Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). | Muhammad Bagus Khoirunas/Antara

Kabar Utama

Mereka yang 'Semangat' Belajar di Poskamling

Di pos kamling itu mereka belajar secara berkelompok setiap pagi hingga siang.

OLEH: BAYU ADJI P

Julia (14 tahun) dan Tuti (15) punya tempat bersekolah baru belakangan ini. Bukan karena rusak kelas-kelas mereka di SMP Plus Pasawahan. Bukan juga karena pindah dari sekolah yang jaraknya sekitar lima kilo meter dari kediaman mereka di Dusun Mekarsari, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar, Kabupeten Ciamis, Jawa Barat.

Berdua, setiap hari pelajaran mereka berjalan kaki dari rumah sejauh satu kilometer ke pos keamanan lingkungan kampung. Sudah begitu sejak pandemi berlangsung dan tak boleh ada kegiatan tatap muka di sekolah. Bagaimana ceritanya?

Tak seperti kebanyakan remaja di kota dan kampungnya, Tuti tak memiliki telepon genggam cerdas alias smartphone. Di rumahnya, saluran TVRI yang yang menyediakan siaran materi pembelajaran siswa juga tak bisa ditangkap antena televisi. "Jadi harus ke teman yang punya hape," kata Tuti saat Republika berkunjung ke rumahnya, akhir pekan lalu.

Yang paling dekat adalah rumah temannya, Julia, yang rumahnya hanya berjarak seratur meter. Apesnya, seperti di rumah Tuti, sinyal telepon seluler tak sampai ke rumah Julia. Sebab itulah mereka setiap hari pelajaran bergerak ke pos keamanan lingkungan tersebut. Entah mengapa, hanya bangunan itu yang bisa menangkap sinyal di kampung mereka.

Di pos kamling itu mereka belajar secara berkelompok dengan tiga siswa lainnya. Setiap pagi hingga siang hari mereka mengakses materi pelajaran yang disampaikan melaui aplikasi Facebook Messenger atau WhatsApp.

Tuti tentu tak senang dengan kondisi tersebut. Menurut dia, belajar di sekolah dapat lebih fokus karena bisa langsung dijelaskan oleh guru. Tanpa telepon genggam, ia mengatakan kesulitan mengejar pelajaran. 

Republika mencoba mengecek sinyal di rumah Tuti. Jangankan mengakses internet, untuk menelpon pun  tak bisa. Ketika berkunjung ke rumah Julia, kondisinya tak berbeda. 

Lokasi Desa Pasawahan sekira 15 kilometer atau 30 menit waktu tempuh dari pinggir Jalan Raya Banjar-Pangandaran, jalan nasional yang menghubungkan antara Ciamis-Pangandaran. Jalan menuju daerah itu juga berkelok dan naik-turun. Ketinggian wilayah itu sekora 450 meter di atas permukaan laut. Di Desa Pasawahan, dibandingkan rumah warga, pohon-pohon tinggi dan areal persawahan masih jauh lebih banyak jumlahnya.

Bukan hanya Tuti yang mengeluh selama belajar dari rumah. Julia yang notabene memiliki telepon pintar pun mengaku lebih nyaman belajar di sekolah. "Kalau ada tugas yang belum diterangkan juga gak bisa," kata dia.

 
Kalau sekolah mewajibkan (siswa punya telepon pintar), itu akan jadi beban orang tua. Karena orang tua di sini banyak petani.
 
 

Aep (43), orang tua Julia mengatakan, proses kegiatan belajar-mengajar (KBM) di rumah tak hanya terkendala dengan keterbatasan sinyal dan teknologi yang dimiliki mereka. Karena tak di rumah, ia tak tahu anaknya itu benar-benar belajar atau justru hanya bermain. 

Ia mengisahkan, tak jarang anaknya itu bertanya mengenai materi pelajaran kepada ibunya. Sementara ibunya tak memahami materi itu secara mendalam. 

Pria yang sehari-hari bertani itu menambahkan, pengeluarannya untuk anak selama belajar di rumah juga tak berkurang, justru bertambah untuk mengisi kuota internet anaknya. Namun, hal itu bukan perkara baginya. Meski beban, tapi itu merupakan tugas orang tua untuk menjamin kebutuhan pendidikan anaknya. 

Iis (38), orang tua Tuti mengatakan bukan tak mau membelikan telepon genggam untuk putrinya. Apa daya, kondisi perekonomian perempuan yang bekerja sebagai buruh tani itu tak bisa mencukupi kebutuhan tersebut. "Bukannya kita lepas, tapi kita kan juga mencari nafkah tak bisa terus mengawasi," kata dia.

Selain itu, ia juga takut telepon pintar justru membuat anaknya menjadi tak terkontrol dengan membuka hal yang tidak-tidak di dunia maya. "Harapannya ya sekolah bisa normal lagi," kata dia.

Kepala SMP Plus Pasawahan, Adi Durohman mengakui proses belajar dari rumah sulit dilakukan lantaran wilayah sekolahnya berada di perbatasan Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pangandaran. Selain sinyal internet tak merata di okasi tempat tinggal siswa, dari total 63 siswa SMP Plus Pasawahan hanya 20 persen yang memiliki telepon pintar. 

"Melihat kondisi itu, menjadi polemik juga. Kalau sekolah mewajibkan (siswa punya telepon pintar), itu akan jadi beban orang tua. Karena orang tua di sini banyak petani," kata dia. Bahkan, kata dia, sejumlah orang tua siswa juga berseloroh harus menjual sawah atau kebun terlebih dahulu untuk bisa membelikan anaknya telepon pintar. 

Kondisi itu membuat para guru di SMP Plus Pasawahan tak bisa menerapkan pembelajaran daring secara maksimal. Adi mencontohkan, pada tahun ajaran sebelumnya ketika pandemi Covid-19 baru terjadi dan pemerintah meniadakan KBM secara tatap muka di sekolah, para guru tetap bertemu siswa sekali dalam sepekan. 

Guru-guru memberikan pembahasan singkat, lalu memberikan tugas kepada siswa. "Kalau secara daring semua, itu jadi kendala. Karena kalau dikasih tugas terus juga akan menjadi beban siswa," kata dia.

Adi mengaku, hingga saat ini memang pihak sekolah belum berkoordinasi dengan dinas terkait untuk mencari solusi masalah itu. Namun, ia berencana untuk mengajukan izin agar KBM di sekolahnya dapat dilakukan dengan tatap muka. "Kondisi di kampung itu, baik secara fasilitas, tingkat ekonomi siswa, dan pemahaman, berbeda dengan di kota," kata dia.

Kondisi kesulitan belajar juga dialamai para siswa SMK Pasawahan, yang sekolahnya masih satu kompleks di lingkungan itu. Kepala SMK Pasawahan, Paryono mengatakan, dari total 78 siswa SMK Pasawahan, hanya sekira 60 persen yang dapat mengikuti pembelajaran secara daring. Mereka yang ikut pun tak konsisten. Artinya, tak setiap hari mereka mengikuti pembelajaran. 

Pihak sekolah sudah mencoba untuk mengunjungi rumah para siswa yang kerap tak hadir dalam pembelajaran daring satu per satu. Hal itu dilakukan untuk memastikan para siswa belajar. "Tapi kan itu tak bisa dilakukan setiap hari," kata dia. 

Karena itu, ia berharap, pemerintah bisa meninjau ulang aturan proses KBM pada masa pandemi Covid-19. Sebab, untuk melakasankan proses KBM secara daring, banyak hal yang belum tersedia di daerah. 

photo
Sejumlah siswa SDN 1 Inten Jaya mengerjakan tugas melalui gawainya di Kampung Lebak Limus, Lebak, Banten, Senin (20/7/2020). Sejumlah siswa yang tinggal di daerah pelosok tersebut kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) secara daring dan tepaksa menempuh perjalanan hingga satu kilometer dari kediamannya menuju ke dataran yang lebih tinggi agar mendapatkan jaringan internet guna mengerjakan tugas sekolah melalui gawai yang nantinya dikirim melalui aplikasi percakapan WhatssApp - (MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA FOTO)

Waspadai limbah pendidikan

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengingatkan potensi adanya limbah pendidikan akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi Covid-19. Hal tersebut berpotensi muncul jika proses pelaksanaan PJJ tidak berjalan secara maksimal.

"Jadi kalau proses PJJ atau daring ini gagal, nanti akan ada limbah pendidikan yang disebut dengan lost generation," kata Ketua Pengurus Besar (PB) PGRI Dudung Koswara di Jakarta, Senin (20/7). Dia menjelaskan, limbah generasi itu terlahir dari proses pendidikan yang tidak maksimal sehingga anak memiliki pengetahuan yang rendah.

Dudung mengatakan, hingga saat ini, PJJ masih memiliki sejumlah kendala. Misalnya, keterbatasan jaringan, kepemilikan perangkat digital, baik laptop, gawai pintar di antara para peserta didik terlebih di daerah, maupun kemampuan beradaptasi terhadap teknologi bagi para tenaga pengajar. 

Meskipun demikian, Dudung mengakui, idealnya seorang guru harus juga tetap memiliki kemampuan melaksanakan PJJ. "Maka semua guru dipaksa beradaptasi sehingga idealnya semua mampu melaksanakan proses PJJ," katanya.

Di samping itu, Dudung juga meminta setiap kepala sekolah dan wakil kepala sekolah bidang kurikulum agar membuat format tertentu untuk memudahkan para guru. Hal itu agar kendala dalam kemampuan pemahaman teknologi, kuota, dan hal lainnya yang belum siap bisa teratasi.

 
Jadi kalau proses PJJ atau daring ini gagal, nanti akan ada limbah pendidikan yang disebut dengan lost generation.
 
 

Dudung mengungkapkan, saat ini kepala sekolah dan para guru juga terus melakukan pembahasan dalam forum group discussion (FGD) hingga lokakarya pendalaman berkenaan dengan metode PJJ. Menurut dia, yang paling penting tidak boleh anak didik terputus dengan gurunya dan mereka tetap dapat belajar dengan metode, yang tidak memberatkan karena tidak ada tatap muka.

"Bahkan, harus ada komunikasi antara guru dan orang tua. Keduanya harus ada komunikasi sehingga orang tua juga berubah wujud jadi guru juga," ujarnya.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, masih menanti perubahan kurikulum dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sebab, hingga saat ini, kurikulum yang mestinya digunakan untuk tahun ajaran baru pada masa pandemi belum juga berlaku.

Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mengatakan, saat ini hanya kurikulum SD yang sudah disesuaikan. "Yang kami tahu dalam pengawasan kami, baru SD yang selesai, yaitu menyederhanakan dari 60 menjadi 32 KD (kompetensi dasar)," kata Retno, dalam diskusi daring, akhir pekan lalu.

Namun, untuk jenjang SMP, SMA, dan SMK masih belum ada penyesuaian kurikulum. Desakan ini terus disuarakan KPAI di berbagai kesempatan. Bahkan, lanjut Retno, pihaknya juga menulis surat ke kementerian dan Presiden. "Namun, pada 13 Juli 2020 mulainya tahun ajaran baru tidak juga selesai," kata Retno menambahkan.

Tidak disederhanakannya kurikulum, menyebabkan PJJ masih tidak optimal, sama seperti pada awal masa pandemi. Akhirnya, KPAI banyak melihat PJJ seperti sekolah yang dilakukan di rumah dengan jam pelajaran yang sama. 

Sebelumnya, pada awal masa pandemi, KPAI juga mendapatkan banyak keluhan terkait PJJ yang menyebabkan anak tertekan. Di antara keluhannya, yaitu guru terlalu banyak memberikan tugas, sementara gawai yang dimiliki setiap siswa berbeda-beda.

Kemendikbud sebenarnya sudah membuat surat edaran yang mendorong sekolah tidak mengejar ketuntasan kurikulum, dan lebih mengutamakan pembelajaran bermakna selama masa pandemi. Namun, pada kenyataannya, masih banyak sekolah yang masih mengejar ketuntasan kurikulum sehingga siswa tertekan.

 
Kurikulum pada masa pandemi mestinya disederhanakan, karena pembelajaran berlangsung tidak seperti biasanya.
 
 

Terkait hal ini, KPAI sejak April mendorong Kemendikbud membuat kurikulum khusus pandemi. Kurikulum pada masa pandemi mestinya disederhanakan, karena pembelajaran berlangsung tidak seperti biasanya. "Guru yang mengejar ketuntasan kurikulum yang tidak berubah ya pasti ini akan terjadi dan ini terjadi pengulangan," kata Retno. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, pekan lalu menegaskan di depan anggota DPR bahwa konsep PJJ bukan kebijakan yang mereka inginkan. Ia menyadari, konsep itu juga tak bisa berjalan efektif, apalagi secara permanen. Menurut Nadiem, pemerintah sementara ini hanya mengutamakan kesehatan para siswa.

Soal infrastruktur listrik dan internet di daerah-daerah tertentu yang tak memungkinkan PJJ, Nadiem mengatakan, akan berkoordinasi dengan kementerian lain. "Kami akan pastikan bahwa ke depan, dengan koordinasi dengan kementerian/lembaga akhirnya infrastruktur internet dan listrik menjadi prioritas selama tiga hingga empat tahun ke depan," ujar dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat