Komunitas
Ini Dia Fenomena Alam Paling Ditunggu
Komet dan hujan meteor mewarnai sepanjang 2020.
Sepanjang 2020 ini, kita mengalami sejumlah fenomena alam yang menarik mulai dari gerhana hingga kehadiran ‘Supermoon’. Satu fenomena alam yang tidak kalah menarik adalah hujan meteor. Pada awal Januari lalu, kita sudah mengalami hujan meteor Quadrantid. Ternyata hujan meteor Quadrantid termasuk hujan meteor yang besar. Saat peristiwa itu terjadi, kita bisa melihat lebih dari 100 ‘bintang jatuh’ setiap jam.
Sedangkan pada Juli hingga Agustus, kita siap-siap menyaksikan hujan meteor Delta Aquarid dan Perseid. Saat fenomena alam itu terjadi setiap meteor yang melintas tampak berkilau dan meninggalkan jejak cahaya.
Nah, mungkin ada yang bertanya-tanya, bagaimana hujan meteor bisa terjadi? Lewat situs resminya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menjelaskan hujan meteor terjadi karena Bumi berpapasan dengan benda angkasa yang lewat dan debu batuan yang terbawa masuk ke dalam atmosfer Bumi. Pertemuan ini mengakibatkan adanya gesekan antara atmosfer Bumi dan meteoroid yang datang dari luar atmosfer Bumi. Meteorid adalah pecahan dari komet atau asteroid yang melayang-layang secara bebas dan tidak mengelilingi benda apa pun.
Benda angkasa ini berpapasan dengan Bumi karena ia juga mengorbit ke matahari. Saat memasuki atmosfer Bumi, benda angkasa ini habis terbakar dengan panas hingga mencapai 1.650 derajat Celsius. Proses pembakaran inilah yang dilihat mata manusia sebagai meteor jatuh. Biasanya, peristiwa terbakarnya meteorid terjadi pada ketinggian 70-100 km dari permukaan Bumi.
Tidak jarang peristiwa munculnya meteor ini berlangsung lebih sering dari biasanya. Selain itu, lintasan hujan meteor tampak seperti muncul dari satu daerah tertentu di langit.
Peristiwa inilah yang kemudian dinamakan hujan meteor. Jadi, jika melihat ada satu titik tertentu dari satu lokasi tampak muncul berkali-kali lintasan cahaya meteor, inilah yang dinamakan hujan meteor. Selanjutnya titik ini diberi nama radian.
Nama hujan meteor sendiri diberikan dari asal titik radian hujan meteor berdasarkan rasi bintang tertentu. Sebagai contoh hujan meteor Perseids didapat karena meteor seolah-olah berasal dari arah rasi bintang Perseus.
Tertarik melihatnya? Sebenarnya, tidak perlu alat khusus untuk melihatnya. Sebuah kamera digital juga bisa membantu kita untuk ikut menyaksikan fenomena alam yang sayang untuk dilewatkan ini. Selain itu, harus sabar juga untuk menanti kehadiran hujan meteor di langit.
Selain hujan meteor, komet juga rajin melintas pada tahun ini. Bahkan untuk kali pertama dalam 6.800 tahun, ada sebuah komet yang akan melintas dan dinanti oleh banyak orang di dunia. Namanya, komet Near Earth Object Wide-Infrared Survey Explorer atau disingkat dengan NEOWISE.
Menurut para pakar dari lembaga antariksa Amerika Serikat (NASA), komet ini berada dalam jarak terdekat dengan Bumi pada 20 Juli. Komet itu secara resmi dinamakan C/2020 F3. Inilah komet ketiga yang ditemukan pada 2020. Bahkan, menurut kosmonot Rusia, Ivan Vagner, yang melihat komet dari stasiun ruang angkasa internasional, komet ini termasuk yang paling terang dibandingkan sejumlah komet yang baru ditemukan.
Sebelumnya, ada dua komet yang juga baru ditemukan, yaitu komet Swan (Solar Wind Anisotropies) dan Atlas. Meski sempat disebut bisa dilihat dengan mata telanjang tanpa perlu bantuan alat, ternyata kedua komet itu gagal disaksikan.
Nah, tampaknya kekecewaan itu terobati kali ini. Komet NEOWISE dapat terlihat jelas. Bahkan disebutkan komet ini akan lebih terang dari komet Halley yang muncul ketika menembus tata surya bagian dalam pada 1986 silam. Komet ini mencapai posisi terdekat dari Bumi pada 23 Juli walaupun jaraknya masih sekitar 103 juta kilometer.
Uniknya, sejumlah negara telah dilintasi komet ini sejak awal Juli lalu. Misalnya, warga Amerika Serikat yang berhasil melihat penampakan komet ini langsung mengunggah fenomena alam yang mereka saksikan itu di media sosial. Selain itu, komet ini juga terlihat melintas di Roma, Italia, pada 13 Juli lalu.
Bagaimana di Tanah Air? Di Indonesia, komet ini dapat terlihat mulai 20 Juli setelah matahari terbenam. Walaupun disebut-sebut dapat dilihat tanpa bantuan alat, tak sedikit pakar yang meragukan ini. Apalagi muncul juga perkiraan komet ini akan lebih redup dan bergerak dalam ketinggian yang terus meningkat. Maka, jika ingin melihat dengan jelas dibutuhkan sebuah teleskop kecil.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.