Proyektor memancarkan gambar sidang tuntutan kasus suap penetapan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 secara virtual dengan terdakwa mantan komisioner KPU RI Wahyu Setiawan di gedung KPK, Jakarta, Senin (3/8). | ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Nasional

Eks Komisioner KPU Dituntut 8 Tahun

JPU KPK juga meminta pencabutan hak politik Wahyu, eks komisioner KPU.

JAKARTA -- Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan dituntut delapan tahun penjara ditambah denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan. Wahyu dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp 600 juta dari kader PDI Perjuangan, Saeful Bahri, dan Rp 500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo.

"Menuntut supaya hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Wahyu Setiawan berupa pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan," kata jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ronald Worotikan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (3/8).

JPU KPK juga meminta pencabutan hak politik Wahyu untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokoknya. Sedangkan kader PDI Perjuangan, Agustiani Tio Fridelina, yang didakwa menerima suap Rp 600 juta bersama Wahyu dituntut 4,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Suap keduanya diterima dari mantan caleg PDIP, Harun Masiku, yang hingga kini masih menjadi buronan KPK dan kepolisian. 

Pengadilan berlangsung tanpa dihadiri kedua terdakwa. Hanya ada majelis hakim yang dipimpin Tuty Haryati, JPU KPK, dan penasihat hukum. Terdakwa Wahyu dan Agustiani Tio mengikuti persidangan melalui konferensi video dari gedung KPK.

Dalam dakwaan pertama, JPU KPK menilai, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp 600 juta dari kader PDIP, Saeful Bahri. Suap diberikan agar Wahyu mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDIP dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

Kasus berawal dari KPU yang menolak permohonan DPP PDIP karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pada September 2019, kader PDIP Saeful Bahri menghubungi Agustiani Tio selaku kader PDIP yang pernah menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk diperkenalkan kepada Wahyu. Agustiani pun menyampaikan hal tersebut kepada Wahyu melalui pesan whatsapp dan dibalas Wahyu dengan "siap mainkan".

Penerimaan uang pertama dilakukan pada 17 Desember 2019 sebesar 19 ribu dolar Singapura (sekitar Rp 200 juta). Uang diserahkan sopir Saeful Bahri, Moh Ilham Yulianto, kepada Agustiani Tio.

Agustiani menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu di restoran mal Pejaten Village, tetapi Wahyu hanya mengambil 15 ribu dolar Singapura.

Penerimaan kedua pada 26 Desember 2019 sebesar 38.350 dolar Singapura (sekitar Rp 400 juta) yang diserahkan langsung Saeful Bahri kepada Agustiani Tio di sebuah restoran di mal Pejaten Village. Agustiani pun melaporkan kepada Wahyu yang meminta disimpan dulu oleh Agustiani.

Pada 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uang tesebut, yaitu Rp 50 juta untuk ditransfer ke rekening pribadinya. Dalam persidangan, Wahyu hanya mengakui penerimaan 15 ribu dolar Singapura dan membantah penerimaan kedua dengan alasan uangnya masih di tangan Agustiani. 

photo
Proyektor memancarkan gambar sidang tuntutan kasus suap penetapan Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI 2019-2024 secara virtual dengan terdakwa mantan komisioner KPU RI Wahyu Setiawan di gedung KPK, Jakarta, Senin (3/8). - (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

"Namun, bantahan itu haruslah dikesampingkan karena keberadaan uang sebesar 38.350 dolar Singapura yang dipegang terdakwa II merupakan arahan antara terdakwa I dan terdakwa II," kata jaksa Ronald. Dalam perkara ini, Saeful Bahri sudah divonis satu tahun dan delapan bulan penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan.

Dalam dakwaan kedua, Wahyu didakwa menerima uang Rp 500 juta dari Sekretaris KPUD Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Papayo terkait proses seleksi Calon Anggota KPU Daerah Papua Barat periode 2020-2025. Masyarakat Papua saat itu berdemonstrasi karena tinggal tiga Orang Asli Papua (OAP) yang lolos tes akhir. Mereka menuntut agar yang lolos ada dari putra daerah Papua.

Demi meredakan emosi masyarakat, Rosa lalu meminta Wahyu mengusahakan agar tiga OAP tersebut lolos, yaitu Amus Atkana, Onesimus Kambu, dan Paskalis Semunya. Uang Rp 500 juta dari Gubernur Papua Dominggus Mandacan diserahkan kepada Rosa pada 3 Januari 2020. Uang Rp 500 juta ditransfer ke rekening BCA atas nama Ika Indrayani, istri sepupu Wahyu pada 7 Januari 2020. 

Cari Masiku

Skandal suap PAW anggota DPR Fraksi PDIP tersebut masih menyisakan misteri karena tersangka utamanya, Harum Masiku, masih gagal ditangkap. Ia menjadi buron setelah lolos penangkapan KPK pada awal tahun karena informasi tidak benar yang disampikan pejabat negara. Seruan penangkapan Masiku semakin kencang setelah Polri menangkap buronan kasus hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra pekan lalu. 

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengklaim pihaknya masih membantu KPK mencari Masiku. Pihaknya berusaha mencari Harun Masiku di dalam negeri maupun di luar negeri. "Kami kedepankan KPK dan kami bantu cari juga. Ya di dalam negeri maupun di luar negeri," katanya saat dihubungi Republika, Senin (3/8).

Direktur Legal Culture Institute M Rizqi Azmi mengatakan, Polri perlu disemangati agar juga mampu menangkap Harun Masiku. Rizqi menilai, kasus Masiku dan Djoko mempunyai pola yang hampir sama. Ia berharap kasus Masiku tidak mengalami hambatan periodesasi seperti kasus Djoko Tjandra. 

"KPK, Polri, dan kejaksaan harus bekerja sama dan belajar dari kegagalan dan kelalaian masa lampau," kata Rizqi, Ahad (2/8). 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat