arkeologis di Kabupaten Buleleng membuktikan adanya jejak perjumpaan masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa asing. Misalnya, situs pra-Hindu Pangkung Paruk di Kecamatan Seririt atau Desa Julah dan Desa Sembiran di Kecamatan Tejakula.

Di Pangkung Paruk, para arkeolog telah menemukan manik-manik berlapis emas yang diketahui berasal dari Persia (Iran). Sementara itu, sejumlah peneliti berhasil mengungkap prasasti yang bertarikh abad kesembilan atau ke-10 di Desa Julah. Pada artefak tersebut, lanjut Rochtri, terdapat keterangan mengenai macam-macam perahu yang pernah membuang sauh di Bali Utara.

Ia mengingatkan, dalam rentang abad kedelapan hingga ke-14 peradaban Islam umumnya berada pada zaman keemasan. Agama ini tentunya sudah menyebar jauh dari pusatnya di Jazirah Arab, seiring dengan arus migrasi para pelaut, pedagang, ulama, ataupun salik Muslim.

Bahkan, bila merujuk pendapat Prof Buya Hamka, telah datang utusan dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 M dan mereka sempat mengunjungi Kerajaan Kalingga. Maka dari itu, sangat mungkin jika sejumlah dai Islam telah menginjakkan kaki di Bali sejak abad kesembilan atau ke-10.

Rochtri mengutip riset seorang antropolog asal Swiss yang meneliti persentuhan Bali dengan Islam, yakni Brigitta Hauser-Schaublin. Dalam Bali Aga and Islam: Ethnicity, Ritual Practice, and `Old-Balinese' as An Anthropological Construct (2004), Hauser-Schaublin menunjukkan, Desa Sembiran mayoritasnya dihuni masyarakat Bali Mula atau Bali Aga (non-Javanized Hindu-Balinese) yang menganut animisme. Mereka sejak zaman prakolonial telah bersentuhan dengan para penganut agama tauhid, terutama dari kalangan saudagar Muslim yang berlabuh di pantai Bali Utara.

Bahkan, perempuan profesor itu memaparkan, ritual adat yang dilakukan orang-orang Bali Aga di sana diwarnai etika toleransi terhadap komunitas Islam. Sebagai contoh, dalam setiap upacara mereka mempersiapkan makanan yang tidak mengandung daging babi sebagai tambahan sesajen.

Kecenderungan tenggang rasa yang serupa juga ditemukan di Desa Julah. Rochtri menuturkan, dirinya pernah mengadakan penelitian lapangan di situs arkeologis tersebut. Salah satu temuannya, Tari Baris yang masih sering ditampilkan masyarakat setempat hingga saat ini di pura-pura. Ternyata kesenian khas tradisi lokal itu menampilkan adegan tokoh-tokoh Melayu Muslim.

Identitas Melayu Islam itu tampak dari penampilan beberapa penari pria yang memakai peci beserta sarung. Dalam tari tersebut, mereka dimunculkan sebagai sosok yang berjasa karena telah mengobati penduduk. Maka dari itu, lanjut akademisi Universitas Udayana tersebut, komunitas Muslimin dihormati masyarakat setempat bukan hanya sebagai pedagang, melainkan juga tabib.

photo
Hubungan toleransi antara komunitas Muslim dan penduduk tempatan di Bali sudah terbina sejak berabad-abad silam. Para pemeluk Islam dapat menjalankan ibadah dan kepercayaannya dengan tenteram di daerah berjulukan Pulau Dewata itu - (DOK REPUBLIKA/Ahmad Baraas)

Negeri Gelgel

Rochtri mengatakan, penyebaran Islam di Bali tak lepas dari riwayat Negeri Gelgel, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Klungkung. Menurut pendiri Forum Pemerhati Sejarah Islam (SPSI) itu, dakwah agama ini mulai berkembang secara signifikan di Gelgel sejak masa pemerintahan Dalem Ketut Ngalesir (1380-1460 M).

Berdasarkan catatan sejarah, raja pertama Gelgel itu pernah berkunjung ke ibu kota Majapahit untuk menghadiri suatu pertemuan agung. Seusai acara tersebut, Dalem Ketut Ngalesir dan seluruh pemimpin negeri bawahan Majapahit yang hadir bermohon diri. Sebelum beranjak pulang, raja Majapahit memberikan kepadanya sebanyak 40 orang pengawal.

"Yang menarik adalah dalam tradisi tutur masyarakat Gelgel, ke-40 orang ini adalah Muslim," ujar Rochtri.

Para pengawal tersebut, lanjut dia, akhirnya menetap di Bali. Raja Dalem Ketut menghadiahkan sebidang tanah kepada mereka. Sejak saat itu, para pemeluk Islam tersebut berbaur dengan penduduk setempat, sembari tetap memegang otonomi dalam menjalankan hukum-hukum syariat.

Mereka juga menikah dengan perempuan-perempuan Bali dan memiliki anak keturunan. Sampai sekarang pun wilayah Gelgel masih kuat akan nuansa keislaman. "Sekarang terbentuk kampung Islam Gelgel secara terpisah," kata Rochtri.

 
Sekarang terbentuk kampung Islam Gelgel secara terpisah.
 
 

Sejak 1480, Dalem Ketut turun takhta dan kedudukannya digantikan Raja Dalem Waturenggong. Babad Dalem menceritakan suatu kisah tentang kedatangan sejumlah utusan Muslim ke Gelgel. Mereka disebut-sebut berasal dari Makkah. Namun, beberapa ahli sejarah menduga, para mubaligh tersebut sesungguhnya dikirim dari Kesultanan Demak untuk berdakwah di Bali.

Dalem Waturenggong menerima rombongan delegasi itu dengan penghormatan yang baik. Akan tetapi, saat diajak untuk memeluk Islam sang raja menolaknya secara sopan.

"Raja Dalem Waturenggong menolak ajakan itu dengan halus. Kemudian, para utusan yang diperkirakan datang dari Demak itu pulang ke Jawa lagi," kata Rochtri.

Versi lain sebagaimana dijelaskan Indriana Kartini dalam artikelnya, Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim di Bali (2011) mengatakan, di antara rombongan pendakwah itu terdapat Ratu Dewi Fatimah. Perempuan ningrat Jawa itu mengajak Dalem Waturenggong untuk memeluk Islam dan bahkan bersedia menjadi istri jika raja Bali itu mengucapkan dua kalimat syahadat.

Bagaimanapun, upaya mengislamkan Dalem Waturenggong akhirnya menemui kegagalan. Sang pemimpin menolak secara halus ajakan perempuan ningrat tersebut dan rombongannya. Akhirnya Ratu Dewi Fatimah kembali ke Loloan (kini termasuk Kabupaten Jembrana), tempat pertama dirinya tiba di Pulau Bali. Setelah Muslimah itu wafat, para pengiringnya kembali ke Gelgel dan bermukim di sana.

Meskipun Dalem Waturenggong tidak sampai memeluk Islam, syiar agama ini tidak lantas meredup di Bali. Pada masa raja-raja Gelgel berikutnya, komunitas Muslim tetap melebur dan berinteraksi sewajarnya dengan penduduk setempat.

Memasuki abad ke-17, pertumbuhan komunitas Islam di Bali cenderung berkaitan dengan aktivitas perniagaan di pelabuhan-pelabuhan. Orang-orang Islam yang tinggal di pesisir Pulau Dewata umumnya berasal dari Bugis. Sebab, mereka memiliki banyak perahu yang bagus. Kedatangannya diperkirakan terjadi antara tahun 1618 dan 1640 melalui Sumbawa atau Lombok.

"Hampir semua pelabuhan di Bali itu ada komunitas-komunitas Islam pada awalnya," ujar dia menjelaskan.

Gelombang migrasi orang-orang Bugis itu berkenaan dengan takluknya Kerajaan Gowa terhadap Belanda. Sultan Hasanuddin (1631-1670) terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Sejak saat itu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) alias kompeni makin mendominasi perdagangan rempah-rempah di Sulawesi. Para pelaut Muslim Bugis yang menolak berhubungan dengan bangsa Eropa itu lantas pergi ke daerah-daerah lain, termasuk di antaranya Bali.

"Salah satu tujuan mereka adalah wilayah yang ada di Bali dan Nusa Tenggara. Jadi, kedatangan masyarakat Bugis ke Bali ini juga dipicu oleh kekalahan Sultan Hasanuddin terkait dengan Perjanjian Bungaya itu," kata dosen yang berdomisili di Denpasar itu.

 
Ritual adat yang dilakukan orang-orang Bali Aga di sana diwarnai etika toleransi terhadap komunitas Islam.
 
 

 

Tak Sekadar Berbaur

Sejarah kerajaan-kerajaan di Bali sangat lekat dengan masyarakat Hindu. Kendati demikian, bukti-bukti historis menunjukkan adanya kontribusi dari komunitas Muslim. Pakar arkeologi dari Universitas Udayana, Rochtri Agung Bawono, mengatakan, orang-orang Islam tidak sekadar berbaur dengan penduduk atau penguasa negeri setempat. Sebab, mereka juga ikut memajukan kehidupan lokal, utamanya dalam sektor perdagangan.

"Jadi, pengertian dari membela Bali ini adalah bahwa mereka turut memajukan komunitas-komunitas kerajaan yang ada di sana, di mana mereka tinggal," ujar Rochtri dalam diskusi virtual bertajuk Sejarah Islam dan Hubungannya dengan Masyarakat Hindu Bali yang digelar beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, Bali pada zaman prakolonial pernah terbagi menjadi beberapa kerajaan, seperti Badung, Jembrana, Karangasem, dan Bangli. Menurut akademisi tersebut, kala itu masyarakat Islam yang bermukim di Pulau Dewata aktif dalam bidang perniagaan, khususnya di kawasan pesisir.

Penguasa setempat membolehkan mereka untuk mendirikan permukiman di sana. Aktivitas ekonomi yang mereka jalankan lantas turut meningkatkan pendapatan raja lokal melalui pajak dan lain sebagainya. Apalagi, Bali sudah terkenal sebagai salah satu bandar internasional di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, raja-raja Bali cukup mengandalkan pemasukan dari bea pelabuhan, semisal di Loloan Jembrana dan Serangan Denpasar.

"Sampai sekarang, kalau kita lihat di sana masih ada beberapa komunitas Bugis Muslim yang tinggal," ujar Rochtri.

Tak hanya dalam konteks ekonomi, para pemeluk agama Islam bahkan ikut menjadi pasukan tempur di bawah komando kerajaan-kerajaan Bali. Dalam sejarah Islam di Jembrana, misalnya, ada seorang sosok Muslim Bugis, yakni Daeng Nahkoda. Menurut Rochtri, tokoh itu sangat tekenal utamanya di tengah masyarakat Jembrana.

Daeng Nahkoda mulanya memimpin pasukan Kerajaan Wajo yang melarikan diri. Sesampainya di Bali, ia mengikrarkan kesetiaan kepada I Gusti Ngurah Pancoran (1620- 1697 M). Ketika terjadi peperangan, ia dengan gagah berani bersama dengan para pengikutnya tampil membela kerajaan yang dipimpin I Gusti Ngurah Pancoran.

Selain itu, ada juga tokoh Muslim lainnya, yakni Syarif Abdullah bin Yahya Alqadri. Ia merupakan seorang panglima perang dari Kesultanan Pontianak yang ikut berjuang di Jembrana sekitar 1799 M.

"Kemudian, ketika terjadi peperangan dengan Belanda, Syarif Abdullah ini membela Jembrana. Ia adalah pasukan perang yang tangguh," ujar Rochtri.

Tak ketinggalan, komunitas Muslimin di Kampung Bugis Serangan, Denpasar. Menurut arkeolog tersebut, mereka juga turut berkontribusi dalam memperkuat benteng pertahanan kerajaan. Pasukannya diposisikan di Pulau Serangan sebagai tameng penangkal musuh utamanya yang datang dari laut.

Komunitas Muslim asal Madura juga mewarnai negeri itu. Rochtri mengatakan, mereka umumnya bertempat tinggal di Kampung Jawa Denpasar. Pada masa kerajaan Hindu Bali, para penganut agama Islam itu turut menjaga wilayah tersebut yang sangat strategis karena berfungsi sebagai gerbang menuju Puri-- tempat tinggal kalangan bangsawan Bali.

Selain dua kampung tersebut, lanjut Rochtri, masih banyak kantong-kantong komunitas Muslimin lainnya di Bali. Mereka tercatat pada masa lalu ikut melindungi seluruh warga Puri, termasuk raja dan keluarganya, dari kemungkinan serangan musuh.

"Jadi, periode Islam membela Bali ini dapat dilihat dari sisi ekonomi dan dari sisi pertahanan. Walaupun masih banyak sisi yang lain sebenarnya," katanya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat