Tema Utama
Hagia Sophia Lestari dalam Kuasa Islam
Utsmaniyah menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid, tanpa merusaknya.
OLEH HASANUL RIZQA
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash, ia ber kata, "Suatu ketika, kami sedang menulis di sekeliling Rasulullah SAW, kemudian beliau ditanya tentang yang mana dari kedua kota berikut yang akan dibebaskan terlebih dahulu oleh Muslimin, Konstantinopel ataukah Roma? Rasulullah SAW pun menjawab, 'Kota Heraklius akan dibebaskan terlebih dahulu.' Maksudnya adalah Konstantinopel." (HR Ahmad).
Dalam kesempatan yang lain, Nabi Muhammad SAW juga bersabda, "Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Sebaik-baik amir adalah amir yang memimpin penaklukannya, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya." (HR Bukhari).
Kedua hadis tersebut menunjukkan nubuat Nabi SAW, umat Islam sepeninggalan beliau akan merebut jantung pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium itu. Alhasil, kaum Muslimin memaknai Konstantinopel lebih dari sekadar kota strategis antara Benua Eropa dan Asia. Inilah tanah yang dijanjikan Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
Setelah Rasulullah SAW wafat, para pemimpin Islam silih berganti mengupayakan penaklukan Konstantinopel. Mereka ingin menjadi sosok yang diramalkan beliau, yakni sebaik-baiknya amir yang akan membebaskan kota tersebut atas izin Allah SWT.
Upaya paling awal orang-orang Arab dalam mengepung Konstantinopel terjadi pada masa Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Sang penguasa pertama Dinasti Umayyah memimpin misi militer tersebut antara tahun 674 dan 678.
Meskipun ia telah mengerahkan berbagai sumber daya dan armada dalam jumlah besar, upayanya tak kunjung berhasil. Kegagalan ini turut memukul kewibawaan khalifah. Sebaliknya, moral Kekaisaran Byzantium kembali terangkat, khususnya bagi masyarakat Barat.
Pada pertengahan abad kedelapan, Dinasti Abbasiyah muncul dan menggeser kekuatan Umayyah. Beberapa usaha untuk menguasai Konstantinopel pun diteruskan. Pada 782, Harun al-Rasyid --yang waktu itu masih menjadi pangeran-- memimpin pasukannya untuk menghalau kekuatan Byzantium hingga sekitar Selat Bosphorus. Ia dan bala tentaranya tak sampai menyeberangi perairan itu untuk mencapai benteng kota Konstantinopel karena kekurangan armada perahu.
Jatuhnya Baghdad pada abad ke-13 melemahkan Abbasiyah. Upaya untuk merebut Konstantinopel pun dilanjutkan kerajaan-kerajaan kecil di Anatolia (Asia Kecil, Turki modern), khususnya Seljuk. Apalagi, sebelumnya penguasa Dinasti Seljuk Alp Arselan (1063-1072) berhasil mengalahkan Kaisar Byzantium Romanus IV. Kesuksesan itu menjadi awal konsolidasi Turki untuk memerangi Romawi Timur. Pada 1393, penguasa Konstantinopel nyaris menyerah kepada Sultan Yildirim Bayazid. Namun, kota yang telah terkepung itu mendapatkan bantuan kekuatan dari Eropa.
Kegagalan demi kegagalan itu menjadi pelajaran berharga bagi sultan ketujuh Turki Utsmaniyah, Muhammad. Begitu naik takhta pada 1451, ia bergelar Muhammad (Mehmed) II. Dalam waktu beberapa tahun kemudian, ia terus berupaya melemahkan basis pertahanan Konstantinopel. Puncaknya, murid Syekh Syamsuddin itu memimpin tak kurang dari 250 ribu orang prajurit pada 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M.
Raja yang kala itu masih berusia 21 tahun tersebut lantas menyerukan penguasa Konstantinopel agar menyerahkan kota secara baik-baik. Jika hal itu dilakukan, sultan berjanji memperlakukan masyarakat setempat dengan baik.
Namun, tawaran ini ditolak penguasa Konstantinopel karena merasa yakin akan ketangguhan benteng-bentengnya. Keesokan harinya, serangan pertama dilancarkan Sultan Mehmed II. Artileri Byzantium tak sanggup membalas tembakan meriam-meriam Utsmaniyah.
Pada 29 Mei 1453 sekitar pukul satu pagi, serangan utama akhirnya dilakukan. Sultan Mehmed II memerintahkan pasukannya untuk terus mengumandangkan takbir dan tahlil. Pasukan Muslimin pun dapat menembus Konstantinopel melalui Gerbang Edirne.
Nyatalah sekarang kebenaran prediksi Nabi SAW ratusan tahun silam. Pusat kegemilangan Byzantium akhirnya dikuasai umat beliau. Yang dimaksud sebagai sebaik-baiknya amir dalam momen ini ialah Mehmed II. Sejak saat itu, pemimpin yang brilian itu bergelar al-Fatih, 'sang penakluk'.
Bangunan memesona
Sultan al-Fatih sesudah membebaskan Konstantinopel lantas memasuki kota tersebut dengan penuh kewibawaan. Bangunan pertama yang disambanginya adalah Hagia Sophia. Dengan didampingi sejumlah pasukan khusus (janissary), pemimpin Utsmaniyah itu terpesona oleh penampakan situs dari abad keenam tersebut. Ia pun turun dari kudanya, kemudian masuk ke dalam kompleks tersebut.
Richard Winston dalam Hagia Sophia: A History menuturkan, raja Utsmaniyah itu lantas bersujud ke arah kiblat. Ia mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin-Nya, dirinya menjadi pemimpin yang telah diramalkan Nabi SAW berabad-abad silam. Dalam keadaan demikian, sang sultan lalu menaburkan segenggam tanah ke atas kepalanya. Itulah perlambang kerendahan hati manusia di hadapan Kemahakuasaan Allah Azza wa Jalla.
Dalam keadaan demikian, sang sultan lalu menaburkan segenggam tanah ke atas kepalanya.
Untuk beberapa saat, ia masih memandangi ruangan utama Hagia Sophia. Ia begitu terpukau akan berbagai pencapaian arsitektur yang terdapat di dalam gereja tersebut. Langkah kakinya menapaki bagian altar.
Tiba-tiba, al-Fatih mendapati seorang prajuritnya sedang mencungkil sebuah ornamen dari dinding marmer bangunan ini. Sebelum bawahannya itu bertindak lebih jauh, ia pun segera meringkusnya. "Untuk kalian, cukuplah harta rampasan perang dan tawanan! Semua bangunan di kota ini menjadi milikku!" katanya dengan nada tinggi. Ia kelihatan gusar karena ada seseorang yang coba-coba merusak keindahan Hagia Sophia.
Para pendeta masih tampak ketakutan di pojok ruangan. Sultan lantas mempersilakan mereka untuk keluar dengan damai. Keselamatan mereka dijamin sepenuhnya oleh sang penakluk Konstantinopel.
Setelah itu, ia pun memaklumkan status baru Hagia Sophia. Bangunan itu tak lagi berfungsi sebagai gereja, tetapi masjid negara. Ia kemudian meminta seorang ulama untuk mengumandangkan azan. Untuk pertama kalinya, "Laa Ilaaha Illa Allah" bergema dari bangunan yang namanya berarti 'kebijaksanaan suci' itu.
Berbagai sumber yang dapat dikumpulkan penulis tak satu pun menyebut Hagia Sophia dibeli oleh Mehmed II. Sebagai contoh, disertasi karya Cigdem Kafescioglu yang bertajuk The Ottoman Capital in the Making: The Reconstruction of Constantinople in the 15th Century untuk Harvard University (1996). Kafescioglu mengutip catatan historis Tursun Beg (lahir 1420).
Sejarawan yang mendampingi Sultan al-Fatih kala menaklukkan Konstantinopel itu tak menyebut adanya upaya sang penakluk untuk membeli Hagia Sophia (dari siapa?). Beg semata-mata memaparkan, begitu sultan Utsmaniyah itu memasuki Konstantinopel, ia mendeklarasikan kota itu sebagai takhtanya.
Kafescioglu meneruskan, sesudah mengumumkan Hagia Sophia sebagai miliknya, Sultan al-Fatih lantas mewakafkannya untuk dipakai sebagai masjid yang terbuka bagi umum. Bagaimanapun, nama Hagia Sophia tetap dipertahankan, yakni Ayasofya-i Kebir Camii Serifi.
Sebelum tahun 1463 atau adanya Masjid Mahmut Pasha (kini di Distrik Eminonu, Istanbul), Hagia Sophia tetap menjadi lokasi penyelenggaraan shalat Jumat. Berpuluh-puluh tahun kemudian, al-Fatih lantas menginisiasi pembangunan masjid baru yang tak kalah megah daripada Hagia Sophia, yakni Fatih Camii. Hal itu lantas menjadi tradisi para penguasa Utsmaniyah untuk masa-masa setelahnya.
Fungsi Hagia Sophia sebagai masjid tidak lantas memusnahkan berbagai ornamen kekristenan di sana. Sultan al-Fatih menerapkan kebijakan penuh toleransi. Ia membiarkan Hagia Sophia seperti apa adanya ketika masih menjadi gereja. Satu-satunya yang berubah ialah pembangunan menara di bagian eksterior bangunan utama, tepatnya di sisi selatan.
Fungsi Hagia Sophia sebagai masjid tidak lantas memusnahkan berbagai ornamen kekristenan di sana. Sultan al-Fatih menerapkan kebijakan penuh toleransi.
Setelah era al-Fatih berakhir, barulah berbagai modifikasi diterapkan agar penampilan Hagia Sophia lebih bercorak tempat ibadah umat Islam. Sultan Salim II (1566-1574) membangun dua menara tambahan. Ia juga mengubah bagian-bagian yang identik dengan narasi kekristenan.
Misalnya, tanda salib pada puncak kubah utama yang kemudian ia ganti menjadi hiasan bulan sabit. Selain itu, tak ada bagian bangunan yang dibongkar pada era Salim II. Paling-paling, hiasan yang menampilkan wujud manusia ditutupi agar nuansa bangunan ini selaras dengan ajaran Islam yang melarang gambar- gambar makhluk hidup di tempat shalat.
Lukisan-lukisan pun hanya diturunkan, untuk kemudian disimpan baik-baik. Lonceng dan altar juga dicopot. Sebagai gantinya, penguasa Utsmaniyah memasang kaligrafi-kaligrafi Islami, semisal lafaz Allah, Nabi Muhammad SAW, serta para khulafaur rasyidin. Tak ketinggalan, teks hadis Rasulullah SAW yang menerangkan bahwa suatu saat Konstantinopel takluk di bawah kekuatan Islam--suatu nubuat yang akhirnya menjadi kenyataan.
Pulihnya status masjid Hagia Sophia
Memasuki abad ke-19, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah kian melemah. Tidak hanya digempur dari sisi eksternal, tetapi juga internal. Pemimpin kelompok sekuler Mustafa Kemal Ataturk memanfaatkan kondisi demikian.
Dengan berbagai daya dan upaya, ia dan para pendukungnya akhirnya dapat mengakhiri riwayat khilafah. Sejak 3 Maret 1924, Turki menjadi sebuah republik sekuler.
Situasi itu tentunya berimbas pada Istanbul --nama baru bagi Konstantinopel sejak abad modern. Pada 1935, Ataturk sebagai presiden Turki mengubah status Hagia Sophia menjadi museum.
Keputusan itu menyebabkan berbagai perubahan pada bangunan kuno tersebut. Dinding-dinding yang menutupi berbagai hiasan Kristen dibongkar. Alhasil, figur dari dua agama yang berbeda--Islam dan Kristen--tampil dengan sangat jelas dan kontras di sana, semisal bagian sekitar mimbar. Gambar Bunda Maria yang sedang memangku Nabi Isa (Yesus) tampak di antara deretan kaligrafi lafaz Allah, Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat.
Menjelang akhir abad ke-20, peta perpolitikan di Turki berubah. Kubu Islam mulai mendapatkan tempat di arus besar. Necmetin Erbakan naik menjadi perdana menteri pada 1996-1997. Ia berasal dari partai politik yang berhaluan Islam. Secara pribadi, guru politik Recep Tayyip Erdogan itu mengikuti Tarekat Naqsyabandiah. Namun, militer kemudian melakukan kudeta.
Selepas kudeta tersebut, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan naik daun dan bahkan memenangkan pemilihan umum tahun 2002. Hingga saat ini mantan wali kota Istanbul itu menjadi penguasa Turki.
Dalam suasana itulah berbagai dorongan untuk memulihkan status Masjid Hagia Sophia marak disuarakan. Pada 31 Mei 2015, misalnya, puluhan ribu Muslimin Turki berdiri di luar bangunan tersebut. Mereka mendirikan shalat Subuh dipimpin Imam Syekh Abdulah Basfar. Dalam orasinya, massa meminta Hagia Sophia agar kembali difungsikan menjadi masjid.
Setelah 85 tahun menunggu, akhirnya Hagia Sophia kini telah kembali pada status sebagai masjid hasil wakaf Sultan Mehmed II al-Fatih. Keputusan itu diambil pengadilan Turki, yang membatalkan penggunaan Hagia Sophia sebagai museum. Dengan begitu, perubahan fungsi Hagia Sophia dari masjid menjadi museum pada 1934 silam tak lagi berlaku.
Walau Hagia Sophia bakal menjadi tempat ibadah umat Islam, Pemerintah Turki menegaskan, bangunan bersejarah tersebut terbuka bagi pengunjung dari semua agama dan kalangan yang ingin mengunjunginya. Meski harus menghadapi berbagai polemik, khususnya dari luar negeri, pemerintah Turki tetap pada pendiriannya. Beberapa waktu lalu Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Turki, Hami Aksoy, mengatakan, tidak ada yang dapat mengganggu hak kedaulatan Turki.
Ia menekankan, status Hagia Sophia merupakan masalah dalam negeri karena itu merupakan properti milik Turki. Semua pihak diharapkan dapat menghormati perubahan status bangunan kuno itu. "Dan, Hagia Sophia akan terus merangkul semua orang dengan status barunya, melestarikan warisan budaya bersama umat manusia," ujar Aksoy, dikutip Anadolu Agency, Selasa (14/7).
Hagia Sophia akan terus merangkul semua orang dengan status barunya, melestarikan warisan budaya bersama umat manusia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.