Tank tempur milik pasukan Irak dipajang di depan Museum Martir Al-Qurain di distrik Al-Qurain, Kuwait, beberapa waktu lalu. Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 menjadi akhir dari rezim Presiden Saddam Hussein. | ANTARA

Internasional

Mahalnya Sebuah Keputusan Invasi

Invasi Irak ke Kuwait kala itu mendapatkan kecaman cepat oleh komunitas internasional.

OLEH FERGI NADIRA

Pada dini hari 2 Agustus 1990 silam tentara Irak di bawah komando Presiden Saddam Hussein melancarkan serangan terhadap negara tetangganya, Kuwait. Tak perlu waktu lama, ibu kota negara kecil yang kaya minyak itu pun hancur.

Kepala negara Kuwait saat itu, Syekh Jaber al-Ahmed al-Sabah, kemudian melarikan diri ke Arab Saudi. Seorang pensiunan jenderal pasukan Irak pada saat itu, Subhi Tawfiq, mendeskripsikan bagaimana serangan itu dimulai. "Ketika saya mendengar berita pagi itu, saya diliputi oleh rasa sakit dan putus asa yang luar biasa," kata Subhi Tawfiq dikutip laman Aljazirah, Ahad (2/8).

"Itu adalah hari yang mengerikan bagi kedua negara Teluk, tetapi jelas merupakan awal dari akhir bagi Irak," katanya melanjutkan kenangan peristiwa 30 tahun yang lalu tersebut.

Meskipun Irak dan Kuwait memiliki perselisihan perbatasan yang telah berlangsung beberapa dasawarsa, kedua negara menjadi sekutu dekat selama perang 1980-an melawan Iran.

Kuwait menyediakan dana yang sangat dibutuhkan Irak dalam bentuk pinjaman untuk peralatan militer selama konflik delapan tahun. Namun demikian, setelah Irak-Iran berakhir pada 1988, Irak yang secara ekonomi jatuh dan sarat dengan utang yang sangat besar membutuhkan lebih banyak bantuan keuangan.

Irak pun memiliki perhatian pada sumber daya minyak Kuwait yang besar dan berharap untuk menghapus utangnya. Segera setelah Kuwait menolak permintaannya untuk melupakan pinjaman, Baghdad meluncurkan serangan ofensifnya.

photo
Emir Kuwait Sheikh Sabah Al Ahmad Al Sabah saat menghadiri Pertemuan Puncak Dewan Kerja Sama Teluk yang ke-40 di Riyadh, Arab Saudi, Selasa (10/12/2019) - (AP)

Beberapa pekan kemudian, Hussein menganeksasi Kuwait dan menyatakannya sebagai provinsi ke-19 Irak. "Dari perspektif Kuwait, Irak selalu menyimpan agenda ekspansionis terhadap Kuwait dan invasi mereka masuk dalam agenda itu," kata Dania al-Thafer, direktur Gulf International Forum.

Menurutnya, banyak orang di Kuwait juga berpendapat bahwa invasi itu sebagian besar dimotivasi oleh keinginan Irak untuk mengendalikan cadangan minyak Kuwait yang besar. Invasi Irak ke Kuwait kala itu mendapatkan kecaman cepat oleh komunitas internasional yang bergerak untuk mengisolasi Irak secara politik dan ekonomi.

Pada 6 Agustus Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menuntut penarikan pasukan Irak segera dan tanpa syarat dari Kuwait. PBB juga memutuskan embargo perdagangan, keuangan, dan militer di Baghdad.

 
Pada 6 Agustus Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menuntut penarikan pasukan Irak segera dan tanpa syarat dari Kuwait.
 
 

Namun, pada akhir November Kuwait masih di bawah pendudukan Irak. DK PBB kemudian mengizinkan penggunaan semua sarana yang diperlukan untuk memaksa Irak keluar dari Kuwait jika pasukannya tidak mundur pada 15 Januari 1991.

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS) George Bush mengirim pasukan ke Arab Saudi dan mengumpulkan pasukan koalisi internasional yang dipimpin AS dengan tujuan melakukan intervensi, jika batas waktu tidak dipenuhi.

Ketika tenggat waktu berlalu, koalisi pimpinan-AS meluncurkan Operasi Badai Gurun pada 17 Januari 1991 dengan pembombardiran target yang sengit di Kuwait dan Irak. Operasi 43 hari tersebut berakhir pada 27 Februari setelah serangan darat 100 jam memaksa Irak untuk menarik pasukannya.

Setelah hampir tujuh bulan pendudukan Irak di Kuwait, Irak akhirnya menerima semua resolusi PBB. Hal itu dilakukan hanya setelah negaranya menderita karena ribuan korban militer dan sipil menimpanya serta kerusakan parah pada infrastruktur Irak yang tak terelakkan.

Di Kuwait, seluruh lingkungan telah dihancurkan. Ratusan warga Kuwait tewas atau disiksa dan sebagian besar sumur minyaknya telah dibakar. Tak lama setelah penghentian permusuhan, Syekh al-Sabah kembali untuk membangun kembali dan memulihkan Kuwait yang hancur.

Beberapa analis berpendapat, Kuwait tak pernah sepenuhnya kembali ke kemewahan sebelum perang. Namun, negara teluk kecil itu akhirnya mendapatkan kembali keharmonisan domestik.

Namun begitu, tetap ada kebencian di antara beberapa warga Kuwait terhadap operasi AS dan terhadap mereka yang melarikan diri dari negara itu selama perang. Sementara, bagi Irak, invasinya sendiri membuka pintu kehancuran selama beberapa dekade. Pada 2003 invasi yang dipimpin AS menghancurkan negara itu dan diikuti oleh konflik sektarian dan munculnya ISIS.

 
Bagi Irak, invasinya sendiri membuka pintu kehancuran selama beberapa dekade.
 
 

Hingga hari ini, negara tersebut dinilai telah menderita karena kurangnya layanan dasar dan korupsi yang mengakar di tengah kemarahan yang meningkat atas elite penguasa sektarian yang tidak berbuat banyak untuk meringankan penderitaan rakyat Irak. Irak menjadi terisolasi oleh negara-negara Teluk. Perang yang dipantik Irak kala itu telah melemahkan negara tersebut secara ekonomi, politik, dan militer.

Sejak akhir Perang Teluk pertama, telah ada tanda-tanda utama untuk memperbaiki hubungan regional dan global dengan Irak. Beberapa kekuatan global mendukung Irak dalam operasi militer melawan ISIS sampai kemenangan Baghdad melawan kelompok bersenjata pada 2017.

Selain itu, beberapa negara Teluk memberikan dukungan keuangan untuk upaya pembangunan kembali pasca-ISIS dan sejak itu menunjukkan minat yang meningkat dalam meningkatkan hubungan bilateral.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat