Opini
Anak Terancam Cyberporn
Tak sedikit anak juga kecanduan untuk terus mengakses situs porno.
RAHMA SUGIHARTI, Dosen Isu-isu Masyarakat Digital FISIP Universitas Airlangga
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung teratasi, menimbulkan dampak yang menempatkan anak sebagai korban yang rawan diperlakukan salah.
Studi ESPAT (End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking of Children for Sexual Purpose, 2020) mengungkapkan, mengakses internet saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diberlakukan Mendikbud Nadiem membuka ruang bagi kejahatan seksual yang mengancam anak-anak.
Studi ESPAT, yang mewawancarai secara daring 1.203 anak dari 13 provinsi di Indonesia pada masa pandemi Covid-19, menemukan ada 287 anak yang mendapatkan pengalaman buruk ketika berselancar di dunia maya.
Anak-anak yang diharapkan mengakses dunia maya sebagai bagian dari proses pembelajaran daring, ternyata sering menerima pesan tak senonoh, gambar atau video pornografi, dan ajakan membicarakan hal yang membuat anak tidak nyaman.
Sejumlah anak menjadi korban pornografi karena penggunaan medsos yang lebih tersembunyi, seperti whisper dan secret yang bisa berbentuk aplikasi.
Rentan menjadi korban
Pada era masyarakat digital, anak-anak menjadi target penyebarluasan cyberporn. Ratusan atau bahkan jutaan situs pornografi dicekal Kemenkominfo, tetapi dalam hitungan detik muncul kembali situs serupa yang tak kalah membahayakan.
Anak yang tumbuh dalam rasa ingin tahu sangat besar, bukan tak mungkin tergelincir melakukan kesalahan karena tergoda mengakses situs pornografi. Selama ini, banyak anak menjadi korban pornografi karena pilihan dan penggunaan medsos yang kurang populer.
Sejumlah anak menjadi korban pornografi karena penggunaan medsos yang lebih tersembunyi, seperti whisper dan secret yang bisa berbentuk aplikasi.
Aplikasi yang kurang populer seperti ini jarang terjaring dan lolos dari pemantauan Kemenkominfo sehingga anak-anak yang tanpa pengawasan, dengan leluasa memanfaatkan teknologi ini untuk berinteraksi yang mengundang kegiatan porno ataupun pornografi.
Banyak kajian membuktikan, ketidaktahuan dan kurangnya keterlibatan orang tua dalam pengawasan anak ketika mengakses internet menyebabkan mereka rentan tereksploitasi dan menjadi objek pornografi.
Tak sedikit anak-anak juga kecanduan untuk terus mengakses situs porno, ketika tidak ada kontrol dari orang tuanya.
Chaterine Chak (2003), misalnya, dari hasil studinya menemukan, penggunaan internet di kalangan anak-anak berisiko tinggi sebab selain untuk bermain gim, menelusuri informasi, dan chatting, tak jarang mengakses situs porno dan melakukan sex talk.
Tak sedikit anak-anak juga kecanduan untuk terus mengakses situs porno, ketika tidak ada kontrol dari orang tuanya. Di media massa, bukan rahasia lagi kalau sering beredar film-film pendek yang termasuk pornografi.
Tidak sedikit anak-anak kecanduan menonton video porno, meski itu belum sesuai perkembangan psikologis dan usia mereka. Bagi mereka, teknologi informasi yang kian canggih dan kebebasan berselancar di dunia maya, sedikit-banyak menimbulkan dilema.
Dari segi psikologis, keterlibatan anak-anak dalam penggunaan internet yang berlebihan, ditengarai berdampak, terutama ketika mereka memanfaatkan intenet untuk menelusuri informasi yang seharusnya bukan untuk kepentingan dan sesuai usianya.
Kehadiran berbagai media sosial dan internet yang masif dalam lima tahun terakhir, mungkin benar membuka belenggu isolasi dan menjadikan wawasan dan jaringan sosial anak-anak menjadi makin luas.
Namun, pada saat yang sama, ternyata juga menyebabkan anak-anak yang tak siap menjadi rentan teperdaya. Di dunia maya, lewat medsos seseorang bisa memperkenalkan dirinya menjadi siapa pun, tanpa harus terikat kondisi riil dirinya.
Di tengah kondisi seperti ini, jangan kaget jika anak-anak rawan teperdaya dan menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Di dunia maya, yang namanya identitas adalah sebuah bentukan citra. Karena itu, yang penting di sini adalah citra, konstruksi, dan sejauhmana lawan ia berinteraksi dapat dikecoh atau terkecoh.
Bagi seorang anak perempuan yang sehari-hari dibesarkan dalam keluarga yang bermasalah, apalagi menjadi korban child abuse, berselancar di dunia maya untuk mencari teman chatting bukan hanya menjadi alternatif kegiatan pelarian yang mengasyikan, melainkan lebih dari itu juga menjadi kegiatan untuk mencari sosok idola substitutif yang ideal.
Di tengah kondisi seperti ini, jangan kaget jika anak-anak rawan teperdaya dan menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Efek samping
Lebih dari sekadar perkembangan teknologi dan kaitannya dengan perubahan pola hubungan sosial masyarakat di dunia virtual, kehadiran internet dan munculnya berbagai situs di dunia maya pada dasarnya adalah refleksi dari perkembangan gaya hidup.
Di kalangan anak-anak milenial, Poindexter (1999) menyatakan, Generasi X atau generasi virtual ini umumnya menggunakan web untuk hiburan dan secara signifikan menemukan informasi yang berkaitan dengan entertainment (Rettie, 2002).
Bagi anak-anak yang hidup pada era revolusi informasi, mengakses informasi dan menjalin jejaring sosial di dunia maya merupakan konsekuensi kemajuan zaman dan menjadi kebutuhan tak terelakkan.
Cuma, yang menjadi masalah, karena secara psikologis anak-anak dalam usia belia sering belum sepenuhnya matang, akan bermanfaat jika orang tua dan keluarga memiliki literasi digital dan informasi yang baik agar tak menjadi korban cyberporn.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.