Kisah Dalam Negeri
Kisah Djoko Tjandra dan Jenderal Polisi
Brigjen Prasetijo pernah ke Pontianak bersama Djoko Tjandra.
OLEH ARIF SATRIO NUGROHO, HAURA HAFIZAH
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo berjanji akan bertindak tegas mengusut perwira di intenal Polri terkait lolosnya buronan Djoko Sugiarto Tjandra. Hingga kini, tiga orang jenderal telah dicopot dari jabatannya karena terbukti lalai dan sengaja meloloskan terpidana kasus hak tagih Bank Bali.
Tiga jenderal yang dicopot Kepala Polri Jenderal Idham Azis adalah Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo, Brigadir Jenderal Nugroho Wibowo, dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Prasetijo dicopot dari Karo Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim, Nugroho dicopot dari Sekretaris NCB Interpol Indonesia, dan Napoleon dari Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.
"Biar pun teman satu angkatan, kami tidak pernah ragu untuk menindak tegas tanpa pandang bulu," ujar Listyo saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Senin (20/7). Prasetijo diketahui teman satu angkatan Listyo Sigit. Mereka menempuh pendidikan bersama sebagai taruna akademi kepolisian tahun 1991.
Listyo mengatakan, hasil interogasi Divisi Propam Polri akan menjadi dasar proses pidana terhadap Brigjen Prasetijo. Ia diduga melanggar Pasal 221 dan Pasal 263 KUHP. "Untuk aliran dana sedang kami dalami," kata Listyo.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono juga mengungkapkan, Prasetijo tidak hanya mengeluarkan surat jalan bagi Djoko. Prasetijo juga pernah pergi bersama Djoko ke Pontianak, Kalimantan Barat.
"Yang bersangkutan membuat surat izin sendiri menuju Pontianak dan info yang kami dapatkan yang bersangkutan langsung dalam satu pesawat dengan DPO, yaitu Djoko Tjandra," katanya di Bareskrim Polri, kemarin.
Saat ini, penyidik masih terus mendalami berapa kali surat jalan Djoko diterbitkan dan kenapa mereka bisa berangkat bersama. Awi juga mengklaim Prasetijo dalam perawatan di rumah sakit. "Tentunya, kalau ada perkembangan, kami akan update," kata dia.
Listyo mengatakan, pihaknya juga tengah menyelidiki dugaan keterlibatan pihak lain di luar Polri terkait pelarian Djoko Tjandra. Ia berjanji akan mengusut kasus itu secara terbuka. Namun, ia mengimbau seluruh pihak tidak ikut memperkeruh situasi. "Kami meminta agar masyarakat percaya dan ikut membantu mengawasi hal ini," ujar jenderal bintang tiga itu.
Pada Ahad (19/7), Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita LH Simanjuntak meminta Kejaksaan Agung terbuka terkait adanya oknum jaksa atau pejabat yang diduga terlibat di kasus Djoko Tjandra. Dia berharap Kejagung bertindak secara cepat dan menegakkan hukum terhadap siapa pun sesuai peraturan yang ada. “Kejakgung sudah memeriksa kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (kajari Jaksel). Tapi, sampai saat ini belum ada hasilnya," kata dia.
RDP tetap diusahakan
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani mengatakan, pihaknya akan tetap mengusahakan agar rapat dengar pendapat (RDP) kasus Djoko Tjandra dapat terlaksana. RDP yang sedianya dilakukan Selasa ini, urung digelar karena Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin tidak mengizinkan RDP di tengah masa reses. Padahal, hal itu lazim dilakukan DPR.
Menurut dia, kasus lolosnya Djoko perlu dibahas segera. Mengingat, buron tersebut berhasil mengelabui tiga lembaga saat masuk ke Indonesia. "Ini kan kasus yang memang mempermalukanlah dunia penegakan hukum kita. Masa seolah jajaran penegak hukum yang begitu banyak orangnya, kemudian bisa katakanlah diperdayai," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.
Ia pun membandingkan rapat yang digelar oleh komisi lainnya pada masa reses sebelumnya. Komisi II, kata dia, juga telah melakukan rapat-rapat terkait pilkada di masa reses. "Nah ini yang saya kira kami nanti bisa musyawarahkan kembali lah dengan pimpinan DPR," ujar Arsul.
Pada Sabtu, Azis Syamsuddin membantah tudingan menolak menandatangani surat izin RDP dari Komisi III. "Saya menjalankan tatib dan keputusan bamus (Badan Musyawarah)," kata Aziz melalui pesan singkatnya pada Republika, Sabtu (18/7).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai Azis berlebihan. Pasalnya, rapat di masa reses lumrah di parlemen. Apalagi, jika tema pembahasan merupakan hal yang sangat penting dan mendesak.
"Nampaknya terlalu berlebihan karena praktek rapat pada saat reses sudah pernah terjadi, bukan hanya sehari, tetapi hampir sepanjang masa reses yakni pada masa sidang III lalu," ujar Lucius saat dihubungi, Senin (20/7).
Alasan Azis yang tak ingin melanggar tata tertib DPR juga, kata dia, tidak sepenuhnya tepat. Ia menilai Azis menolak memberikan izin karena isu yang dibicarakan tentang kasus Djoko Candra, bukan karena alasan tatib.
Kesempatan Djoko sekali lagi
Ketidakhadiran Djoko Sugiarto Tjandra, buron kasus korupsi hak tagih Bank Bali, dalam sidang peninjauan kembali (PK) kasusnya sudah banyak diprediksi. Sidang ketiga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (Senin (20/7) kemarin pun kembali ditunda. Meski alasannya masih sama dengan waktu sidang sebelumnya, sakit, toh hakim masih memberikan kesempatan.
"Persidangan kami tunda sampai 27 Juli 2020 pada pukul 10.00 WIB. Harus hadir tanpa dipanggil lagi. Nantinya, dalam agenda tersebut ada pendapat jaksa. Setelah itu, majelis yang akan memutuskan PK dalam kasus ini," kata Ketua Majelis Hakim, Nazar Effriandi di dalam persidangan PN Jakarta Selatan, Senin (20/7). Rupanya itu menjadi kesempatan terakhir bagi buronan 11 tahun yang kasusnya tengah menyeret tiga jenderal polisi.
Dalam surat yang diterima hakim, Djoko ternyata tidak hanya mengabarkan kesehatannya yang menurun, tapi juga meminta persidangan melalui telekonfrensi. Majelis hakim dengan tegas menolak permintaan itu. Hakim Nazar juga sempat memandang pesimistis jika memberikan kesemptan terakhir kepada Djoko.
"Saya sudah berikan kesempatan tiga kali untuk hadir. Suratnya juga isinya tidak memastikan bahwa dia hadir. Dia minta telekonferensi artinya dia tak akan hadir. Surat ini juga dibuat dari Kuala Lumpur (Malaysia), makanya tidak mungkin lagi dia akan hadir," kata dia.
Namun, Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma memohon agar kliennya diberikan kesempatan untuk melanjutkan PK yang diajukan. "Kami tetap momohon diberikan kesempatan," kata dia.
Majelis hakim kemudian meminta kepada jaksa untuk memberikan pendapat tertulis dalam waktu satu pekan atas persidangan itu. "Silahkan untuk Anda jaksa berpendapat. Majelis akan berpendapat juga setelah hasil dari pendapat jaksa," kata dia.
Koordinator jaksa, Ridwan Ismawanta telah menolak PK tersebut ditunda lagi. Ia mengingatkan saat persidangan pekan lalu, majelis hakim menyatakan ini kesempatan terakhir, apabila Djoko tidak hadir, maka PK akan ditolak.
Meski begitu, jaksa menyanggupi permintaan majelis hakim. "Iya yang mulia, kami akan ajukan pendapat tentang semua pendapat persidangan ini pada 27 Juni 2020," kata Ridwan.
Usai sidang, Andi Putra Kusuma mengaku tidak tahu persis di mana lokasi kliennya. Ia hanya menerima surat sakit Djoko Tjandra yang berasal dari Kuala Lumpur. "Saya tidak pernah bertemu. Surat sakitnya dari Malaysia tertanggal 15 Juli 2020," katanya kepada wartawan.
Menurut dia, Djoko meminta persidangannya lewat daring karena kesehatannya kurang baik. Setelah majelis hakim menolaknya, ia mengaku akan berusaha menghadirkan Djoko Tjandra. "Secara aktif klien wajib hadir dengan segala konsekuensinya, memang harus ditempuh perjuangan untuk jalan kebenaran," kata dia.
Sementara, Jaksa Ridwan mengaku heran terhadap keputusan penundaan tersebut. "Tanya ke hakimnya, saya juga heran," kata dia kepada wartawan. Ia juga mengaku akan menulis semua pendapat jaksa, termasuk pemintaan Djoko soal sidang daring. "Ya kami diperintah majelis hakim."
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.