Opini
Hagia Sophia
Perubahan status Hagia Sophia sarat makna simbolis.
DIPO ALAM, Sekjen D-8 Organization for Economic Cooperation (D-8), Berkantor di Istanbul, Turki (2007-2010)
Pengembalian status Hagia Sophia sebagai masjid memancing reaksi di seluruh dunia. Sayangnya, para pengamat hanya menilai keputusan itu melalui kacamata tunggal: semua itu demi kepentingan politik Recep Tayyip Erdogan.
Padahal, dalam kasus Hagia Sophia, bangsa Turki sedang memupuk kembali semangat nasionalisme-religius yang dimuseumkan rezim sekuler Ataturk, sejak akhir Perang Dunia (PD) I.
Dewan Negara Turki, pengadilan administrasi tertinggi, awal Juli lalu, menerima banding yang mendesak pembatalan keputusan Dewan Menteri, 24 November 1934, yang mengubah Hagia Sophia dari masjid agung menjadi museum.
Namun, mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid sepenuhnya hak Turki yang harus dihormati dunia.
Tuntutan hukum ini bukan baru saja diajukan. Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Istanbul mengajukan petisi meminta pembatalan keputusan tahun 1934 tadi sejak 2005.
Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid tentu memancing kontroversi. Barat umumnya tak senang. Perubahan status itu dianggap telah dan akan menyinggung perasaan umat Kristen dunia, khususnya Kristen Ortodoks.
Sebab, saat pertama kali dibangun Kaisar Bizantium, Justinian I, pada 532 hingga 537, Hagia Sophia sebagai gereja katedral.
Namun, mengubah kembali Hagia Sophia menjadi masjid sepenuhnya hak Turki yang harus dihormati dunia. Apalagi, perubahan status secara praktis tak mengambil Hagia Sophia dari posisinya sebagai warisan budaya dunia.
Seperti disampaikan Pemerintah Turki, situs bersejarah itu akan dilestarikan dan dilindungi, tetap terbuka untuk umum dengan cara yang sama seperti Masjid Biru dibuka untuk seluruh pengunjung, dari semua bangsa dan agama.
Kebangkitan nasionalisme-religius
Sebagai sesama negara Muslim, kita memahami, bagi bangsa Turki, Hagia Sophia lebih dari sekadar museum atau masjid, yakni salah satu simbol identitas kebangsaan.
Bangsa Turki modern, bagaimanapun menyandarkan identitas sejarahnya pada Kesultanan Ottoman daripada Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur, yang secara historis dan kultural kini menjadi Yunani.
Posisi Hagia Sophia sebagai simpul identitas kebangsaan inilah yang banyak dilupakan para pengamat.
Dalam konteks historis itulah, terletak makna simbolis Hagia Sophia. Bagi bangsa Turki, Hagia Sophia sebagai gereja merupakan simbol “kekalahan” Turki atas Romawi pada abad pertengahan.
Sementara itu, Hagia Sophia sebagai museum adalah simbol kekalahan Turki atas sekutu dalam Perang Dunia I. Dan hari ini mereka sedang berusaha mengubahnya.
Posisi Hagia Sophia sebagai simpul identitas kebangsaan inilah yang banyak dilupakan para pengamat. Mereka melihat Hagia Sophia dari langgam politik Erdogan semata dan melupakan imajinasi politik bangsa Turki secara umum.
Ketika Kota Konstantinopel jatuh dan dikuasai tentara Ottoman Turki pada 29 Mei 1453, saat memasuki Hagia Sophia, Sultan Mehmet II meminta bangunan itu diubah menjadi masjid.
Untuk menghormati warga multiagama di Konstantinopel, ia memerintahkan agar dekorasi baru masjid Hagia Sophia tidak menghancurkan detail interior yang ada sebelumnya.
Selain mengubah Hagia Sophia, sultan yang oleh bangsa Turki digelari “Al Fatih” (Sang Penakluk) itu, mengganti “Konstantinopel” menjadi “Istanbul”. Peristiwa ini menjadi titik balik sejarah.
Bagi bangsa Turki, Hagia Sophia sebagai masjid merupakan simbol kemenangan, warisan dari Al Fatih yang telah meruntuhkan Bizantium.
Itu sebabnya, ketika pada 1 Februari 1935 Mustafa Kemal Ataturk mendeklarasikan perubahan Hagia Sophia menjadi museum, banyak orang Turki menganggapnya sebagai “kekalahan”.
Di bawah Erdogan, Turki bukan hanya melawan sekularisasi, juga memperbaiki hubungannya dengan sejarah Islam Ottoman.
Penyair Turki, Necip Fazıl Kısakurek menyebut, museumisasi Hagia Sophia tadi telah menyegel semangat bangsa Turki. “Semangat orang Turki telah dimuseumkan,” ujar Kısakurek.
Dalam isu Hagia Sophia ini, posisi kelompok Islamis tidak jauh berbeda dengan kelompok nasionalis, ataupun romantisme pan-Turki. Isu Hagia Sophia melampaui semua sekat tadi.
Gelombang desekularisasi
Secara politis, mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid memang memberikan keuntungan politik sangat besar bagi Erdogan. Namun, sangat dangkal kalau itu membuat kita menutup mata terhadap lanskap sejarah yang melatarinya.
Di bawah Erdogan, Turki bukan hanya melawan sekularisasi, juga memperbaiki hubungannya dengan sejarah Islam Ottoman.
Secara politik, dengan langkah kuda ini, Erdogan tak hanya bisa mengonsolidasi dukungan dari kaum konservatif Turki, ia juga akan mendapatkan dukungan dari kelompok nasionalis dan romantis pan-Turkisme.
Perubahan status Hagia Sophia sarat makna simbolis. Apalagi, ibadah pertama di sana direncanakan baru dimulai pada 24 Juli. Itu tanggal bersejarah bagi Turki.
Pada 24 Juli 1923, di Lausanne, Swiss, Turki harus menandatangani perjanjian damai dengan sekutu, yang secara resmi menyudahi konflik Kesultanan Ottoman dengan sekutu sejak permulaan Perang Dunia I.
Perjanjian itu pun membuat Ottoman harus menyerahkan sebagian besar wilayah kekuasaannya kepada Inggris dan Italia.
Dengan memilih 24 Juli, Erdogan seperti hendak berbicara kepada dunia Barat, Turki yang dulu kalah kini tengah bangkit mereklamasi kedaulatannya.
Jadi, menurut penulis, berlebihan memang jika menganggap pengembalian Hagia Sophia adalah simbol kebangkitan teokrasi di Turki. Lebih tepat jika dikatakan sebagai simbol kebangkitan semangat nasionalisme-religius bangsa Turki.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.