Nasional
Mahfud: Aparat Kedepankan Hukum di Papua
Amnesti melaporkan dua warga Papua ditembak akhir pekan lalu.
JAKARTA –- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengimbau aparat keamanan yang bertugas di Papua untuk mengedepankan pendekatan hukum. Mahfud meminta mereka untuk tidak terpancing dengan berbagai provokasi yang dilakukan oleh berbagai pihak.
“Saya tahu tugas saudara-saudara berat, tapi pesan saya bertindaklah secara hati-hati, jangan terpancing untuk melakukan tindakan yang bisa dinilai melanggar HAM (hak asasi manusia). Kita jaga negeri ini dengan sepenuh hati dan tidak terprovokasi oleh pihak lain,” ujar Mahfud dalam kunjungan kerja ke Timika, Papua, Rabu (22/7).
Mahfud mengatakan, tugas pemerintah, termasuk TNI dan Polri, saat ini lebih berat karena harus fokus menangani pandemi Covid-19, termasuk di Papua. Meski begitu, kata dia, tugas untuk mengamankan wilayah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus tetap dilakukan dengan baik.
“Jangan sampai karena kita fokus menangani covid, lalu tugas lain terabaikan, misalnya masalah ekonomi, dan khususnya di Papua harus tetap siaga melakukan pengamanan sehingga tidak muncul aksi gangguan keamanan yang mengancam integrasi kita,” kata dia.
Menurut Mahfud, pemerintah memiliki tugas untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Itu berarti, pemerintah harus menjaga keutuhan integrasi dan teritori agar tidak terpecah serta melindungi keutuhan ideologi bangsa.
“Terkait hal ini, ada tiga tantangan yang kita hadapi. Di wilayah barat ada persoalan intervensi asing di laut Natuna Utara. Di belahan timur, seperti di Papua sini, ada persoalan gangguan keamanan berupa kriminal bersenjata,” ujar dia.
Terkait pembangunan di Papua, mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu mengatakan, saat ini tengah disiapkan instruksi presiden (inpres) yang lebih komprehensif. Dalam inpres itu, kendali akan berada di tangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
“Agar pembangunan Papua lebih terpadu dan komprehensif dalam satu komando, serta menekankan pendekatan kesejahteraan,” ungkap dia. Dalam kunjungan kerjanya ke Timika, Mahfud mengadakan pertemuan dan berdialog dengan Satuan Tugas (Satgas) TNI, Polri, dan BIN di Papua.
Dalam kunjungan kerja selama dua hari di Timika itu, Menko Polhukam didampingi oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono bersama para petinggi TNI, dan Polri lainnya. Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal mengatakan, sebelum ke Timika, Menko Polhukam bersama rombongan melakukan kunjungan kerja ke wilayah Provinsi NTB.
“Bapak Menko Polhukam selama berada di Timika memberikan pengarahan kepada jajaran TNI dan Polri yang ada di wilayah Papua,” ujar dia.
Penembakan
Sebelumnya, Amnesty Internasional Indonesia melaporkan, dua orang, ayah dan anak, meninggal di Nduga, akibat terjangan peluru senjata api. Direktur Eksekutif Amnesty Indonesia Usman Hamid mengatakan pelaku penembakan, adalah personel TNI.
“Kodam Cenderwasih, telah mengkonfirmasi dan membenarkan adanya penembakan hingga tewas terhadap dua warga sipil di Kabupaten Nduga, Papua oleh oknum anggota TNI,” kata Usman, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (21/7). Laporan yang sampai ke Amnesty, Usman menerangkan, insiden penembakan warga sipil tersebut, terjadi pada Sabtu (18/7).
Dikatakan, kronologi penembakan terjadi sekira pukul tiga sore waktu setempat. Dua yang hilang nyawa, adalah Selu Karunggu, pemuda 20 tahun, dan Elias Karunggu, ayah 34 tahun. Kedua korban tersebut, dikatakan Amnesty adalah penduduk sipil yang berstatus sebagai pengungsi kejadian Desember 2018, yang sampai saat ini bertahan di Distrik Yigi, Nduga.
Insiden penembakan terjadi di Kampung Masanggorak, di sempadan Sungai Keneyam, sekitar setengah kilo meter dari Kota Keneyam, Ibu Kota Nduga. Penembakan terjadi ketika Selu dan Elias, bersama-sama sejumlah rombongan hendak ke pos pengungsian dengan menyeberangi sungai. Didekat sungai tersebut, berdiri pos darurat militer. “Oknum TNI menembak kedua korban dari pos darurat mereka di pinggi sungai, saat keduanya menyeberangi sungai,” begitu dalam laporan Amnesty.
Insiden penembakan tersebut, mendorong terjadinya kembali aksi protes lokal. Pada Ahad (19/7), sejumlah pemuda bersama otoritas pemerintahan daerah (Pemda) setempat, dikatakan Usman melakukan aksi protes seharian. Para pemrotes, meminta aparat mengembalikan dua jenazah korban untuk dimakamkan saat itu juga. Mereka pun meminta pelaku penembakan agar diusut, dan diberi hukuman yang setimpal.
Amnesty, kata Usman, mendukung seruan tersebut. Kata Usman, aksi brutal penghilangan nyawa sipil yang dilakukan aparat Indonesia di Papua, sudah digaris merah. Amnesty mencatat, Januari 2010 sampai Februari 2018, ada sebanyak 69 kasus pembunuhan, yang menelan 95 korban jiwa sipil oleh aparat di Bumi Cenderawasih. Sebanyak 34 kasus di antaranya, menjadikan aparat Polri sebagai tersangka. Sedangkan 23 kasus lainnya, dilakukan oleh aparat militer. Sisanya, 11 kasus dilakukan oleh kedua otoritas keamanan tersebut, dan satu kasus melibatkan Satpol PP.
“Sebagian korban, 85 (korban jiwa) di antaranya merupakan warga etnis Papua,” terang Usman. Namun, kata Usman, dari semua kasus tersebut hanya berujung pada bentuk sanksi yang mengecewakan. Catatan angka korban sipil di Papua, pun memberikan gambaran tentang masih terangnya bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Bumi Cenderawasih. “Tindakan aparat keamanan menembak dua warga Papua kembali, menujukkan negara kerap bertindak represif di Papua. Itu adalah tindakan yang tidak terukur, brutal, dan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” sambung Usman.
Amnesty kembali mengingatkan pemerintah, agar punya tanggung jawab menyeret para oknum kepolisian, pun tentara pelaku pembunuhan ke persidangan umum. Karena, menurut Amnesti, kasus tersebut menyangkut aksi pencabutan nyawa terhadap sipil di luar kehendak hukum. Peradilan disipliner, pun militer yang selama ini diterapkan, semestinya tak menghapus penegakan hukum sipil lewat peran peradilan pidana umum.
“Meski berstatus militer (ataupun kepolisian), pelaku harus diadili di bawah jurisdiksi peradilan umum sesuai perintah UU TNI. Tidak cukup hanya disiplin internal maupun di pengadilan militer, karena ini bukan hanya pelanggaran disipliner, tapi merupakan tindak pidana dan pelanggaran HAM. Jika otoritas hanya membawa kasus ini ke pengadilan militer, artinya negara gagal dalam memenuhi kewajiban internasional untuk melindungi hak asasi manusia setiap warganya, termasuk gagal menegakkan UUD 1945 bahwa setiap warga negara sama kedudukannya di muka hukum,” kata Usman.
Sedangkan Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III, Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa, mengungkapkan, perwakilan Satgas Yonif PR 330 dan aparat lainnya telah bertemu dengan Bupati Nduga Yairus Gwijangge. Pertemuan dilakukan untuk meluruskan kabar penembakan terhadap dua warga sipil di wilayah Nduga, Papua.
"Di mana sebelumnya telah beredar berita dari media online maupun media sosial yang menyebutkan bahwa TNI telah menembak dua warga sipil di wilayah Kabupaten Nduga,” ujar Nyoman dalam keterangannya, Selasa (21/7).
Nyoman menjelaskan, saat pertemuan berlangsung, Dansektor Baliem, Kolonel Inf Yusup, dan Danki-C Satgas Yonif PR 330, Lettu Inf Azlan, menjelaskan kronologi kejadian dan menunjukkan barang bukti."Korban yang tertembak tersebut merupakan anggota KKSB di wilayah Kabupaten Nduga dan bukan masyarakat sipil,” kata dia.
Menurut Nyoman, dua anggota kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) itu tewas pada Sabtu (18/7) sekira pukul 15.00 WIT. Saat itu, Tim Satgas Pamtas Yonif PR 330/TDmelakukan penghadangan terhadap dua orang KKSB kelompok Egianus Kogoya di Kenyam. Pengadangan tersebut dilakukan dengan menggunakan teropong senjata SPR 1 AW.
Dia mengatakan, anggota KKSB tersebut sempat bergabung dengan sekelompok masyarakat yang akan menyeberang sungai dan kemudian menyeberang bersamaan.“Setelah menyeberangi sungai, masyarakat langsung dijemput oleh mobil pick up menuju Kenyam, tetapi kedua orang KKSB tersebut tidak ikut naik mobil pick up," ujar Nyoman.
Kemudian, tim terus melakukan pemantauan terhadap keduanya. Hingga akhirnya dilakukan penembakan yang menyebabkan keduanya meninggal dunia. Dari kejadian tersebut didapatlan barang bukti berupa senjata pistol jenis revolver dengan nomor senjata S 896209 dan barang bukti lainnya.
“Barang bukti yang diamankan dari keduanya yakni pistol jenis revolver nomor senjata S 896209 satu pucuk, handphone milik prajurit yang sempat dirampas pelaku sebulan yang lalu, tas dua buah, parang, kampak dan uang tunai Rp 9.520.000,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.