Aset BJBWarga melakukan transaksi di mobil layanan Bank BJB, Jakarta. | Republika/Adhi Wicaksono

Opini

Efek Dana di BPD

BPD perlu memastikan risiko dari penyaluran kredit atas penempatan dana pemerintah ini.

HARYO KUNCORO, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Setelah menempatkan dananya pada empat bank BUMN, pemerintah melakukan hal sama pada tujuh bank pembangunan daerah (BPD).

Ketujuh bank itu adalah Bank DKI sebesar Rp 2 triliun, Bank BJB Rp 2,5 triliun, Bank Jateng Rp 2 triliun, Bank Jatim Rp 2 triliun, dan Bank Sulutgo Rp 1 triliun. Dua BPD lainnya masih dievaluasi Kementerian Keuangan untuk penempatan dana tersebut.

Yakni BPD Bali dan BPD DIY, masing-masing Rp 1 triliun. Maka, anggaran penempatan dana pemerintah untuk ketujuh BPD itu adalah Rp 11,5 triliun. Dengan ikhtiar ini, pemerintah tampaknya sangat serius menginisiasi program pemulihan ekonomi dari sisi produsen.

Keberimbangan juga menjadi target pemerintah. Jika penempatan dana di BUMN menyasar korporasi, penitipan dana di BPD lebih menyasar UMKM. Dalam pandangan pemerintah, penempatan dana secara langsung lewat sektor perbankan jauh lebih efektif.

 

 
Penempatan dana di BPD, juga menjadi terobosan di kala otoritas moneter dan otoritas finansial terkendala regulasi.
 
 

 

Masing-masing bank, memiliki segmen nasabah berbeda. Alhasil, dana pemerintah cepat tersalur menjadi pinjaman produktif di sektor riil di tengah pandemi Covid-19. Pandangan ini, dalam konteks UMKM sangat masuk akal.

Skala UMKM mencapai 99 persen dari total unit usaha di Indonesia. Artinya, jika UMKM bisa diselamatkan, niscaya perekonomian terhindar dari stagnasi yang lebih dalam. PHK beserta dampak negatif yang menjadi mata rantai turunannya bisa diredam.

Penempatan dana di BPD, juga menjadi terobosan di kala otoritas moneter dan otoritas finansial terkendala regulasi. Urusan alokasi kredit menjadi wewenang Bank Indonesia (BI). Demikian pula, pengawasan kredit berada di ranah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Namun, BI dan OJK tidak bisa masuk langsung ke sektor riil. Kendati bertujuan positif, penempatan dana di BPD tidak lepas dari sejumlah persoalan mendasar.

Upaya ini boleh jadi berbenturan dengan kredit usaha rakyat (KUR) lantaran sama-sama menyasar UMKM. Apalagi, target KUR Rp 190 triliun pada tahun berjalan diperkirakan tak seluruhnya terserap. Persoalan efektivitas juga layak dikedepankan.

Penempatan dana tersebut terlalu berisiko jika tujuannya memacu penyaluran kredit. Di tengah pandemi Covid-19, permintaan kredit sangat terbatas. Permintaan kredit saat ini bukan kredit produktif karena tidak bertujuan investasi maupun peningkatan produksi.

 

 
Di sisi lain, penempatan dana pemerintah di BPD tertentu masih bisa menjadi pertanyaan. Terlebih lagi, bila di kemudian hari BPD tersebut menghadapi persoalan finansial.
 
 

 

Namun, lebih banyak untuk memperbaiki likuiditas perusahaan yang mengering. Kredit semacam ini, berisiko macet dan membahayakan bagi BPD itu sendiri. Dengan risiko kegagalan kredit tinggi, kebijakan kontra siklus melalui penempatan dana harus tetap terukur.

Di sisi lain, penempatan dana pemerintah di BPD tertentu masih bisa menjadi pertanyaan. Terlebih lagi, bila di kemudian hari BPD tersebut menghadapi persoalan finansial.

Tidak mustahil, penempatan dana itu bisa untuk menutup persoalan jangka pendek alih-alih memacu penyaluran kredit. Sudah menjadi rahasia umum, likuiditas BPD bergantung kinerja keuangan pemerintah daerah (pemda).

Saat belanja pemda belum direalisasikan, likuiditas BPD sangat longgar. Sebaliknya, ketika belanja APBD tengah gencar dieksekusi, likuiditas BPD pun mangalami pengetatan drastis.

Bahkan, BPD kerap harus menalangi lebih dulu belanja pemda tatkala anggaran dari pusat belum cair. Karena itu, kemampuan memasok kredit //melempem//. Alhasil, penempatan dana pemerintah memberi kesan, ketujuh BPD di atas tengah kesulitan likuiditas parah.

Kalaupun, penempatan dana pemerintah bisa menjaga kemampuan BPD dalam penyaluran kredit, persoalan tidak berhenti di sini. Komposisi penyaluran kredit di BPD masih didominasi kredit konsumtif.

Hal ini bertolak belakang dengan tujuan pemerintah menempatkan dana di BPD agar mendorong penyaluran kredit produktif. Karena itu, penempatan dana di BPD membawa konsekuensi tak ringan.

Untuk membuka peluang memasarkan produk kredit produktif, BPD perlu banyak penyesuaian dalam proses analisis kredit. Padahal, belum semua staf pemasaran kredit di BPD yang siap dalam melakukan analisis kredit. Tidak semua BPD berhasil dalam tugas ini.

 

 
BPD perlu memastikan risiko dari penyaluran kredit atas penempatan dana pemerintah ini. Proses kredit lebih ketat mutlak dilakukan.
 
 

 

Kredit produktif di BPD pada umumnya masih kembang-kempis dan sebagian ikut restrukturisasi. Hanya BPD Bank Jateng yang bisa dijadikan model rujukan. BPD Bank Jateng mampu menyalurkan kredit sebesar 20 persen ke sektor produktif dan UMKM.

Dengan konfigurasi problematik di atas, BPD perlu memastikan, pertama, dana pemerintah digunakan optimal. Pasalnya, rata-rata BPD tersebut sudah baik secara likuiditas sehingga tak terlalu mendesak membutuhkan dana segar.

Penempatan dana pemerintah bisa menimbulkan kelebihan likuiditas yang berujung menjadi dana nganggur. Kedua, BPD perlu memastikan risiko dari penyaluran kredit atas penempatan dana pemerintah ini. Proses kredit lebih ketat mutlak dilakukan.

Ketiga, pemerintah juga perlu mengantisipasi efek sampingnya. Karena dampak pandemi masih ada, penempatan dana pemerintah di BPD kemungkinan besar akan digunakan nasabah untuk penambahan modal dalam proses restrukturisasi usaha.

Perilaku sembrono (moral hazard) niscaya menjadi problem tersendiri. Dengan ketiga langkah di atas, ambisi besar BPD menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri bakalan langgeng. Semoga. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat