Analisis
Membedah Skema Dukungan Bagi Korporasi
Program dukungan bagi korporasi memang perlu dilakukan pemerintah.
OLEH SUNARSIP
Pemerintah diberitakan sedang menggodok skema kredit modal kerja (KMK) bagi korporasi yang terdampak Covid-19. Skema KMK ini diperlukan untuk menjaga agar di tengah Covid-19 ini kegiatan usahanya tetap tumbuh. Setidaknya, terdapat dua komponen yang perlu disiapkan dengan baik terkait dengan skema KMK bagi korporasi tersebut. Pertama, terkait dengan sumber pendanaannya. Kedua, terkait dengan skema penjaminannya. Nantinya, skema KMK bagi korporasi ini akan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Sebagaimana disebutkan dalam dokumen program Pemulihan Ekonomi Nasional, pemerintah menyiapkan paket dukungan kepada dunia usaha. Dukungan tersebut dibagi dalam 3 (tiga) paket. Pertama, dukungan kepada UMKM antara lain berbentuk subsidi bunga, insentif perpajakan, dan penjaminan kredit modal kerja (KMK). Kedua, dukungan kepada BUMN antara lain berupa penyertaan modal negara (PMN) dan dana talangan (investasi).
Ketiga, dukungan kepada korporasi antara lain berbentuk insentif perpajakan dan penempatan dana pemerintah di perbankan dalam rangka restrukturisasi debitur korporasi. Sepertinya, skema KMK bagi korporasi di atas adalah dalam rangka merealisasikan program yang terakhir (ketiga).
Krisis akibat pandemi Covid-19 ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah kita alami sebelumnya. Covid-19 menyebabkan sisi produksi terganggu. Pelaku usaha yang bergerak di sektor produksi adalah merupakan pihak yang paling terdampak, baik UMKM maupun korporasi. Tidak hanya tidak dapat berproduksi, pelaku usaha juga tidak dapat menjual produknya secara maksimal, akibat pemberlakuan physical distancing di hampir seluruh dunia.
Karena produksi dan penjualan terganggu, risiko gagal bayar (default) meningkat. Sementara itu, agar dapat melakukan aktivitas usaha, UMKM dan korporasi membutuhkan dukungan restrukturisasi kredit sekaligus modal kerja baru yang lebih murah. Dalam konteks inilah, dukungan berupa kemudahan memperoleh KMK sangat diperlukan oleh UMKM dan korporasi.
Dengan penempatan dana pemerintah ini, perbankan akan memiliki dukungan likuiditas yang lebih besar sehingga mampu menaikkan kapasitasnya dalam bentuk kredit kepada dunia usaha,
Seperti disebutkan di awal, ketersediaan likuiditas (pendanaan) merupakan hal yang perlu disiapkan agar program penyediaan KMK ini dapat dijalankan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada Juni lalu, pemerintah telah menempatkan dananya sebesar Rp30 triliun ke bank-bank BUMN. Penempatan ini merupakan tahap pertama dari serangkaian rencana penempatan dana pemerintah ke perbankan berikutnya.
Pada tahap pertama ini, penggunaan dana difokuskan untuk mendorong pertumbuhan kredit UMKM. Selanjutnya, pemerintah akan meningkatkan penempatan dananya ke perbankan hingga Rp100 triliun, (disesuaikan kebutuhan) dan tidak terbatas pada bank BUMN. Sehingga nantinya, tidak hanya UMKM, korporasi juga dapat memperoleh manfaat dari penempatan dana pemerintah ke perbankan ini.
Agar tidak menimbulkan pemahaman yang keliru terkait dengan dukungan terhadap UMKM dan korporasi tersebut, perlu dijelaskan bahwa penempatan dana pemerintah ke perbankan bukanlah merupakan bentuk penerusan pinjaman (kredit) dari pemerintah kepada korporasi terkait melalui bank sebagai perantaranya (channel). Penempatan dana pemerintah ke perbankan dilakukan dengan tujuan untuk menstimulasi perbankan agar kredit bank tetap tumbuh, di tengah kondisi likuiditas di pasar keuangan yang sedang mengalami perlambatan pertumbuhan.
Dengan penempatan dana pemerintah ini, perbankan akan memiliki dukungan likuiditas yang lebih besar sehingga mampu menaikkan kapasitasnya dalam bentuk kredit kepada dunia usaha, baik UMKM maupun korporasi. Harapannya, di tengah pandemi ini, bank masih tetap memberikan kredit kepada korporasi dengan suku bunga kredit (lending rate) yang terjangkau.
Selain dukungan dalam bentuk penempatan dana ke perbankan, pemerintah juga memberikan dukungan dalam bentuk penjaminan kredit. Dalam konteks penjaminan kredit bagi UMKM, selama ini telah dilakukan melalui perusahaan penjaminan BUMN (Askrindo dan Jamkrindo). Sedangkan, imbal jasa (fee) penjaminan dibayarkan oleh pemerintah. Sejauh ini, kegiatan penjaminan kredit UMKM berjalan normal.
Praktis tidak menimbulkan pro dan kontra karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Karena nilai kredit yang dijamin juga relatif kecil, kemampuan perusahaan penjaminan untuk menanggung kerugian akibat kredit macet yang timbul juga relatif cukup. Nah, yang pertanyaannya adalah bagaimana dengan skema penjaminan kredit bagi pelaku korporasi?
Saya memperkirakan topik terkait penjaminan kredit bagi korporasi ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjelaskannya kepada publik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan bahwa skema penjaminan modal kerja bagi korporasi ini pada dasarnya “sama” dengan penjaminan KMK kepada UMKM. Yang membedakan hanyalah terletak pada nilai maksimal kreditnya. Bila nilai maksimal kredit pada UMKM sebesar Rp10 miliar, maka bagi korporasi di atas Rp10 miliar. Kalau pengertian “sama” itu diartikan sebagai imbal jasa (fee) penjaminan, itu berarti pemerintahlah yang akan membayarkan fee penjaminan KMK bagi korporasi.
Kemudian, karena Askrindo dan Jamkrindo hanya dapat menjamin kredit UMKM, maka kemampuan lembaga yang akan ditunjuk sebagai penjamin kredit bagi korporasi juga menjadi hal yang perlu dipersiapkan dengan baik.
Saya memperkirakan topik terkait penjaminan kredit bagi korporasi ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menjelaskannya kepada publik. Ini mengingat, model penjaminan oleh pemerintah kepada korporasi ini relatif baru terjadi di Indonesia. Kemampuan pemerintah dalam mendesain dan menjelaskan kelayakan skema KMK kepada korporasi berikut penjaminannya ini akan sangat menentukan apakah program ini dapat diterima publik, baik secara ekonomi maupun non-ekonomi (terutama politik).
Kriteria korporasi penerima dukungan perlu ditetapkan agar dapat memenuhi keadilan serta ketepatan sasaran. Kriteria penerima insentif, misalnya, perlu dirancang dengan memperhatikan aspek strategisnya korporasi tersebut dalam memberikan nilai tambah bagi perekonomian.
Sebagai usulan, misalnya, dapat dilihat dari kontribusinya terhadap ketenagakerjaan, ketahanan pangan dan energi, infrastruktur, penciptaan nilai tambah terutama industrialisasi berbasis bahan baku lokal, serta penciptaan devisa melalui ekspor dengan muatan lokal tinggi.
Tentunya, kita berharap kebijakan yang disiapkan pemerintah dapat menjawab kekhawatiran dari sejumlah pihak, terutama menyangkut aspek keadilan dan kewajaran.
Meskipun disebutkan bahwa skema penjaminan KMK bagi korporasi ini sama dengan skema KMK bagi UMKM, tentunya praktek pelaksanaannya tetap berbeda. Dalam skema dukungan bagi UMKM, praktis seluruh pelaku UMKM dapat memanfaatkan fasilitas penjaminan kredit dari pemerintah.
Bagi korporasi, hal tersebut jelas tidak berlaku karena harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Proses pemberian kredit tentunya juga harus dilakukan melalui mekanisme yang berlaku di perbankan.
Perlu diketahui bahwa skema penjaminan KMK bagi korporasi adalah diperuntukkan bagi kredit baru yang dilakukan oleh debitur eksisting. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan debitur yang statusnya kini memiliki kredit bermasalah di bank? Apakah mereka juga dapat memperoleh kredit dengan fasilitas dengan penjaminan tersebut? Pertanyaan selanjutnya, misalnya, apakah kredit baru yang diperoleh dari skema penjaminan tersebut dapat dimanfaatkan untuk refinancing kredit lama? Hal-hal ini perlu dipertegas, untuk menjaga kepastian sekaligus menekan terjadinya moral hazard.
Program dukungan bagi korporasi memang perlu dilakukan bagi pemerintah. Tinggal desain kebijakannya yang perlu disiapkan dengan baik. Tentunya, kita berharap kebijakan yang disiapkan pemerintah dapat menjawab kekhawatiran dari sejumlah pihak, terutama menyangkut aspek keadilan dan kewajaran.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.